NovelToon NovelToon
Time Travel: Kali Ini Aku Akan Mengalah

Time Travel: Kali Ini Aku Akan Mengalah

Status: sedang berlangsung
Genre:Pengganti / Keluarga / Time Travel / Reinkarnasi / Fantasi Wanita / Mengubah Takdir
Popularitas:7.1k
Nilai: 5
Nama Author: Aplolyn

Di kehidupan sebelumnya, Emily begitu membenci Emy yang di adopsi untuk menggantikan dirinya yang hilang di usia 7 tahun, dia melakukan segala hal agar keluarganya kembali menyayanginya dan mengusir Emy.
Namun sayang sekali, tindakan jahatnya justru membuatnya makin di benci oleh keluarganya sampai akhirnya dia meninggal dalam kesakitan dan kesendiriannya..
"Jika saja aku di beri kesempatan untuk mengulang semuanya.. aku pasti akan mengalah.. aku janji.."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aplolyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Episode 30

Hari-hari di rumah keluarga Hambert kini dipenuhi hiruk pikuk yang nyaris tak pernah berhenti.

Dari pagi buta hingga malam hari, ada saja orang yang keluar-masuk membawa perlengkapan pernikahan seperti katalog undangan, contoh bunga, kain-kain renda putih yang dijajarkan, hingga meja-meja penuh dengan kue uji rasa.

Bagi Emy, semua itu seperti mimpi indah yang jadi kenyataan, dia tampak begitu sibuk memilih motif renda, memperhatikan model dekorasi pelaminan, bahkan ikut membantu wedding planner memilih warna undangan yang menurutnya harus “mencerminkan keanggunan keluarga Hambert”.

“Kalau untuk undangan, aku rasa warna emas dan putih akan lebih cocok. Elegan, klasik, dan tentu saja.. mahal,” komentar Emy sambil menggeser katalog ke arah ayahnya.

Tuan Hambert mengangguk puas. “Setuju. Kita harus menunjukkan bahwa pernikahan ini adalah pertemuan dua keluarga besar, bukan sekadar pesta biasa.”

Emily duduk di sudut ruangan, diam.

Heran dengan keluarganya yang sibuk padahal dia sendiri tidak terlalu excited dengan semua itu.

“Emily, kamu setuju?” suara sang ayah tiba-tiba mengagetkannya.

“Ah… iya, terserah,” jawabnya singkat.

Seketika Emy meliriknya dengan pandangan mengejek, dia senang dengan pernikahan itu, tentu saja karna bukan dirinya yang di korbannya untuk menyelamatkan keluarga Hambert.

Hari berikutnya, giliran fitting gaun pengantin. Sebuah butik ternama diundang khusus ke rumah Hambert untuk memamerkan koleksi gaun mereka.

Berpuluh model gaun putih digantung di rak, sementara perancang busana sibuk memberi saran.

Emily berdiri di depan cermin panjang, tubuhnya dibalut gaun renda putih dengan ekor panjang.

“Cantik sekali.. benar-benar calon nyonya Hilton,” puji sang desainer.

Ayahnya tersenyum puas. “Lihatlah Emily, ini akan jadi hari terpenting dalam hidupmu.”

Namun Emily hanya menunduk, dalam hatinya dia bertanya-tanya apakah benarkah itu akan menjadi hari terpenting baginya?

Di tengah kesunyian batinnya, Albert datang. Pria itu melangkah masuk dengan setelan rapi, aura dingin dan wibawa bisnisnya tetap melekat meski datang ke sesi fitting gaun.

Tatapan mata Albert jatuh pada Emily. Untuk sesaat, dia hanya diam, seakan menimbang sesuatu. Lalu perlahan sudut bibirnya terangkat tipis.

“Gaun itu cocok untukmu,” katanya singkat.

Emily menoleh, pandangan mereka bertemu. Ada rasa bergetar yang sulit dia jelaskan, meski bagian lain dari dirinya masih diliputi kebimbangan.

***

Hari-hari berjalan semakin cepat. Rapat undangan, menu catering, hingga pemilihan cincin dilakukan hampir setiap hari. Emily selalu hadir, tapi seolah hanya sebagai penonton.

Namun yang membuatnya semakin sulit adalah rasa penasaran Albert. Pria itu beberapa kali menyinggung tentang akun seni yang belakangan sedang ramai dibicarakan di salah satu perusahaan Hilton Group.

“Aku mendengar, salah satu divisi seni kami menemukan akun bernama Daisy. Seninya unik, berbeda, dan berhasil menarik banyak pembeli internasional,” ujar Albert suatu malam ketika mereka dipaksa makan malam bersama keluarga.

