Series #1
•••Lanjutan dari novel TAWANAN PRIA PSIKOPAT (Season 1 & 2)•••
Universidad Autonoma de Madrid (UAM) menjadi tempat di mana kehidupan Maula seketika berubah drastis. Ia datang ke Spanyol untuk pendidikan namun takdir justru membawa dirinya pada hubungan rumit yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya.
Rayden Salvatore, terus berjuang untuk menjaga gadis kecilnya itu dari semua yang membahayakan. Sayangnya dia selalu kecolongan sehingga Rayden tidak diizinkan oleh ayah Maula untuk mendekati anaknya lagi.
Maula bertahan dengan dirinya, sedangkan Rayden berjuang demi cintanya. Apa keduanya mampu untuk bersatu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33 : Tamu di Ruang Pendingin
...•••Selamat Membaca•••...
Rumah Sakit Universitario La Paz, salah satu mitra klinik terbesar untuk mahasiswa UAM, nyaris kosong malam itu. Maula menyelesaikan laporan pengamatan anatomi jenazah yang ditugaskan dosennya. Jam digital di dinding menunjukkan pukul 22.56.
Ruang pendingin di lantai bawah tanah itu hanya diterangi lampu neon pucat. Suara lemari pendingin berdengung monoton. Bau formalin menggantung pekat di udara.
Ketika Maula hendak melepas sarung tangannya, terdengar suara pintu dibuka dan ia menoleh cepat.
Seorang wanita asing berdiri di ambang pintu. Jas panjang hitamnya menutupi tubuh ramping, sepatu hak tingginya terdengar berdetak halus di lantai linoleum. Rambut pirangnya disanggul rapi dan wajahnya… sangat tenang. Terlalu tenang.
“Tempat yang menarik untuk menyimpan sisa-sisa masa lalu ya,” ucap wanita itu dalam aksen Italia yang kuat, matanya tajam menatap Maula.
Maula mengerutkan alis. “Permisi, Anda siapa? Ini area terbatas—”
Tapi kalimatnya terputus. Wanita itu melangkah masuk, menutup pintu perlahan dan… menguncinya dari dalam.
“Namaku tidak penting,” ujarnya. “Aku hanya ingin tahu… apa istimewanya kau sampai Rayden begitu melindungimu?”
Maula bergeming, tubuhnya langsung siaga. Rayden?
“Aku tidak tahu siapa yang Anda maksud,” ucap Maula dengan tegas, dia juga tak kalah tenang dari wanita itu. Maula berkata demikian untuk menjaga agar dia tidak terpancing.
“Kau bohong.” Wanita itu menyeringai tipis. “Tapi itu tidak masalah. Kau akan bicara setelah ini.”
Tiba-tiba ia menyerang.
Pisau bedah melesat dari balik lengan jasnya. Maula menunduk, hampir tergelincir karena lantai basah cairan desinfektan. Pisau itu melukai pundaknya sedikit, tapi Maula sempat membalas dengan mendorong tubuh si wanita ke rak pendingin. Tubrukan itu menimbulkan dentingan keras, beberapa laci jenazah terbuka sedikit.
Perkelahian berlangsung brutal. Bianca. Meski namanya belum diketahui oleh Maula, ia bergerak cepat, seperti terlatih. Namun Maula adalah petarung yang lahir dari insting bertahan. Ia menggunakan sekelilingnya untuk membalas, nampan logam dilempar, troli didorong, bahkan tabung nitrogen didorong hingga meledak kecil menimbulkan ledakan tekanan udara yang mengalihkan fokus lawannya.
Mereka jatuh, bergumul di lantai dingin. Pisau hampir menembus perut Maula, tapi ia menggigit lengan Bianca sekuat tenaga hingga wanita itu mengerang dan mundur.
Bianca tidak menyangka kalau yang dia serang ternyata juga ahli dalam bertahan.
“Kau benar-benar kuat juga ya,” tutur Bianca.
“Apa sebenarnya yang kau inginkan?” teriak Maula sambil bangkit, napasnya memburu tapi tidak ada rasa takut di matanya.
Bianca menyeka darah di dagunya. “Aku ingin keadilan untuk Riccardo. Dan kau... boneka kesayangannya Rayden, harus membayar semua kehilanganku itu.”
Riccardo. Nama itu… Maula belum mengerti sepenuhnya karena Rayden tidak memberitahu dia tentang Riccardo. Tapi sekarang bukan waktunya untuk bertanya dan berpikir banyam.
Dengan satu gerakan berani, Maula menendang meja otopsi hingga menjatuhkan baki penuh peralatan logam. Sambil berlari ke arah pintu, ia menghantam kaca kecil dengan palu darurat. Alarm berbunyi.
Bianca mencoba menahan Maula, tapi gadis itu memukul wajahnya dengan lampu portable. Bianca jatuh terjerembap dan Maula berhasil membuka pintu dari dalam lewat kunci cadangan yang diselipkannya di balik jas putih.
Ia berlari ke luar lorong, darah menetes di lantai di belakangnya.
Bianca tertinggal di ruang pendingin, berdiri dengan napas berat. Ia menatap bekas darah Maula, lalu tersenyum sinis. “Dia lebih keras dari yang kukira. Dan ini baru permulaan.”
