Setelah mengusir Arya Widura dari Madangkara, Permadi dan Shakila menjadi orang kepercayaan Prabu Wanapati. Hubungan Dewi Garnis dan Widura pun kandas. Akan tetapi, Widura bersumpah, tidak akan pernah berhenti membongkar kedok Permadi dan Shakila sebagai orang Kuntala. Dewi Garnis dan Raden Bentar berjanji untuk membersihkan nama baik Widura.
Ternyata, bukan hanya Widura saja yang tahu identitas Permadi dan Shakila, ada orang lain lagi, seorang laki-laki misterius yang selalu mengenakan cadar hitam. Lewat si cadar hitam, Bentar dan Garnis mendapatkan kebenaran tentang siapa Permadi dan Shakila itu. Mereka adalah orang-orang licik yang berusaha untuk menggulingkan Kerajaan Madangkara dan mengembalikan kejayaan Kerajaan Kuntala. Menghadapi orang seperti mereka tidak bisa menggunakan kekerasan akan tetapi, harus menggunakan siasat jitu. Berhasilkah Bentar dan Garnis membongkar kedok mereka ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eric Leonadus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Babak Kedua Puluh Sembilan
# 29
Permadi kembali menuntun kudanya menyusuri jalanan Pasar Cibanyak, sementara sepasang matanya mengamati ke sekeliling dan terhenti pada seorang wanita tua renta, bertubuh bongkok yang berjalan tertatih – tatih. Tubuhnya bongkok dibalut baju berwarna hitam dan ditopang oleh sebuah tongkat perunggu berwarna hitam legam. Rambutnya putih panjang sebatas punggung dibiarkan tergerai. Tak ada yang istimewa dari wanita tua itu, sama halnya dengan gelandangan, pengemis yang duduk di emperan kios dan tepi jalan, berharap belas kasihan orang yang berlalu lalang di sepanjang jalan.
‘Ah, mengapa banyak sekali pengemis dan gelandangan di tempat ini ? Padahal dulu sebelum meninggalkan Sembawa ini, yang namanya pengemis, pengangguran dan gelandangan tidak ada’
Itulah yang berkecamuk di benak Permadi saat ini.
“Bruk !”
Permadi tersentak mendadak tubuhnya menabrak nenek tua itu dan membuatnya terdorong hingga jatuh terjungkal, tongkat perunggunya terlepas. Buru – buru Permadi menghampiri dan membimbing nenek itu berdiri, sementara Nenek itu bertopang pada tubuh Permadi.
“Maaf, saya telah menabrak nenek hingga jatuh,” kata Permadi, “Apakah Nenek baik – baik saja ?” tanyanya kemudian. Sebenarnya, pemuda itu merasa jijik saat jari – jemari berkuku hitam Nenek itu meraba wajahnya, sementara, sepasang mata wanita tua itu tak bercahaya. Ia buta.
“Ah, tampaknya, seorang pemuda gagah dan tampan menabrakku,” kata Nenek itu dengan suara gemetar, “Ma ... ma... maafkan, aku yang buta ini, anak muda. Kurasa kau bukanlah pemuda biasa, melainkan berasal dari keluarga bangsawan,”
“Ah, tidak apa, nek ... saya yang seharusnya minta maaf karena tidak memperhatikan jalan. Yang penting, Nenek tidak cidera,” kata Permadi sambil memberikan tongkat perunggu yang baru dipungut kepada pemiliknya.
“Terima kasih, anak muda...”
“Sebenarnya, Nenek ini berasal darimana ? Dan, hendak kemana ?” tanya Permadi.
Nenek itu menundukkan wajahnya, bahunya berguncang – guncang, ia menangis.
“Nek, mengapa menangis ?” tanya Permadi.
“Saya berasal dari DUKUH WETAN,” jawab Nenek itu di sela – sela isak tangisnya.