Emily menegang seketika. Sendok di tangannya nyaris terjatuh. Ia berusaha menjaga ekspresi datarnya.

“Oh ya?” jawabnya seadanya.

Albert mengamati wajahnya lekat-lekat, seakan mencari sesuatu. “Kami masih belum tahu siapa orang di balik akun itu. Tapi aku yakin dia adalah seseorang yang istimewa.”

Emily menunduk, berusaha menyembunyikan kegugupannya, dalam hatinya dia berharap Albert tidak secepatnya menemukan jati dirinya yang adalah orang di balik akun Daisy tersebut

Di sela-sela persiapan yang melelahkan itu, Emily hanya merasa nyaman ketika ia membuka laptopnya di kamar, mengerjakan pesanan lukisan untuk para pembeli luar negeri.

Hanya di balik layar itulah dia merasa bebas, menjadi dirinya sendiri tanpa harus tunduk pada aturan keluarga atau tekanan pernikahan.

Namun kebebasan kecil itu juga terasa rapuh. Setiap kali notifikasi email dari Hilton Group muncul, rasa cemas langsung menghantui.

Bagaimana kalau mereka akhirnya tahu? Bagaimana kalau Albert sendiri yang menemukan?

Malam itu, ia menatap layar laptopnya dengan napas berat. “Daisy.. sampai kapan aku bisa bersembunyi di balik nama ini?” gumamnya pelan.

Sementara itu, keluarga Hilton juga tak kalah sibuk. Persiapan pernikahan dua keluarga besar ini menjadi berita hangat di kalangan sosialita. Banyak media yang mulai meliput kabar rencana pesta megah itu, meski tanggal resmi belum diumumkan.

Albert sendiri tetap sibuk dengan pekerjaannya, meski ia hadir dalam beberapa persiapan, wajahnya hampir selalu dingin dan profesional.

Namun sesekali, tanpa sengaja, Emily menangkap tatapan pria itu padanya, tatapan yang entah kenapa membuat jantungnya berdebar.

Di balik semua itu, ada sebuah pertanyaan yang terus menggantung di benak Emily, apakah ia benar-benar hanya pion dalam permainan keluarga, ataukah ada sesuatu yang berbeda di balik sikap dingin Albert?

Dan hari-hari persiapan itu, meski penuh kemewahan, hanya semakin menambah kebingungan di hatinya.

Hari itu, sesi persiapan pernikahan berfokus pada pemilihan dekorasi gedung resepsi. Para perencana acara menjejalkan puluhan katalog foto ke meja, dari hiasan lampu kristal sampai bunga impor yang harganya bisa membeli sebuah rumah.

Emily duduk di kursinya, tangannya menopang dagu. Matanya sekilas menatap halaman demi halaman, tapi pikirannya melayang jauh.

Albert, seperti biasa, duduk tegak di sebelahnya dengan ekspresi serius. Ia jarang berbicara, hanya sesekali mengangguk atau menambahkan komentar singkat kepada panitia.

“Untuk bunga, saya sarankan mawar putih dengan kombinasi lily. Simbol kemurnian dan keanggunan,” jelas wedding planner dengan semangat.

Ayah Emily langsung setuju. “Itu cocok. Bagaimana menurutmu, Emily?”

Emily terperanjat, dia menoleh sekilas, bibirnya hampir refleks menjawab: ya, terserah saja. Namun sebelum sempat bicara, suara Albert mendahuluinya.

“Tidak. Emily lebih suka bunga Daisy,” ujarnya datar.

Semua mata beralih ke Emily, yang kini menatap Albert dengan kaget.

“Benar kan?” Albert menoleh padanya, suaranya tidak sekadar bertanya, melainkan seperti pernyataan.

Emily terdiam beberapa detik, lalu mengangguk pelan. “I-ya.. aku memang suka Daisy.”

Para wedding planner buru-buru menyesuaikan catatan mereka, sementara Emily masih dikuasai keheranan.

Bagaimana bisa dia tahu? Tidak ada seorang pun di keluarganya yang benar-benar peduli apa bunga kesukaannya.

Sore harinya, ketika semua orang sudah pergi, Emily masih duduk di teras rumah sambil menatap kebun. Senja merona oranye, namun hatinya terasa campur aduk.

Suara langkah mendekat membuatnya menoleh. Albert berdiri di sana dengan tangan masuk ke saku celana.

“Kenapa menatap kosong begitu?” tanyanya.

Emily menghela napas. “Hanya lelah.”

Albert mendekat, lalu ikut duduk di bangku kayu itu. “Wajar. Persiapan pernikahan seperti ini memang menyedot energi. Tapi kau terlihat seperti.. menanggung sesuatu yang lebih berat daripada sekadar lelah.”

