Kekhilafan satu malam, membuat Shanum hamil. Ya, ia hamil setelah melakukan hal terlarang yang seharusnya tidak boleh dilakukan dalam agama sebelum ia dan kekasihnya menikah. Kekasihnya berhasil merayu hingga membuat Shanum terlena, dan berjanji akan menikahinya.
Namun sayangnya, di saat hari pernikahan tiba. Renaldi tidak datang, yang datang hanyalah Ervan—kakaknya. Yang mengatakan jika adiknya tidak bisa menikahinya dan memberikan uang 100 juta sebagai ganti rugi. Shanum marah dan kecewa!
Yang lebih menyakitkan lagi, ibu Shanum kena serangan jantung! Semakin sakit hati Shanum.
“Aku memang perempuan bodoh! Tapi aku akan tetap menuntut tanggung jawab dari anak majikan ayahku!”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26. Hati Yang Gelisah
Ada Jeda. Ervan menarik napas dalam. “Mungkin aku cuma .. kelelahan. Banyak tekanan dari keluarga, perusahaan, dan semua hal. Aku bingung harus berdiri di sisi yang mana. Sorry ya, Mei.”
Meidina menatapnya lebih lama. “Aku tahu Kak Ervan tidak suka dipaksa. Tapi aku juga manusia, Kak. Aku butuh diyakinkan. Maka dari itu sebaiknya pernikahan kita dimajukan saja, bahkan Mama Kak Ervan sangat menginginkannya.”
Ervan mengangguk, mencoba mengatur nada suaranya. “Aku butuh waktu. Nggak lama. Tapi aku ingin yakin juga, bahwa nanti saat kita jalan bareng, semua ini bukan cuma karena desakan orang tua.”
Meidina tak langsung menjawab. Ia menyesap anggurnya pelan, lalu menatap ke luar jendela. “Aku cinta kamu, Kak. Dan aku yakin Kakak tahu itu. Tapi kalau Kakak memang sudah nggak yakin lagi sama kita ... katakanlah.”
Ervan menatap wajah cantik itu. Anggun, dewasa, dan tulus. Tapi entah kenapa ... hatinya hari ini tidak bergerak. Hatinya tidak hangat.
Yang terbayang justru wajah Shanum yang dingin, tapi mengandung luka. Matanya yang memerah menahan tangis, dan cara ia menyentuh perutnya yang masih penuh harapan.
Padahal bukan Meidina yang salah.
“Bukan itu,” gumam Ervan pelan. “Bukan karena aku tidak yakin. Tapi kadang aku takut melukai orang yang percaya penuh padaku.”
Meidina mendekatkan tangannya ke atas meja, meraih tangan Ervan. “Kak Ervan tidak akan melukai aku kalau Kakak jujur.”
Ervan menggenggam balik, perlahan. Lalu ia tersenyum kecil, tipis. “Terima kasih karena masih mau menunggu.”
“Aku sayang kamu,” ucap Meidina lembut.
Ervan tak membalas. Ia hanya mengangguk kecil.
Dan dalam diamnya, ia tahu ... malam ini mungkin menjadi awal dari perpisahan yang tak bisa langsung ia ucapkan.
Karena tanpa disadarinya separuh hatinya sudah tertinggal di ruang rumah sakit.
Dan entah bagaimana, Shanum mulai mengisi ruang yang bahkan Meidina pun tak tahu ada.
***
Di luar jendela, lampu-lampu kota Jakarta berkelip tenang. Restoran Marble Bleu dipenuhi suara sendok dan garpu, tawa kecil dari meja lain, dan alunan jazz yang lembut mengisi udara.
Namun di meja itu, hanya ada satu hati yang tak tenang.
Ervan duduk bersama perempuan yang seharusnya ia nikahi dengan penuh cinta.
Tapi pikirannya terperangkap pada perempuan yang ia nikahi karena musibah ... dan kini justru membuatnya ingin kembali menjadi manusia yang seutuhnya. Namun, apakah bisa?
***
Tanpa terasa satu jam telah berlalu. Senyum Meidina masih mengembang saat menceritakan betapa suksesnya peluncuran produk skincare terbarunya. “Kak Ervan tahu nggak, baru tiga jam sejak launching tadi pagi, udah sold out seribu pieces! Dan itu belum termasuk yang PO dari reseller. Aku sampe shock waktu tim marketing ngasih laporan penjualan. Ini sih gila!” ujarnya penuh semangat.
Ervan mengangguk, mencoba tersenyum. “Keren. Selamat, Mei.”
Meidina tertawa bangga. “Makanya, Kak Ervan tuh harus lebih percaya sama insting aku. Orang bilang dunia skincare udah jenuh, tapi aku tahu banget kapan momen yang tepat buat ngegas.”
Sementara itu, di bawah meja, tangan Ervan bergerak cepat membuka ponselnya. Cahaya layar menyala sesaat, menyorot wajahnya yang tegang. Ia membuka aplikasi pesan dan mengetik cepat:
"Shanum, gimana keadaanmu?”
"Masih sakitkah perutnya?”
"Udah makan belum?”
"Saya di sini. Kalau butuh apa-apa, bilang ya. Kamu mau makan sesuatu kah? Biar saya belikan?"
Setelah mengetik, jempolnya ragu-ragu sebelum menekan tombol kirim. Pesan itu pun meluncur dan seketika tanda centang satu muncul. Belum dibaca. Belum dibalas. Belum ada jejak bahwa Shanum membuka pesan darinya.
