Setelah sepuluh tahun menjanda setelah pernikahan kedua, Ratna dihadapkan oleh perilaku tak terduga dari anak tiri yang ia rawat. Setelah menikah dengan Dirli, Amora mengusir Ratna dari rumah peninggalan ayahnya (suami Ratna).
Suatu hari, ia bertemu dengan seorang pria tua memakai jaket ojek online. Pria bernama Robin itu melihat ketulusan Ratna yang menolong orang yang tak dikenal. Dengan lantang ia mengajak Ratna menikah.
Dalam pernikahan ketiga ini, ia baru sadar, banyak hal yang dirahasiakan oleh suami barunya, yang mengaku sebagai tukang ojek ini.
Rahasia apakah yang disembunyikan Robin? Apakah dalam Pernikahan yang Ketiga dalam usia lanjut ini, rumah tangga mereka akan bahagia tanpa ada konflik?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CovieVy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32. Nyonya Robin Hadinata
Wirya duduk tegak, mengamati Robin seperti meneliti luka lama yang kembali menganga. Dari balik kaca jendela pintu mobil, siluet Ratna dan Amora terlihat samar di warung seberang, namun Wirya tak menoleh ke sana.
“Sorot matamu persis seperti dulu, di saat Nancy pergi meninggalkanmu,” gumamnya pelan, nyaris tanpa intonasi.
“Ternyata, sampai saat ini kau masih terpaku di masa lalumu.”
Robin mengangkat wajahnya, perlahan. Tatapannya datar, tapi rahangnya mengeras. Lalu ia menyandarkan tubuh ke jok, jari-jarinya bertaut di belakang kepala. Ia hanya membisu dengan segala angan masa lalu yang berterbangan di dalam benaknya.
Wirya masih menunggu jawaban. Akan tetapi, yang ia dengar hanyalah hembusan napas panjang, dari pria yang duduk di bangku supir.
“Apa kau masih mencintainya?” tanya Wirya, seolah menyatakan fakta yang sudah lama tertulis, tetapi tak pernah lagi terdengar.
Bahu Robin turun naik dengan perlahan. "Aku hanya teringat pada ucapannya tadi. Mengandung anakku? Kok bisa? Aku yakin selalu berhati-hati saat melakukannya. Tapi, entah lah, kejadian itu sudah dua puluh tahun berlalu."
Robin kembali menghela napas berat. "Salahnya sendiri juga sih, kenapa memilih untuk pergi."
Ia menoleh ke arah warung. Di balik kaca jendela, Ratna tampak sedang bekerja membersihkan warung, tetapi tak melihat keberadaan Amora. Ia teringat pada senyum istrinya yang hangat, tulus, dan selalu tampil sederhana, apa adanya.
Tanpa sadar, Robin tersenyum sendiri, senyuman yang lembut. Nyaris malu-malu.
“Jangan senyam-senyum sendiri begitu dong,” sindir Wirya sambil tergelak. “Baru juga sekian detik yang lalu ingat masa lalu, udah baper aja sama yang baru.”
Robin mengusap wajahnya. Ia kembali duduk tegak, lebih mantap dari sebelumnya.
“Kita cari tahu kebenarannya,” ujarnya. “Aku gak mau dipermainkan lagi. Sekali saja cukup untuk Nancy.”
"Nah, gitu dong. Masa seorang Robin Hadinata, sang pemilik sekaligus pimpinan R.H. Group, menye-menye karena masalah ini doang? Ayo, kita lakukan."
Sejenak, Wirya melirik kembali ke arah Ratna. "Kita harus mempercepat pengurusan surat pernikahan kalian."
Robin mengangguk lalu menarik persneling dan rem tangan. "Kita ke sana saat ini juga. Kalau belum beres juga, kita bayar saja! Apa yang tak bisa diselesaikan oleh uang?" Robin menyeringai, menginjak pedal gas dan melesat bagai angin dengan kendaraan super yang tak pernah ia perlihatkan kepada istrinya, Ratna.
.
.
.
Langit telah berubah gelap. Lampu-lampu warung mulai menyala satu per satu, memantul di genangan tipis bekas hujan sore. Ratna berdiri di tepi trotoar, menatap kanan-kiri jalan yang mulai lengang. Tak ada bayangan Robin.
Amora pun sudah lebih dulu menghilang, mungkin pulang duluan. Amora harus segera menjemput bayinya yang ditinggal di rumah mertuanya. Membuat ia buru-buru pergi, sebelum mertuanya semakin mengomel.
Ia merogoh tas kecilnya, menarik keluar sebuah ponsel berwarna krem keemasan. Masih tampak mengilap, hadiah dari keponakan Robin beberapa hari lalu. Tapi, benda itu belum benar-benar bersahabat dengannya karena sistemnya benar-benar berbeda dengan ponselnya yang lama.
Jarinya menyentuh layar dengan ragu. Disapunya sekali, layar bergerak. Disapunya lagi, malah keluar aplikasi kamera.
