roni, seorang pemuda tampan dari desa terpencil memutuskan untuk merantau ke kota besar demi melanjutkan pendidikannya.
dengan semangat dan tekat yang kuat iya menjelajahi kota yang sama sekali asing baginya untuk mencari tempat tinggal yang sesuai. setelah berbagai usaha dia menemukan sebuah kos sederhana yang di kelola oleh seorang janda muda.
sang pemilik kos seorang wanita penuh pesona dengan keanggunan yang memancar, dia mulai tertarik terhadap roni dari pesona dan keramahan alaminya, kehidupan di kos itupun lebih dari sekedar rutinitas, ketika hubungan mereka perlahan berkembang di luar batasan antara pemilik dan penyewa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aak ganz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22
Reza menghentikan tindakannya. “Kau tidak boleh melakukan ini, Reza!” teriak Ayu dengan panik. Namun, Reza yang telah dirasuki nafsu tetap nekat. Ia langsung menarik celananya dan melepaskan pakaian dalam yang tersisa di tubuh Ayu. Tapi tiba-tiba, tubuhnya kaku. Ia terdiam.
“Sial… kenapa malah sekarang?” umpatnya dengan wajah kesal. Dengan buru-buru, ia menutupi kembali tubuh Ayu, lalu mengenakan pakaiannya sendiri.
“Hari ini kau selamat, Ayu. Tapi lain kali, kau pasti akan kumiliki,” katanya seraya membelai wajah Ayu dengan penuh hasrat, lalu keluar dari kamar meninggalkannya.
Ayu hanya bisa termangu. Tapi begitu menyadari bahwa ia sedang datang bulan, ia menarik napas panjang. Setidaknya, itu telah menyelamatkannya dari kehinaan yang lebih jauh.
Di luar kamar, Tuan Hasan yang melihat Reza keluar dengan wajah merah padam segera menghampirinya. “Reza, bagaimana? Apakah semuanya berjalan lancar?” tanyanya dengan penuh harap.
“Ada urusan mendesak, Paman. Aku memutuskan menundanya. Permisi dulu,” jawab Reza singkat, lalu segera pergi sebelum hujan benar-benar turun.
Tuan Hasan menatap kepergian Reza dengan dahi mengernyit. “Kenapa jadi aneh begini? Apa ada yang terjadi?” gumamnya penuh curiga, lalu melangkah masuk ke dalam kamar Ayu.
Ia terkejut saat melihat Ayu terduduk di bawah tempat tidur, menangis terisak dengan tubuh yang menggigil.
“Apa yang terjadi? Kenapa Reza pergi terburu-buru?” tanyanya, namun alih-alih menunjukkan kepedulian terhadap kondisi putrinya, ia justru lebih peduli pada keberhasilan rencananya.
“Pa... kenapa Bapak tega melakukan ini pada Ayu? Apa Ayu bukan anak Bapak sampai-sampai Bapak membiarkan orang hampir merusak Ayu? Bukannya bertanya apa Ayu baik-baik saja, Bapak malah menanyakan tentang dia?! Ayu kecewa… Ayu sangat kecewa sama Bapak dan Ibu!” ucap Ayu penuh tangis dan kekecewaan.
“Kamu masih belum mengerti juga? Bukankah aku sudah bilang, kalau kamu menikah dengan Reza, hidup kita akan berubah? Tapi kamu tetap keras kepala. Jadi aku dan ibumu terpaksa melakukan ini agar kamu sadar!” jawab Tuan Hasan dengan nada keras.
“Aku benci kalian! Demi harta, kalian tega menjual aku. Apa kalian pikir aku tidak punya hati? Aku anak kalian! Tapi kalian memperlakukan aku seperti barang dagangan!” tangis Ayu memuncak. Ia berlari keluar rumah tanpa peduli teriakan Tuan Hasan yang memanggilnya.
“Ayu! Mau ke mana kamu?! Ayu!!”
Sementara itu, Reza yang tidak bisa menahan gejolak nafsunya, memilih mencari hiburan di tempat lain. Ia menyewa wanita penghibur untuk melampiaskan hasrat yang belum sempat terpenuhi.
Di sisi lain, Ayu terus berlari tanpa arah, menembus jalan setapak yang membelah sawah. Hanya ada satu tempat dalam pikirannya: rumah kakek.
Sesampainya di sana, tanpa mengetuk pintu, ia langsung masuk dan memeluk tubuh kakeknya yang sedang membaca koran. Kakeknya terkejut melihat kondisi Ayu yang mengenaskan—pakaiannya kusut, wajahnya basah oleh air mata.
“Sayang… kamu kenapa? Kenapa kamu menangis? Kenapa kondisimu seperti ini?” tanya kakek Darjo dengan cemas, memeluk cucunya erat.
“Kakek… hik… hik…” Ayu tak mampu berkata-kata. Ia hanya menangis di pelukan sang kakek, tubuhnya gemetar. Sang kakek membelai punggungnya lembut, membiarkan Ayu meluapkan semua kesedihannya.
