Prince play boy tingkat dewa yang sudah terkenal dengan ketampan nya, cukup dengan lirikan nya mampu membuat para kaum hawa menjerit histeris meminta Prince untuk menikahi mereka.
Suatu hari Prince mendapatkan tantangan untuk memacari siswi terjelek disekolah nya selama seminggu, namun jika ia menolak hukuman yang harus ia terima yaitu memutuskan semua pacar nya yang sudah tidak terhitung jumlah nya.
Prince mau tak mau menerima tantangan teman nya yaitu memacari adik kelas nya yang di cap siswi terjelek disekolah.
Berniat untuk mempermainkan adik kelas nya, Prince justru terjebak oleh permainan nya sendiri.
bagaimana kelanjutan nya, langsung cek sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penulismalam4, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Arkan mulai bertindak
Suara hujan tipis mengetuk jendela apartemen Arkan.
Layar-layar CCTV yang biasa menyala kini dibiarkan mati. Ruangan sunyi. Tak ada tawa terekam, tak ada tangis, tak ada data baru. Di meja kerjanya, Arkan duduk menunduk, menatap sebuah berkas medis yang telah ia cetak diam-diam dari sistem rumah sakit.
Nama: Margaret Andara
Golongan darah: AB Rh+
Status: Kanker stadium lanjut dengan komplikasi gagal organ progresif
Catatan tambahan: Memerlukan transplantasi sumsum tulang segera. Pendonor tidak ditemukan.
Arkan menggenggam kertas itu erat, matanya redup.
“Mereka bilang tak ada pendonor yang cocok…”
“Tapi aku… tak mau percaya pada kata ‘tidak ada harapan.’”
Ia berdiri, menarik laci bawah meja kerjanya, dan mengeluarkan sebuah flashdisk kecil—yang selama ini berisi data genetik dan daftar pasien anonim dari jaringan yang tak resmi. Koneksi itu ia miliki sejak bertahun lalu, sejak masa lalu kelam yang membuatnya ahli dalam menyusup sistem.
Bukan untuk menyakiti kali ini.
Tapi untuk menyelamatkan.
Arkan menghubungkan flashdisk itu ke laptop hitamnya, lalu membuka koneksi aman ke sistem donor dunia. Matanya menari, membaca, menyaring data ribuan orang.
Pencarian mulai dilakukan.
Satu demi satu nama ditandai, dicoret, diperiksa, dibandingkan.
Jam berganti, pagi menjelang. Arkan belum tidur. Rambutnya berantakan, tapi matanya tetap fokus.
Margaret tak tahu.
Prince tak tahu.
Bahkan dunia tak tahu...
…bahwa seorang ‘bayangan’ sedang berusaha memperpanjang hidup Margaret dari balik layar.
**
Beberapa hari kemudian…
**
Di salah satu rumah sakit luar kota, seorang remaja laki-laki berusia enam belas tahun terbangun dari tempat tidur setelah menjalani tes kesehatan untuk program relawan pendonor.
Di luar ruangan, seorang pria berjaket gelap duduk sambil mengetuk-ngetuk ponselnya. Ia berdiri saat seorang perawat keluar dan mengangguk pelan.
“Golongan darah cocok. Struktur genetik... 89,4% kecocokan,” kata perawat itu.
Arkan mengangguk tenang.
__________________
Malam turun dengan sunyi aneh.
Lampu di kamar rawat Margaret diredupkan, suara monitor detak jantung berdentang pelan. Margaret tertidur lemah, tubuhnya dibalut selimut putih, wajahnya pucat dengan mata yang makin cekung.
Di luar ruangan, tak ada seorang pun. Prince baru saja pulang diminta suster untuk beristirahat. Karin sedang menemani dokternya. Semua terasa tenang.
Terlalu tenang.
**
Pintu kamar terbuka perlahan.
Langkah sepatu pelan masuk.
Wajah tirus Arkan muncul di balik bayangan.**
Ia mengenakan jaket hitam dan ransel di punggungnya. Di tangannya ada suntikan kecil berisi obat penenang ringan. Ia berjalan ke sisi ranjang Margaret dan menatap wajahnya dengan mata kosong… namun dalam.
“Kamu gak akan sembuh kalau tetap di sini…”
“Mereka semua terjebak prosedur. Tapi aku… aku tahu cara lain.”
Dengan gerakan tenang, ia menyuntikkan cairan penenang ke dalam selang infus Margaret. Tak membahayakan, hanya membuatnya tidur lebih nyenyak—cukup untuk tidak bangun dalam waktu dekat.
**
Beberapa menit kemudian…
**
Di lorong belakang rumah sakit, seorang petugas jaga malam mengangguk sopan saat melihat Arkan mendorong ranjang kecil.