Pagi hari di Madrid terasa seperti sisa mimpi buruk. Lengan Maula dibalut perban tipis, meski ia menolak dirawat serius oleh rekan sejawatnya. Ia berdalih jatuh karena kecelakaan laboratorium.
Tak ada yang banyak bertanya karena ruang penyimpanan jenazah memang bukan tempat yang sering dikunjungi.
Tapi pikirannya tidak bisa diam. Terus kembali pada wanita itu. Tatapan penuh dendam. Nama Riccardo. Dan… Rayden.
...***...
Jarak ribuan kilometer tak menghentikan Maula menekan ikon telepon di layar ponselnya. Sinyal tersambung dengan tiga nada tunggu.
“Apa kau baik-baik saja, Maula?”
Suara Rayden terdengar berat, langsung. Seperti sudah tahu.
“Aku baru membaca pesanmu tadi, dari kemarin aku tidak memegang ponsel sama sekali, Ray.” Maula menghela napas. “Seseorang menerobos masuk ke ruang mayat rumah sakit semalam. Dia menyerangku. Perempuan berambut pirang pakai pisau bedah.”
Keheningan menyelinap di antara gelombang suara. Lalu Rayden berkata, pelan tapi pasti, “Bianca.”
Maula membeku. “Kau… kenal?”
“Dia tunangan Riccardo. Pria yang—” suara Rayden tertahan, lalu menyambung dengan nada lebih dingin, “—yang aku bunuh satu setengah tahun lalu di Milan.”
“Aku tidak tahu apa-apa tentang semua itu, dan aku mengerti posisimu,” bisik Maula.
“Aku tahu, sayang. Tapi Bianca tidak peduli. Dia ingin balas dendam dan dia akan mulai dengan apa yang paling menyakitkan bagiku. Itulah kenapa semalam aku menghubungi kamu dan mengirimkan pesan.”
Rayden terdiam, lalu suaranya lebih dalam, nyaris gemetar.
“Aku. Telah menyeretmu ke dalam dunia ini, Piccola.”
“Jangan salahkan dirimu begitu," potong Maula, mencoba tegar. “Aku tidak lemah, Rayden. Dia mungkin membuatku berdarah, tapi dia tidak berhasil membunuhku. Aku melawan sampai akhir. Kau tidak perlu khawatirkan aku atau menyalahkan dirimu sendiri, kau menjadi seorang mafia karena keinginanku.” Rayden menarik napas panjang di seberang lautan.
“Aku di New York sekarang. Tapi aku akan pulang. Secepatnya. Kau tidak akan sendiri menghadapi ini, Piccola.”
Maula menatap langit pagi dari balkon kecil kamarnya. Angin membawa aroma tanah basah dan sedikit darah yang masih melekat di bawah kukunya. Ia menggenggam ponsel lebih erat lagi.
“Aku tidak butuh kau melindungiku, Rayden,” katanya, pelan. “Tapi aku butuh kau percaya kalau aku bisa bertahan. Ini adalah resiko untukku setelah memaksamu kembali ke dunia bawah. Aku akan menanggung semuanya, fokus saja pada pekerjaanmu dan Bianca, biar menjadi urusanku.”
Rayden tidak menjawab. Tapi di ujung sana, ia memejamkan mata dan untuk pertama kalinya sejak satu tahun ia merasa takut. Bukan karena Bianca.
“Aku akan datang, Piccola. Aku datang, tidak ada yang boleh menyentuhmu. Aku dengan kekuasaan ini hanya untuk melindungimu dan aku kecolongan lagi.” Maula terkekeh kecil.
“Tidak perlu Senor Rayden, aku baik-baik saja. Banyak anak buah Papa dan anak buahmu di sini, dia sengaja masuk ke rumah sakit karena tidak terpantau, tenang saja ya. Aku aman.”
“Beri kabar setiap waktu padaku, aku tidak akan bisa tenang di sini.”
“Relax Beb, aku akan selalu memberi kabar padamu dan boleh minta satu hal.”
“Tentu. Katakan apa yang kamu mau.”
“Tetaplah bertahan dengan hatimu padaku, aku sangat ingin mendampingimu selamanya. Jangan biarkan dirimu dalam bahaya, jika aku yang menderita... itu karena keinginanku tapi jika kau yang terluka, siapa yang akan memanjakan aku.” Rayden menutup kedua matanya dan memijat dahinya yang terasa berdenyut nyeri.
“Aku akan ke sana, persetan dengan organisasi di sini. Kau adalah yang terpenting, semua ini untuk melindungimu, tunggu aku.” Rayden memutuskan panggilannya dan meminta Advait untuk mengurus penerbangannya ke Madrid besok.
“Jangan gila kau, kita semua bisa mati jika kau pergi besok. Kau mau mempertaruhkan nyawa ribuan anggotamu hah?” Rayden memukul meja dengan kuat, dia tidak bisa berbuat banyak lagi.
“Kita selesaikan semua urusan ini dengan cepat, musuh akan menyerang markas dalam dua hari ini, aku dapat informasi dari Ruess dan pertahankan markas utama. Berikan anggota kita senjata terbaik, tak ada barang yang gagal di kirimkan malam ini, pastikan itu sampai pada pembeli.” Advait mengangguk dan bergerak cepat, organisasi memang dijalankan oleh beberapa anggota tapi taktik dan otak dari semua ini adalah Rayden.
...•••Bersambung•••...