Novi adalah seorang wanita seorang agen mata-mata profesional sekaligus dokter jenius yang sangat ahli pengobatan dan sangat ahli membuat racun.
Meninggal ketika sedang melakukan aktivitas olahraga sambil membaca novel online setelah melakukan misi nya tadi malam. Sayangnya ia malah mati ketika sedang berolahraga.
Tak lama ia terbangun, menjadi seorang wanita bangsawan anak dari jendral di kekaisaran Dongxin, yang dipaksa menikah oleh keluarga nya kepada raja perang Liang Si Wei. Liang sangat membenci keluarga Sun karena merasa mencari dukungan dengan gelar nya sebagai salah satu pangeran sekaligus raja perang yang disayang kaisar.
Tepat setelah menikah, Novi melakukan malam pertama, ia menuliskan surat cerai dan lari. Sayangnya Liang, selalu memburu nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Xie Yuan
Tabib Hu menatap wajah pemuda di hadapannya dengan seksama. Wajah itu... begitu halus. Rahangnya memang tegas, namun kulitnya putih pucat seperti porselen, nyaris tanpa cela. Wajahnya tampan, tapi ada kelembutan yang nyaris membuatnya terlihat cantik.
"Aneh, denyut nadi ini sangat lemah, mirip seorang wanita." ucapnya dalam hati.
Namun cepat-cepat ia menarik tangannya kembali. "Ah, maafkan aku. Tanganku terlalu lancang."
Sun Yu Yuan hanya menatapnya tenang, lalu tersenyum. Suaranya tetap rendah dan terjaga. “Tidak masalah. Aku baik-baik saja.”
Tabib Hu masih tampak bingung. Ia menyelidik tanpa menuduh. "Nadimu terlalu halus untuk seorang pemuda tangguh. Apakah kau kelelahan akhir-akhir ini?"
Yu Yuan tersenyum tenang, menekan suara agar tetap rendah. “Ah iya tabib hu, lagipula di tubuhku banyak sekali racun yang mengendap. Butuh berbulan-bulan untuk mengeluarkannya.”
Yu Yuan mengangguk perlahan. “Ah, iya. Tubuhku sudah lama menyimpan banyak racun. Mengendap bertahun-tahun tanpa aku sadari. Baru akhir-akhir ini aku tahu saat mulai mempelajari pengobatan.”
Tabib Hu terkejut. “Racun? Siapa yang begitu tega meracunimu?”
Sun Yu Yuan menatap jauh ke arah pepohonan di kejauhan, matanya teduh namun menyiratkan duka yang dalam. “Entahlah, Racun ini sudah ada sejak lama. Aku tak tahu siapa pelakunya. Mungkin aku sudah melupakannya, atau memang tak pernah tahu. Yang pasti, racun ini tak mudah disingkirkan. Butuh waktu berbulan-bulan, bahkan tahunan.”
Tabib Hu menghela napas panjang. "Itu sangat menyedihkan. Tapi kau tampak tenang, seolah menerima takdirmu dengan lapang."
“Hidup di antara racun, membuatku belajar untuk tidak panik. Lagipula aku tahu sedikit pengobatan.”
Tabib Hu memandang pemuda itu dalam diam, seolah mencoba membaca isi hatinya yang dalam. Namun sebelum ia sempat bertanya lebih lanjut, suara langkah kaki dan panggilan dari kejauhan memecah keheningan.
“Tabib Hu! Tabib Hu!”
Seorang pemuda desa berlari tergesa menuruni jalan setapak. Napasnya memburu saat melihat sang tabib duduk bersandar di batu bersama seseorang.
“Tabib! Syukurlah kau ditemukan! Kami mencarimu! Istrimu khawatir sekali!”
Tabib Hu tersenyum lemah. “Aku baik-baik saja, Li Sheng. Berkat pemuda ini.” Ia menoleh ke arah Sun Yu Yuan. “Namanya Xie Yuan, dia menyelamatkanku dari racun dan luka.”
Pemuda desa itu menatap Yu Yuan dengan rasa kagum. “Wah! Terima kasih banyak, Tuan Xie Yuan!”
“Tidak masalah, tuan!”
Dua pemuda lainnya datang membawa tandu sederhana. Tabib Hu pun dibaringkan di atasnya dengan hati-hati.
Sebelum pergi, ia menggenggam tangan Yu Yuan sekali lagi. Kali ini tanpa memeriksa nadinya, hanya dengan ketulusan.
“Xie Yuan, terima kasih. Kau menyelamatkan hidupku. Jika kau butuh bantuan atau ingin belajar tentang pengobatan, pintu rumahku selalu terbuka untukmu.”
Sun Yu Yuan tersenyum. “Aku akan mengingatnya, Tabib Hu.”
Setelah Tabib Hu dan para penduduk desa meninggalkannya, Sun Yu Yuan menghela napas pelan. Ia kembali menatap ke arah hutan pegunungan yang menjulang sunyi di hadapannya.
