Kisah ini lanjutan dari KEMBALI-NYA SANG ANTAGONIS seasons 1
Banyak adegan kasar dan umpatan di dalam novel ini.
Cerita akan di mulai dengan Cassia, si Antagonis yang mendapatkan kesempatan terlahir kembali, di sini semua rahasia akan di ungkap, intrik, ancaman, musuh dalam selimut dan konflik besar, kisah lebih seru dan menegangkan.
Jangan lupa baca novel KEMBALI-NYA SANG ANTAGONIS season 1 agar makin nyambung ceritanya. Happy reading!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senjaku02, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 5
Karena setelah malam kostum itu, kampus di liburkan untuk dua hari, jadi mereka semua tentu gembira dan memilih untuk bersenang-senang di hari libur.
"Kita jalan-jalan bagaimana?" usulan datang dari Arzhela yang semalam baru saja mendapatkan kemenangan atas pesta kostum.
"Setuju, sih!" Mutiara menjawab semangat, dia sedang menyuapkan Sandwich ke dalam mulutnya.
Sandwich enak buatan Cassia yang menggoda, semua orang menganggap Cassia sang Antagonis. Tapi, bagi para sahabatnya Cassia adalah orang yang paling baik dan pengertian, maka tak heran jika mereka begitu mencintai Cassia setulus hati.
"Bagaimana, Cas?" Arzhela bertanya pada sosok Cassia yang kebetulan duduk di sampingnya.
"Aku ikut saja bagaimana kalian!" kata Cassia, dia tersenyum hangat dan meletakkan pelan gelas di atas meja.
"Baiklah, bagaimana jika kita berangkat sore ini?" Veronica akhirnya membuka suara.
Mereka mengangguk, dan akhirnya sepakat para gadis cantik itu akan pergi ke suatu tempat demi menghabiskan waktu.
Sedangkan di sisi lain.
"Sekarang bagaimana?" Nafisha sedang mondar-mandir di dalam kamar Apartemen miliknya.
Wanita itu seperti orang bingung dia menggigit kukunya kecil untuk menghilangkan kegelisahan yang melanda.
"Sialan! Kemana Erick?" gerutu Nafisha, dia mengumpat terus menerus karena beberapa hari ini gagal menghubungi Erick.
Nafisha duduk dengan kasar di ranjang mewah Apartemen dimana biasanya ia menghabiskan waktu dan malam panjang dengan Erick.
Nafisha begitu bingung, panggilannya terblokir dan Erick menghilang begitu saja setelah malam terakhir itu.
"Uangku sudah habis, sekarang bagaimana?" monolog Nafisha, dia khawatir dan cemas sebab uangnya sudah habis, sedangkan besok ia memiliki janji dengan teman-temannya untuk mentraktir mereka makan mewah.
Jika Nafisha sedang khawatir, maka di tempat lain, Sosok misterius berbalut hoodie hitam itu duduk tenggelam dalam kursi besar, dikelilingi cahaya samar temaram yang seolah memerangkapnya dalam bayang-bayang.
"Siapa sebenarnya kau?!" Erick berteriak, nadanya pecah oleh desakan penasaran yang menggerogoti setiap inci hatinya.
Suara itu muncul, lembut namun mengiris, bak pisau tajam menyayat sunyinya malam "Kau tak perlu tahu."
Mata Erick menyipit, lidahnya kelu, tapi telinganya menguat, meraba setiap bisikan dalam gelap yang ingin disembunyikan.
"Jangan coba-coba mencari dan melihat lebih jauh, Erick. Kau tidak akan menemukan apa pun." Sebuah peringatan yang menembus jiwa, sepi dan mengancam.
"Kau—"
"Kau ingin bebas?" suara itu menukik, dingin dan tajam.
Erick menggeram, tekadnya membara, "Tentu! Lepaskan aku! Kalau tidak, aku akan buat kau merasakan penderitaan yang tak pernah kau bayangkan!" Ancaman itu bergemuruh, mengisi ruang sunyi dengan kobaran kemarahan dan keberanian yang nyaris membara.
"Nyawamu berada di ujung jariku, Erick. Berani kau ancam, dan aku tak segan mewujudkannya," suara itu menusuk telinga, penuh sinis dan ejekan yang mengiris hati.
Erick membeku. Ia tahu, terlepas dari segenap usaha dan keberaniannya, nyawanya kini terjerat dalam jaring maut yang tak bisa ia putuskan. "Lalu, apa yang kau inginkan?" suaranya bergetar, menahan kecemasan yang membuncah.
Sosok misterius itu tersenyum penuh kemenangan, seperti predator yang sudah mencium darah segar. "Nafisha," ujarnya singkat, penuh arti.
DEGH!!
Jantung Erick serasa berhenti. "Bagaimana bisa kau tahu tentang Nafisha? Apa hubungan semua ini dengannya?" Matanya melebar, antara bingung dan ketakutan yang bergolak.