“Aduh ... gimana caranya nelpon Pak Suami, ya?” gumamnya sambil menjauhkan dan mendekatkan ponsel ke wajah. Alisnya bertaut lucu, seperti anak kecil yang bingung memegang mainan baru.
Saat ia hampir menyerah, suara motor mendengung pelan dari kejauhan. Ratna menoleh refleks. Mesin itu, suaranya, bahkan cara berhentinya yang sudah mulai ia hafal.
"Bang."
Pria itu turun dari motor dengan helm masih terpasang. Ratna menyambutnya dengan cemberut yang dibuat-buat.
“Kamu ya ... kebiasaan banget sih pergi nggak pamit? Bikin khawatir, tahu gak?” Bibirnya manyun, tapi matanya berbinar lega.
Robin tertawa kecil. Ia menyingkap helmnya, lalu menyentil pelan bibir istrinya yang masih memonyong lucu. “Udah tua, nggak cocok lagi manyun-manyun gitu,” godanya.
Ratna menyikut pinggang suaminya sambil terkikik. “Tua-tua keladi, makin tua makin ngeselin!”
"Ah, keladi ... Aku lagi gatel nih. Nanti kamu yang garukin ya?" Ia terkekeh sembari menarik rusleting jaket hijaunya. Kepalanya sedikit berputar ke kiri dan kanan. Tampak pintu warung sudah terkunci.
Dari dalam sana, ia mengeluarkan sebuah map cokelat tipis. Tangannya membuka perlahan, memperlihatkan sepasang buku kecil berwarna merah dan biru yang tampak masih hangat dari percetakan.
Ratna mengernyit penasaran. “Itu apa?”
Tanpa banyak bicara, Robin menyodorkannya.
“Lihat aja sendiri,” ujarnya datar, tapi sudut bibirnya sedikit terangkat. "Mana Amora?"
Ratna menerima buku itu, yang sudah dua kali dimilikinya. Tatapannya menyapu halaman demi halaman. Di sana tertera namanya dan nama Robin.
"Amora pulang duluan. Katanya harus jemput anaknya di rumah mertua."
Mendengar penjelasan Ratna, Robin kembali menyimpan berkas yang harus ditandatangi Amora.
"Ini buku yang ketiga," gumam Ratna tanpa menoleh. Di sana juga ada fotokopi Kartu Keluarga yang menyebutnya sebagai "Istri".
“Wah, cepet juga ya beresnya? Kok bisa?” suaranya nyaris seperti bisikan.
Robin melipat kedua tangan di dada, sedikit membungkuk ke arah Ratna dengan pandangan menggoda. “Selamat ya, Nyonya Robin Hadinata. Kamu udah diresmikan oleh negara menjadi istriku.”
Ratna mengerucutkan bibir, lalu mendesis tawa. “Nyonya Hadinata?” ujarnya, mencubit lengan suaminya yang kekar. “Berasa aku ini mendadak kaya raya aja. Lagakmu itu, Bang.”
Robin pura-pura mengeluh, memijat bekas cubitan di lengannya. “Berarti kamu senang dong? Sekarang udah jadi Nyonya Robin Hadinata.”
Ratna tak langsung menjawab. Jemarinya menyusuri pinggiran map cokelat tua yang digenggamnya erat. Matanya menelusuri huruf-huruf di sampulnya sejenak, lalu perlahan tangannya merayap menyusup ke dalam lengan Robin.
Ia menunduk, memeluk map itu ke dada. “Hmm ... Gimana ya? Aku juga nggak tahu bagaimana cara mengungkapkannya."
"Kamu cukup katakan satu hal padaku,” bisik Robin.
“Apa?” tanya Ratna, matanya berkaca.
“Kalau kamu bahagia menjadi istriku.”
Ratna mengangguk pelan menyandarkan kepala ke lengan suaminya. Air matanya menetes tanpa suara. “Aku bahagia—" Lalu kepala Ratna tegak menatap ke arah suaminya.
"Tapi aku ingin lebih dari sekedar status dari buku itu. Perlakukan aku sebagai istri yang ... seutuhnya."
Robin tersentak membalas tatapan Ratna dengan kerutan di keningnya. "Emangnya selama beberapa waktu ini, kamu tak kuperlakukan seperti istri?"
"Soalnya Abang tu suka ilang-ilangan. Harusnya bilang dulu ke aku. Jadi, aku tak kebingungan mencari Abang. Mana ini aku belum bisa mengotak atik hape yang dikasih keponakanmu kemarin, jadi aku kan bingung harus mencari ke mana?"
Robin menghela napas panjang, lalu mengangkat alis. “Makanya, meskipun kita ini udah nggak muda lagi, jangan kalah sama zaman dong, Sayaaaang...” katanya sambil menjawil pipi Ratna penuh gemas.
“Apa?” Ratna membelalak, berpura-pura marah.
Robin tertawa, lalu berbalik berlari menuju motornya. "Ayo pulang, malam ini kamu akan tahu bagaimana kehidupan suami istri seutuhnya." Robin melirik Ratna dengan senyuman penuh arti.