“Baiklah, aku harus lanjut mencari sebelum matahari tinggi,” gumamnya seraya mengencangkan barang bawaannya.
Semakin dalam ia masuk, pepohonan semakin rapat, sinar matahari pun hanya menerobos dalam garis-garis tipis. Setelah berjalan hampir satu jam, ia menemukan sebuah goa yang mulutnya tertutup lumut dan semak.
Sun Yu Yuan mendekat hati-hati, menyingkirkan ranting dan ilalang. Ia mengintip ke dalam.
“Goa?” Ia menunduk, memperhatikan jejak di tanah. Tak ada tanda-tanda binatang besar. Ia hanya menyimpan catatan dalam hati. “Tempat ini bisa jadi tempat berlindung sementara, kalau aku butuh tempat persembunyian.”
Ia kembali menapaki jalan menanjak, menelusuri tepian tebing. Tak lama, ia sampai di sebuah tepi jurang yang membuat langkahnya terhenti.
Di bawah sana, terbentang danau berwarna kebiruan yang berkilauan diterpa cahaya matahari pagi.
Mata Sun Yu Yuan melebar sedikit. “Danau? Di tempat setinggi ini? Sangat berbahaya, tapi sepertinya penduduk desa jarang yang ada ke tempat ini.” bisiknya heran.
Ia jongkok di tepian, memandang ke bawah. Kabut tipis melayang di atas permukaan air. Terlalu jauh untuk mengukur kedalaman. Namun air yang berwarna gelap dan hening membuatnya curiga.
Ia mencatat letaknya dalam ingatan sebelum beranjak turun.
Namun di tengah jalan pulang, saat ia melewati jalur yang lebih terbuka, suara geraman rendah membuat bulu kuduknya berdiri.
Grrr!
Ia menoleh perlahan. Dari balik semak, dua harimau besar muncul. Matanya mengawasi tajam, tubuhnya rendah siap menerkam.
Jantung Sun Yu Yuan berdegup kencang. “Sial, tidak sekarang, tubuhku masih terlalu lemah untuk melawan dua ekor harimau, mereka lebih buas dari pada manusia, mana ada dua lagi.”
Geraman makin keras, harimau mulai mendekat.
Tanpa pikir panjang, Yu Yuan memutar badan dan berlari ke arah pohon besar terdekat. Ia memanjat cekatan meski tubuhnya menjerit lelah. Cakar si harimau menggores batang pohon tepat di bawah kakinya.
“Setidaknya aku masih bisa memanjat,” gumamnya di antara napas yang memburu. Ia duduk di dahan besar, mengatur napas sambil menatap ke bawah.
Dua harimau itu masih menggeram, mondar-mandir di bawah pohon seperti menunggu mangsanya turun.
Sun Yu Yuan menghela napas panjang. “Sepertinya aku akan bermalam lebih lama di gunung hari ini,” bisiknya lelah, sambil menatap langit yang mulai berubah jingga.
Setelah berjam-jam hanya bisa duduk diam di atas pohon, tubuh Sun Yu Yuan terasa kaku dan pegal. Ia tak berani bergerak sembarangan, karena harimau di bawah sana masih mondar-mandir seperti penjaga setia yang enggan menyerah.
Namun, suara gemerisik dari seberang semak membuat dua harimau itu menoleh tajam. Seekor rusa besar muncul, melangkah hati-hati di balik dedaunan.
Dua Harimau mengendus, lalu berbalik arah. Mereka mengendap-endap, memburu mangsa yang lebih mudah. Dan dalam sekejap, ia menghilang dari pandangan.
Sun Yu Yuan menahan napas sejenak, memastikan suara langkah kaki binatang besar itu benar-benar menjauh. Begitu yakin aman, barulah ia perlahan turun dari pohon.
“Haah.” Ia menghembuskan napas lega. “Terima kasih, rusa, akhirnya aku bisa pulang, tidak jadi menginap di hutan ini. Kalau saja tubuh ini tidak penuh racun, mungkin aku akan membunuh binatang buas itu.” gumamnya sambil mengusap pelipis yang basah oleh keringat dingin.
Langit sudah gelap. Bintang-bintang mulai muncul malu-malu di langit yang diselimuti awan tipis. Udara dingin mulai menusuk, dan angin malam berdesir pelan di antara pepohonan.
Dengan langkah hati-hati, Sun Yu Yuan menyusuri jalan turun. Kakinya terasa berat, tubuhnya lelah, tapi pikirannya tetap awas. Ia menuruni lereng gunung dengan penuh waspada, kadang harus berpegangan pada dahan untuk menyeimbangkan diri.
Setelah hampir dua jam perjalanan, barulah ia melihat atap rumah di kejauhan, kediaman kecilnya di kaki gunung.