Sosok itu melangkah mendekat, nadanya berubah dingin dan mengancam, "Kamu tidak perlu tahu sumberku. Tapi satu hal yang harus kau patuhi Jauhi Nafisha. Jangan pernah berhubungan lagi dengannya, jika kau tak ingin... Aku pastikan, konsekuensinya jauh lebih mengerikan dari yang kau bayangkan."
Kata-kata itu menggantung di udara, menjadi ancaman yang menyesakkan dada Erick, membuatnya terperangkap dalam bayang-bayang ancaman yang tak terucapkan.
Erick terhenti, dadanya terasa sesak sementara pikirannya berkecamuk. Nafisha memang segalanya dalam dunia nafsunya, tapi nyawa... nyawa adalah taruhan yang berbeda.
Tak ada ruang kompromi di sini, hanya satu pilihan, melepaskan."Baiklah," ucapnya dengan suara parau, menahan getar di ujung kata.
"Aku janji, akan menjauh dari Nafisha. Tidak akan pernah muncul, tidak akan pernah lagi menghubungi dirinya tentang keberadaanku."
Sosok di hadapannya menatap tajam, suara itu seperti sembilu yang menusuk hati, dingin dan penuh peringatan. "Pilihan yang tepat. Aku akan mengawasi dari kejauhan. Berani-beraninya kau ingkar janji, jangan salahkan aku jika kamu menyesal seumur hidup."
Udara seakan membeku di antara mereka, janji itu mengikat dengan kekuatan yang tak terlihat, dan Erick tahu, kesalahannya bukan hanya soal kehilangan, tapi kehancuran yang menanti jika ia melangkah salah
...****************...
Nafisha merasa terhimpit dalam keputusasaan. Semua cara telah dicoba, tapi Erick tetap menghilang tanpa jejak.
“bagaimana ini... apa yang harus kulakukan sekarang? Uangku sudah menipis,” gumamnya sambil menggigit jari telunjuk, dada sesak oleh rasa gelisah yang membara.
Dia menatap kosong ke sudut kamar, suaranya nyaris tak terdengar, “Aku nggak mungkin balik kerja di restoran itu. Teman-temanku pasti akan menghina, mempermalukanku lagi.” Hatinya mengeras, terperangkap dalam pusaran frustasi yang tak berujung.
Dengan langkah lesu, Nafisha menjatuhkan diri ke ranjang. Tangannya menggenggam ponsel, jemarinya bergerak cepat menyusuri media sosial, mencari celah-celah kecil untuk menghasilkan uang secepat mungkin.
Tiba-tiba, sebuah pengumuman muncul: “Dibutuhkan transfusi darah golongan AB+ dalam jumlah besar. Hubungi nomor berikut jika bersedia.”
Nafisha menatap layar, jantungnya berdegup kencang. Golongan darahnya AB+ persis yang dibutuhkan. Namun, ia tidak segera menghubungi. Matanya menyipit, pikirannya berkeliling mencari tahu nilai setiap kantong darah itu.
Mungkin ini satu-satunya jalan yang tersisa. Namun, harga darah bukanlah satu-satunya hal yang memenuhi pikirannya ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang membuatnya ragu dan takut.
Tapi ia menepis rasa itu, kebutuhannya lebih mendesak dari apapun. Tanpa ia ketahui bahwa suatu saat dia akan menyesal kembali telah menyepelekan intuisinya.
...****************...
Sore itu, langit London meredup perlahan saat Cassia dan teman-temannya bersiap berangkat menuju tempat-tempat wisata yang legendaris di kota itu. Mereka akan menaklukkan setiap sudut, mengukir cerita dari satu petualangan ke petualangan lain.
“Sayang, kamu sudah siap?” tanya Dax dengan nada penuh perhatian.
Benar saja, Para Inti Black Libra masih berkumpul di sana. Mereka menyewa sebuah apartemen tepat di sebelah tempat Cassia, seolah tak mau terpisah meski hanya sejenak.
Mereka berencana ikut serta dalam perjalanan ini, menemaninya menjelajah selama beberapa hari sebelum akhirnya kembali ke hiruk-pikuk kota Wonderland.
Cassia menatap tajam pada mata Dax, penuh keraguan yang tersembunyi di balik senyumnya. “Sudah? Kamu benar-benar yakin mau ikut?”
Dax menjawab dengan santai, tanpa keraguan sedikit pun. “Tentu. Aku sudah ajukan cuti satu minggu di kampus, jadi kamu tak perlu khawatir.”
Cassia menganggukkan kepala perlahan, perasaan lega dan harap bercampur di dadanya. “Baiklah...” ujarnya pelan, menerima kehadirannya yang akan menemani setiap langkah perjalanan mereka.
selalu d berikan kesehatan 😃