“Jarak antara DUKUH WETAN dan DESA SEMBAWA ini cukup jauh, Nek ... Lagipula, tidak seharusnya pergi sendirian apalagi Nenek sudah tua sekali dan ... maaf, buta,” ujar Permadi.
“Kau mengatakan ... ini adalah Desa Sembawa ? Dan, sayup – sayup aku mendengar banyak orang bercakap – cakap, bunyi pisau mencincang daging ... apakah aku kini berada di sebuah pasar ? Pasar CIBANYAK ?”
“Benar, Nek ...”
“Kalau begitu, tempat cucuku diculik para gerombolan penyamun itu sudah tidak jauh lagi dari sini,” Nenek itu menimpali.
“Sebenarnya, ada apa, Nek ?” tanya Permadi lagi.
“Anak muda ... ketahuilah, beberapa hari yang lalu, anakku terlilit hutang – piutang dengan seorang tuan tanah yang kejam. Karena tidak mampu lagi membayar hutang berikut bunganya, dia menyewa para penyamun dari GUNUNG KALAS untuk menculik puterinya, cucu kesayanganku yang bernama : PURWANTI NGABEHINO PUTRI. Cucuku itu ... cucuku itu... cucuku itu laksana bunga yang baru mekar dan aku tak ingin terjadi apa – apa dengannya. Ayahnya sudah meninggal dan aku tinggal bersama anak dan cucuku itu,” jelas Nenek itu sembari menangis, jari – jemarinya gemetaran merogoh saku, mengeluarkan sebuah daun lontar dan memberikannya pada Permadi.
“Apakah kau tahu tempat yang tertera pada daun lontar itu ? Di tempat itulah para penyamun bersarang, menyandera cucu perempuanku,” kata Nenek itu.
Permadi mengamati lukisan pada daun lontar itu sesaat lalu berkata, “Kalau melihat gambar yang tertera pada daun lontar ini, saya rasa ... jaraknya sudah tak jauh lagi dari tempat ini. Disitu ada barisan bukit dan hutan paku. TEGAL SAMPANGANTU. Yah, itu pasti TEGAL SAMANGANTU,” jelasnya.
“Baiklah, anak muda, aku akan melanjutkan perjalanan menuju HUTAN SAMPANGANTU itu. Terima kasih atas bantuan tuan ... tuan ... siapakah namamu, Anak muda ?”
“Nenek panggil saja saya dengan sebutan PERMADI ... tidak enak rasanya jika saya dipanggil dengan sebutan TUAN MUDA ... Mengenai permasalahan Nenek ini, ijinkanlah saya membantu. Tak pantas kiranya, seorang yang lebih tua mendatangi tempat yang dihuni oleh sekawanan pengecut. Dan, saya sangat membenci orang – orang berjiwa pengecut seperti itu. Semoga Nenek berkenan menerima bantuan saya ini,” tandas Permadi dengan perasaan iba.
“Permadi, ya ?” tanya Nenek itu, “Ini sebenarnya adalah urusan keluarga kami, tak seharusnya melibatkan orang luar yang tak ada hubungannya sama sekali. Akan tetapi, memang sebenarnyalah, aku tidak mampu mengatasinya hanya dengan beradu mulut. Aku adalah orang biasa yang tidak tahu – menahu tentang ilmu kanuragan atau kadigjayaan. Kalaupun harus mati demi membela dan menyelamatkan cucuku, tak mengapa,” ujar Nenek itu.
“Nek, janganlah terlalu dipikirkan. Saya bersedia membantu karena tidak tahan melihat ketidak adilan. Mari saya bantu nenek naik ke atas punggung kuda dan kita berangkat bersama – sama menuju TEGAL SAMPANGANTU. Biarlah, saya yang akan memberi pelajaran pada orang – orang pengecut itu,” ujar Permadi sambil membimbing Nenek itu naik ke punggung kudanya.
Nenek tua itu menganggukkan kepala, “Terima kasih, anak muda, semoga Dewata yang Agung membalas kebaikanmu ini, anak muda,”
..._____ Bersambung _____...