Setelah beberapa lama, Ayu akhirnya tenang. Dengan suara lirih dan tersendat, ia menceritakan semuanya—tentang Reza, tentang ayahnya, dan bagaimana ia hampir ternoda.
Mendengar cerita itu, wajah kakek Darjo memerah. Amarah membuncah di matanya. “Hasan… bagaimana mungkin kau tega melakukan ini pada cucumu hanya demi harta…?” gumamnya dengan nada bergetar.
“Kakek, tolong… Ayu takut. Ayu gak mau pulang lagi. Ayu ingin tinggal di sini saja,” pinta Ayu penuh harap.
“Sudah, Sayang. Tenanglah. Kakek janji, mulai sekarang kamu tinggal di sini. Kakek akan bicara dengan ayahmu. Dia sudah keterlaluan,” ucap sang kakek mantap.
Gubuk kecil tempat tinggal kakek Darjo memang sederhana. Tapi bagi Ayu, tempat itu jauh lebih hangat daripada rumah besar yang penuh kepalsuan. Gubuk itulah yang dulu ia kunjungi bersama neneknya yang kini telah tiada.
Setelah memastikan Ayu aman, kakeknya bersiap pergi. “Ayu, kamu tunggu di sini. Kakek akan menemui ayahmu,” ucapnya. Ayu mengangguk pelan.
Dengan langkah cepat, kakek Darjo menuju rumah anaknya. Begitu sampai, ia langsung berteriak dari luar pagar. “Hasan! Keluar kamu, sialan!”
Tuan Hasan keluar dengan raut cemas. Ia tahu pasti Ayu telah menceritakan semuanya.
“Ada apa, Ayah?” tanyanya pura-pura polos.
“Masih bisa-bisanya kamu bertanya?! Apa aku mengajarkanmu menjadi manusia keji seperti ini? Menjual anakmu sendiri demi sawah dan harta?! Dasar anak durhaka!” teriak Kakek Darjo sambil menunjuk Hasan dengan penuh amarah.
“Bukan begitu, Ayah! Ayah salah paham! Ayu dan Reza kan mau menikah. Wajar mereka ngobrol berdua, kan?” dalih Hasan.
“Kamu kira aku bodoh? Ayu tidak akan berbohong padaku. Tidak akan ada pernikahan dengan Reza, titik! Kalau kau keberatan, biar aku bunuh kalian semua sekalian!” bentak kakeknya garang.
Hasan menelan ludah. Ia tahu betul betapa keras dan tegas ayahnya. Dulu, tak ada satu pun orang yang berani menantang Darjo. Bahkan, ia merasa beruntung ayahnya belum menghajarnya tadi.
“Tapi dia menjanjikan sawah, Ayah. Sawah luas. Kita bisa kaya!” Hasan masih mencoba merayu.
“Diam! Sebut sawah satu kali lagi, aku potong lidahmu!” bentak sang ayah.
Kakek Darjo lalu berbalik meninggalkan Hasan yang hanya bisa berdiri kaku.
“Ayu... kau benar-benar bikin masalah. Dasar anak durhaka,” desis Hasan penuh kesal.
Di balik amarahnya, Tuan Hasan sadar satu hal: ia telah kehilangan kendali, dan kini, tidak ada lagi jalan kembali.
"Kakek sudah berbicara dengan ayahmu. Sekarang kamu bisa tinggal di sini bersama Kakek. Tapi... apa kamu sanggup tinggal di gubuk kecil ini?" tanya Kakek Darjo, sambil menuangkan air putih ke dalam gelas.
"Tidak masalah, Kek. Justru di sini terasa lebih nyaman daripada di sana. Sudah lama Ayu ingin tinggal sama kakek. Dulu, waktu Abang Roni masih di kampung, Ayu sering menginap di sini, kan?" jawab Ayu, mulai tersenyum. Raut wajah sedihnya perlahan memudar.
"Hahaha, itu cuma alasan kamu saja biar bisa sering ketemu dia," canda Kakek Darjo. "Oh ya, bagaimana kabar Roni di sana? Apa dia sering mengabarimu?"
"Sering kok, Kek. Hehe... dia baik-baik saja di sana," jawab Ayu tersenyum kecil, menyembunyikan kenyataan agar kakeknya tidak membenci Roni seperti ayahnya.
"Kakek yakin dia pasti kembali. Kakek juga setuju dengan keputusannya pergi. Kakek kasihan melihat dia selalu dipandang rendah di sini. Semoga saat dia kembali nanti, dia sudah bisa dihargai oleh orang-orang," ujar Kakek Darjo bijak.
Ayu tersenyum haru. Semangatnya tumbuh kembali. Tak peduli ada atau tidaknya kabar dari Roni, cintanya tetap utuh. Ia akan terus menunggu dengan setia.
"Terima kasih, Kek. Hanya kakek yang bisa menerima Roni, selain Ayu," ucap Ayu, memeluk kakeknya dengan hangat.