Ervan menelan ludah. Ada rasa bersalah yang makin menebal di dadanya.
“Eh, Kak, kamu dengerin aku, nggak sih?” tegur Meidina setengah protes sambil menyentuh tangan Ervan.
Pria itu lekas menyimpan ponselnya dan tersenyum menenangkan. “Maaf. Tadi notifikasi kantor masuk. Aku dengerin, Mei. Seribu pieces, kan?”
Meidina mengangguk dengan senyum puas. “Iya dong. Dan kamu tahu nggak ... ini semua aku persembahkan buat masa depan kita.”
Ervan hanya bisa membalas dengan gumaman pelan, “Terima kasih.”
Namun pikirannya jauh. Bahkan suara jazz di latar seakan meredam semua yang terjadi di meja makan itu.
***
Rumah Sakit Medika Brawijaya – Ruang Rawat VIP, 20.10 WIB
Sementara itu, di tempat berbeda, suasana ruang rawat terasa jauh lebih hangat daripada sebelumnya.
“Assalamu’alaikum, Shanum.” Suara renyah Bik Laras menggelegar lembut dari ambang pintu sambil membawa dua kantong besar dari toko kue ternama.
“Lihat nih, bawaannya dari Tuan Wijatnako! Katanya kamu harus makan yang manis-manis biar nggak sedih terus.”
Shanum yang tadinya duduk lemas bersandar di ranjang, mendongak kaget. Matanya langsung berbinar melihat sosok Bik Laras yang masuk sambil nyengir penuh semangat. Ya, ia sudah kenal dengan Bik Laras dari kecil, salah satu maid yang bekerja di mansion keluarga Wijatnako, karena semasa kecilnya pernah diajak ayahnya ke mansion jika ibunya sedang sakit dan tidak bisa menjaganya.
“Wa’alaikumussalam, Bik Laras ... ya ampun ... banyak banget,” ucapnya, senyumnya muncul pelan untuk pertama kali sejak siang.
“Tuan Wijatnako yang beli semua ini, loh. Dan, Bibi minta membawanya ke sini!” ujar Bik Laras bangga. “Kata beliau, Shanum suka cake potong yang ada topping kejunya. Nih, Bibi bawain yang rasa keju, red velvet, coklat, dan pisang karamel!”
Wajah Shanum seketika berubah. Sorot matanya yang sendu dan cemas seketika tergantikan cahaya cerah.
“Pak Wijatnako yang beneran beli ini semua?” bisiknya tak percaya.
“Iya! Katanya kamu harus cepat sehat,” sahut Bik Laras sambil mengeluarkan box demi box dari tas. Aroma manis dari cake langsung menguar ke seluruh ruangan.
Shanum tertawa kecil, nyaris malu sendiri karena hatinya meleleh oleh perhatian sederhana itu. Ia mengambil sepotong kecil red velvet, lalu mencicipinya perlahan.
“Mmm ... enak banget,” gumamnya pelan sambil menutup mata, menikmati tiap gigitan.
“Kalau kamu suka, nanti Bibi bawain lagi, ya. Bibi juga bawain teh chamomile panas buat nemenin makan kuenya. Biar kamu nggak masuk angin,” ujar Bik Laras sambil menuangkan teh dari termos kecil.
Shanum mengangguk. “Terima kasih, Bik. Shanum senang banget ... beneran.”
Bik Laras duduk di sofa kecil dekat ranjang sambil mengamati Shanum yang mulai semangat lagi. “Cepat sembuh ya, Tuan sudah bercerita semuanya saat ditelepon. Semoga kandungan kamu semakin kuat dan sehat.”
Shanum menunduk, mengelus perutnya pelan. Senyum tipisnya masih bertahan. Tapi dalam hati, ada ruang kosong yang diam-diam terasa: tidak ada satu pun pesan dari Ervan yang dibacanya malam ini.
Ponsel Shanum terletak di nakas, dalam mode diam. Layarnya gelap, padahal ada empat pesan baru menunggu.
Ia memilih tidak menyentuhnya.
Bukan karena tidak ingin. Tapi karena hatinya sudah terlalu lelah untuk berharap sesuatu dari seseorang yang bahkan sedang duduk bersama wanita lain malam ini. Ia tahu diri, posisinya seperti apa bagi Ervan, walau di atas kertas Ervan suami sahnya.
Tapi malam itu, meski tanpa pesan dan perhatian dari Ervan, Shanum menemukan sedikit kehangatan. Ah, mood ibu hamil itu memang suka berubah-ubah. Ia pun kadang suka tidak mengerti.
Dari Bik Laras. Dari sepiring cake. Dan dari sosok ayah yang tak pernah benar-benar pergi, meski bukan ayah kandungnya.
Sementara itu, di restoran .…
Ervan kembali melirik ponselnya di sela-sela tawa Meidina yang bercerita soal rencana collab dengan influencer. Pesan-pesan itu masih centang satu.
Belum dibaca.
Dan untuk pertama kalinya malam itu, Ervan merasa benar-benar ditinggalkan oleh seseorang yang tak menuntut apa-apa ... tapi justru paling ia tunggu balasannya.
"Apa Shanum sudah tidur?"
Bersambung ... ✍️
ervan cowok yg gak punya pendirian dan labil sama ma adeknya juga.
mudah2an shanum gak sama keduanya. baikervan atau adiknya
..
kau tya kn tidak dilihat langsung' oleh shanum marah kecewa begitu lh yg shanum rasajika diri tidak di anggap isteri
raga di restoran hati di RS 😂😂