Emily menoleh cepat, menatapnya penuh kewaspadaan. “Kau tidak perlu tahu.”

Albert justru tersenyum samar. “Aku tahu lebih banyak daripada yang kau kira.”

Emily menelan ludah. “Apa maksudmu?”

“Maksudku,” Albert menoleh padanya, sorot matanya tajam tapi tidak menusuk, “aku tahu kau tidak benar-benar bahagia dengan semua ini. Tapi kau tetap melakukannya demi keluargamu.”

Kata-kata itu menusuk hati Emily. Ia ingin menyangkal, tapi bibirnya tak sanggup.

“Kenapa.. kenapa kau peduli?” akhirnya ia berbisik.

Albert diam sejenak, lalu berkata pelan, “Karena aku benci melihat seseorang yang harus berjuang sendirian.”

Emily tercekat. Untuk pertama kalinya, nada suara Albert tidak terdengar dingin atau penuh wibawa bisnis. Ada ketulusan samar di sana.

Malam itu, Emily tak bisa tidur. Kata-kata Albert terus berputar di kepalanya.

Keesokan harinya, mereka harus mencoba makanan catering untuk pesta.

Deretan hidangan mewah disajikan di meja panjang: steak wagyu, salmon, sup krim truffle, kue cokelat lembut.

Emy tampak begitu menikmati, sibuk memberi komentar panjang lebar tentang rasa dan tampilan. Emily sendiri hanya mencicipi sedikit, tidak begitu peduli.

Namun ketika tiba giliran memilih dessert utama, Emily spontan berkata, “Kalau boleh, aku ingin ada pie apel. Itu sederhana, tapi.. hangat.”

Ayahnya langsung mengernyit. “Pie apel? Itu terlalu biasa. Tidak cocok untuk pernikahan besar.”

Emily hendak mengalah, namun Albert meletakkan sendoknya dan menatap ayahnya dengan tenang.

“Pie apel akan masuk daftar menu. Biarkan pengantin wanita memilih sesuatu yang membuatnya nyaman.”

Suasana meja seketika hening. Emily menatap Albert dengan mata melebar, hatinya bergetar entah kenapa.

***

Hari-hari berikutnya, Emily mulai memperhatikan hal-hal kecil yang sebelumnya dia abaikan. Albert memang jarang bicara, tapi setiap kali ia membuka mulut, selalu ada kata-kata yang anehnya dan menyentuh sisi personalnya.

Suatu sore, Emily keluar ke taman untuk menenangkan diri, dia membawa buku sketsa kecil, mencoba mencoret-coret untuk mengusir kegelisahan.

Saat itulah Albert muncul lagi, kali ini tanpa jas formal, hanya kemeja sederhana dengan lengan digulung.

“Lukisan?” tanyanya sambil melirik buku sketsa.

Emily buru-buru menutupnya. “Hanya coretan. Tidak penting.”

Albert menatapnya beberapa saat, lalu berkata, “Aku pikir coretan pun bisa lebih jujur daripada kata-kata.”

Emily membeku. Apakah dia mencurigai sesuatu?

Namun sebelum ia bisa menanggapi, Albert duduk di kursi taman di dekatnya. Mereka terdiam lama, hanya ditemani suara burung dan semilir angin sore.

Akhirnya Albert berkata pelan, “Kau tahu, aku juga tidak pernah membayangkan diriku di posisi ini. Aku pikir hidupku hanya akan penuh rapat, angka, dan kontrak bisnis. Tapi sekarang.. aku harus menikah.”

Emily menoleh. “Lalu.. apakah kau juga merasa terpaksa?”

Albert menatap langit senja. “Awalnya, ya. Tapi sekarang aku merasa.. mungkin pernikahan ini tidak sepenuhnya buruk.”

Albert menoleh, menatap Emily lurus-lurus. “Karena aku bisa mengenalmu lebih jauh.”

Jantung Emily berdegup kencang. Ia buru-buru menunduk, pura-pura fokus pada rumput di kakinya.

Namun dalam hatinya, sebuah celah kecil mulai terbuka, celah yang menyingkap kemungkinan bahwa pernikahan ini tidak hanya tentang bisnis, tapi juga tentang sesuatu yang lebih dalam.

1
Cty Badria
tinggal keluarga y hanya ngangap alat, tidak suka jalan y bertele, pu nya lemah banget
Lynn_: Terimakasih sudah mampir ya kak😇
total 1 replies
Fransiska Husun
masih nyimak thor
Fransiska Husun: /Determined//Determined/
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!