“Pasien observasi ke radiologi?” tanya petugas itu sambil membuka pintu akses lift bawah.
Arkan hanya mengangguk singkat. “Iya, instruksi dari dr. Hadi. Mendadak.”
Tak curiga, pintu lift terbuka. Ranjang masuk. Pintu tertutup.
Dan hilang.
**
Pagi harinya…
**
Prince tiba lebih awal dari biasanya. Membawa sarapan. Membawa buku yang Margaret suka.
Tapi saat ia membuka pintu…
Kosong.
Tidak ada ranjang. Tidak ada Margaret.
“YANG?!”
Tangannya gemetar saat menarik suster terdekat.
“Pasien kamar 206, di mana?!”
Suster panik, memeriksa layar. “Kami tidak punya catatan pemindahan. Ini... ini aneh.”
Prince menatap layar kosong, lalu berlari keluar kamar.
Dadanya sesak.
**
Sementara itu…
**
Di dalam sebuah mobil hitam yang melaju cepat keluar kota, Margaret terbaring dengan selimut tebal. Wajahnya tenang, masih tertidur.
Di kursi depan, Arkan mengemudi dalam diam.
Matanya fokus ke jalan.
Ia menatap Margaret lewat cermin spion.
___________________
Margaret terbangun dengan napas tersengal.
Langit-langit kayu dan bau lembap menusuk hidungnya. Ruangan itu asing. Sunyi. Tak ada suara mesin medis, tak ada suara suster, hanya detak jam tua di dinding dan satu jendela kecil yang tertutup tirai gelap.
“Di mana ini?” bisiknya.
Ia mencoba bangun, namun lengannya lemas. Infus masih terpasang di tangan kanannya. Selang oksigen kecil menempel di hidungnya.
Margaret panik.
Tangannya meraba sisi tempat tidur, mencari sesuatu—apa pun. Tapi tak ada. Tak ada ponsel, tak ada tombol panggil suster.
Ia bangkit dengan paksa, tubuhnya masih gemetar, lalu berjalan tertatih ke pintu.
Terkunci.
“KAMU SIAPA?! BUKA PINTUNYA!!” teriaknya, memukul pintu keras-keras.
Tak lama, suara langkah terdengar dari luar.
Pintu terbuka perlahan. Arkan berdiri di ambang pintu.
Tenang. Dingin. Matanya teduh, nyaris tak berekspresi.
“Kamu belum boleh keluar,” ujarnya pendek.
Margaret menatapnya tajam, dadanya naik turun.
“Lo bawa gue ke mana? Ini... ini penculikan?! APA MAU LO, ARKAN?!” teriaknya dengan suara serak.
Arkan tak menjawab. Ia hanya masuk perlahan dan meletakkan semangkuk bubur hangat di meja kecil dekat tempat tidur.
“Makan dulu. Kamu butuh tenaga,” ujarnya tenang.
“TIDAK! JAWAB GUE DULU!” bentak Margaret.
Tapi Arkan tak menggubris. Ia berjalan menuju jendela, membuka sedikit tirainya. Sinar redup dari luar masuk perlahan. Terlihat bayangan hutan di luar sana. Tempat itu jauh dari mana pun. Terisolasi.
“Gue bakal teriak! Lo gak bakal bisa kabur sama gue! PRINCE AKAN CARI GUE!” seru Margaret, matanya mulai berair karena ketakutan.
Arkan menoleh perlahan.
“Biarkan mereka mencari,” ujarnya lirih. “Tapi sekarang… kamu di tempat yang aman.”
Margaret terpaku. Kata itu… aman?
“Lo gila,” bisiknya. “Lo... psikopat.”
Arkan tak menjawab. Ia melangkah ke pintu, lalu berhenti di ambang.
“Jangan takut, Margaret,” katanya pelan. “Kamu gak akan mati di sini.”
Pintu ditutup. Dikunci kembali.
Margaret terduduk di tepi ranjang. Air mata jatuh perlahan, tubuhnya gemetar. Ia tak tahu harus percaya atau panik.
Sementara itu…
Di balik ruangan itu, Arkan berdiri diam menatap layar CCTV kecil di ruang kendali. Di layar, wajah Margaret terpampang. Lelah. Panik. Takut.
Di meja sebelahnya, berkas besar bertuliskan:
"Program Terapi Eksperimental untuk Pasien Gagal Organ – Tidak Tersedia di Rumah Sakit Umum"
Dan di bawahnya:
Pasien: Margaret Andara
Status: Tindakan Awal Dimulai Besok
Arkan menyentuh layar Margaret dengan jemari pelan.
“Maaf kalau ini terlihat gila…
Tapi satu-satunya cara buat nyelamatin kamu, adalah jauh dari mereka.”