"Dia itu anak baik. Sering bantu kakek rawat ternak tanpa pernah minta imbalan. Kakek juga tahu kamu sangat mencintainya. Dan kamu mungkin belum tahu, betapa dekatnya dulu kakek dengan ayahnya Roni. Orang baik juga, ayahnya itu."
"Kakek, ceritakan dong masa lalu kakek dengan ayah Roni. Ayu pengin dengar," pinta Ayu penuh semangat.
"Baiklah. Ayahnya Roni itu sebenarnya bukan orang sini. Dia berasal dari kampung yang jauh. Dia kabur bersama istrinya, karena keluarga istrinya menolak hubungan mereka. Keluarga istrinya kaya, sedangkan dia cuma anak petani.
Mereka lari karena cinta, sampai akhirnya singgah di kampung kita. Tanpa bekal dan tanpa tempat tinggal. Tapi dia tak pernah menyerah. Dia jadi buruh kebun, dan kebetulan kakek juga kerja di situ. Di situlah kami pertama kali bertemu.
Sayangnya, nasibnya tak sebaik kakek. Dia sering dihina dan bahkan pernah diusir dari kampung karena membawa lari wanita. Padahal mereka hanya ingin hidup tenang.
Sering dia dipukuli, sampai akhirnya cacat dan tak bisa kerja. Tapi istrinya tetap setia, tak pernah meninggalkannya. Bahkan dialah yang bekerja sebagai pembantu demi nafkah. Untungnya, Tuan Harnono waktu itu bersimpati dan menerima istrinya bekerja."
Mendengar cerita itu, hati Ayu tercabik. Ia mulai mengerti mengapa Roni dan keluarganya dipandang rendah.
"Kenapa, ya Kek, orang-orang bisa sekejam itu? Padahal mereka datang ke sini hanya untuk mencari ketenangan," ucap Ayu lirih.
"Itulah manusia, Yu. Sering kali merasa lebih benar, lebih baik. Padahal belum tentu," jawab kakeknya sambil menghela napas panjang.
"Kek... kalau Roni tahu semua ini, apa dia akan meninggalkan kampung ini selamanya? Jangan-jangan, dia pergi karena tahu semua ini?"
"Mungkin saja dia tahu. Tapi kakek yakin dia tak akan pergi selamanya. Dia mencintaimu, Ayu. Dari caranya memandangmu, kakek bisa lihat itu. Apalagi makam orang tuanya ada di sini. Dia pasti kembali."
Namun Ayu mulai gelisah. "Tapi entah kenapa Ayu merasa takut, Kek. Ayu ingin menyusul Roni. Takut dia tak kembali."
Kakek Darjo menatap lembut wajah cucunya. Ia tahu betapa dalam perasaan Ayu terhadap Roni.
"Kamu memang sangat mencintai pemuda itu, Ayu. Sampai rela menolak pinangan dari pemuda-pemuda kaya. Tapi kakek tak bisa menjamin masa depan kalian. Kakek sudah tua, tak lama lagi mungkin akan menyusul nenekmu. Orang tuamu pun tak merestui hubungan kalian."
Kakek menghela napas, lalu melanjutkan dengan suara tenang, "Jangan terburu-buru, Yu. Kota itu bukan tempat yang aman untuk gadis sepertimu. Apalagi kamu tidak tahu alamat Roni. Dia pasti kembali. Percaya saja."
"Tapi... kalau dia tidak kembali?" tanya Ayu pelan.
"Kita lihat nanti. Tapi tetaplah percaya padanya. Dia pasti akan kembali," ucap Kakek Darjo sambil menepuk bahu cucunya lembut.
Hari demi hari berlalu. Dua bulan telah lewat, dan Roni masih terbaring koma di rumah sakit yang sama. Tak ada tanda-tanda ia akan sadar.
Miya sempat mengusulkan agar Roni dipindahkan ke rumah sakit lain yang ditangani dokter spesialis terbaik. Ayahnya pun siap menanggung semua biaya. Namun, Maya menolak.
Alasannya sederhana, katanya Roni tak suka berutang budi. Jika sadar nanti, dia akan terus merasa terbebani. Maya tahu, Roni tipe pria yang menyimpan semua beban sendiri.
Miya kecewa. “Dia pacarku. Apa salahnya? Toh nanti kami akan menikah,” katanya waktu itu.
Namun Maya tetap bersikeras. Roni tetap dirawat di rumah sakit itu.
Sebenarnya, alasan Maya bukan hanya soal biaya. Dia menyimpan satu rahasia penting: dokter telah memastikan bahwa jika Roni sadar, kemungkinan besar ia akan kehilangan sebagian ingatannya.
Maya tahu betul konsekuensinya. Dan ia takut... takut Roni akan melupakannya. Maka, ia merahasiakan semuanya dari Miya, dan terus berada di sisi Roni, menjaga satu harapan yang tak ingin ia lepaskan.