NovelToon NovelToon
Benang Merah Yang Berdarah

Benang Merah Yang Berdarah

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / CEO / Selingkuh / Penyesalan Suami / Psikopat itu cintaku / KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga)
Popularitas:3.8k
Nilai: 5
Nama Author: Phida Lee

Blurb:

Mia meyakini bahwa pernikahan mereka dilandasi karena cinta, bukan sekadar perjodohan. Christopher mencintainya, dan ia pun menyerahkan segalanya demi pria itu.

Namun setelah mereka menikah, sikap Chris telah berubah. Kata-katanya begitu menyakitkan, tangannya meninggalkan luka, dan hatinya... bukan lagi milik Mia.

Christopher membawa orang ketiga ke dalam pernikahan mereka.

Meski terasa hancur, Mia tetap terus bertahan di sisinya. Ia percaya cinta mereka masih bisa diselamatkan.

Tapi, sampai kapan ia harus memperjuangkan seseorang yang terus memilih untuk menghancurkanmu?


Note: Remake dari salah satu karya milik @thatstalkergurl

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Phida Lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 32

"Kau tidak boleh mempercayai video itu," ujarnya, mencoba terdengar tegas meski ada getaran dalam nada suaranya. "Itu sudah jelas jebakan. Mereka telah mengedit video itu. Mereka ingin menjatuhkanmu, Mia."

Mia tidak menjawab. Ia hanya meletakkan tabletnya di samping bantal, lalu menunduk perlahan. Kemudian tangan mungilnya mengepal, dan lututnya tampak sedikit gemetar. Diamnya itu terasa lebih menyakitkan daripada tangisannya.

Daniel yang duduk di tepi ranjang, menatap wajah Mia yang tertunduk dalam kesunyian. Hatinya mencelos melihat gadis itu seperti ini.

Beberapa detik berlalu sebelum Mia akhirnya bersuara dengan pelan.

"Orang-orang... mereka benar. Aku terlihat seperti monster di sana."

Kalimat itu menusuk jantung Daniel. Ia mengepalkan tangannya untuk menahan emosi yang mulai membuncah.

"Berhenti!" katanya, kali ini lebih kuat. "Kau bukan monster, Mia. Kau adalah korbannya. Mereka yang memutarbalikkan segalanya."

Mia menoleh sedikit, menatap Daniel dengan senyum kecil yang getir.

"Aku hanya ingin tahu darimana dia mendapatkan musik itu... hanya itu. Tapi sekarang, semua orang telah membenciku."

Suara Mia pecah di akhir kalimat. Meskipun tidak ada air mata yang jatuh, Daniel tahu luka itu sudah terlalu dalam.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Daniel meraih tangan Mia. Dia menggenggamnya dengan erat, dan mencoba mengirimkan kehangatan yang tersisa dari dalam dirinya.

"Aku di sini," katanya dengan suara bergetar. "Aku percaya padamu. Dan aku tidak akan membiarkan mereka menyakitimu lagi. Tidak akan pernah."

Mia terdiam sesaat, kemudian dia menundukkan kepalanya.

Beberapa menit kemudian, ia menyebut namanya dengan pelan.

"Daniel."

Daniel yang sedang sibuk membuka kantong plastik berisi sarapan menoleh cepat, matanya menyala dengan perhatian.

"Hm? Ada apa?"

Mia menatapnya dengan tenang. "Aku ingin keluar dari rumah sakit."

BRAK!

Telur rebus yang ada di tangan Daniel seketika jatuh ke lantai. Suara cangkangnya pecah membelah keheningan kamar itu. Dan daniel mematung, matanya membelalak tidak percaya.

"Apa?" gumamnya kaget. "Kamu… kamu ingin keluar?"

Mia mengangguk pelan. "Aku baik-baik saja sekarang."

Daniel masih terdiam. Kata-kata Mia menggema di dalam benaknya. Ia menunduk, ia teringat pesan dokter pagi tadi untuk lebih berhati-hati menjaga kondisi Mia, baik secara fisik maupun mentalnya.

"Tapi..." katanya akhirnya dengan lirih. "Bagaimana aku bisa membiarkanmu keluar kalau kondisimu belum benar-benar pulih?"

Ucapan Daniel bukan karena ia meragukan Mia, tetapi karena ia takut kehilangan dirinya lagi.

Daniel menatap Mia, mencoba membaca keteguhan di balik sorot matanya yang lembut namun tatapan itu menyimpan ketegaran yang luar biasa.

Bahwa Mia sudah tidak ingin bersembunyi di rumah sakit lagi.

Mia menatap Daniel dengan sorot mata lembut.

"Aku sudah berbicara pada dokter saat kau pergi tadi," ucapnya pelan. "Mereka bilang aku bisa pulang hari ini... asalkan aku harus menjaga pola makan dan istirahat."

Daniel spontan menggertakkan giginya, jelas dia tidak setuju dengan keputusan itu.

"Tapi kenapa harus sekarang?" tanyanya terdengar seperti protes. "Kau bisa tinggal lebih lama sampai benar-benar—"

"Terima kasih..." Mia memotong pelan. "Karena sudah merawatku selama ini. Tapi aku tidak ingin terus menyusahkanmu, Daniel."

Perkataan itu membuat napas Daniel tercekat, membuat dadanya terasa sesak seketika.

"Siapa bilang kau menyusahkanku?" suaranya meninggi, ia tidak bisa lagi menyembunyikan emosinya. "Aku ada di sini karena aku ingin, bukan karena terpaksa!"

Mia menunduk. Ada rasa bersalah yang menebal di wajahnya.

"Aku tahu... Tapi aku tidak punya apa-apa untuk membalas kebaikanmu. Semakin lama aku di sini, aku semakin merasa tidak berguna." gumamnya lirih.

Kalimat itu terasa seperti tamparan bagi Daniel. Dia terdiam, tidak mampu langsung membalas ucapan Mia.

"Kapan kau ingin keluar dari sini?" tanyanya akhirnya, dengan suara yang lebih lirih.

Mia menatapnya lurus dengan tegas. "Jika bisa sekarang juga."

Daniel menghela napas panjang, ia mencoba menenangkan dirinya. Sebenarnya dia merasa takut jika terjadi apa-apa yang menanti Mia di luar sana nantinya.

"Sekarang?" ulangnya, berusaha memahami. "Kenapa harus terburu-buru seperti ini?"

Mia menarik napas perlahan, lalu kemudian menghembuskannya pelan.

"Ada sesuatu yang harus aku lakukan. Dan aku tidak bisa menundanya lagi."

Tatapannya mengarah ke sisi meja kecil di samping ranjang, tempat tablet miliknya tergeletak. Daniel menangkap arah pandangnya, dan ikut menoleh ke arah itu.

"...Kau sudah melihat videonya, bukan?" tanyanya pelan.

Mia tidak menjawabnya. Tetapi diamnya itu sudah cukup menjadi pengakuannya. Matanya yang tidak berkedip, dan cara ia menghindari tatapan Daniel itu sudah menjelaskan semuanya.

Daniel menunduk, ia merasa bersalah lebih dari yang sebelumnya.

"Aku seharusnya mengambil tablet itu sebelum kau melihatnya..." bisiknya penuh penyesalan.

Dengan cepat Mia menoleh, mencoba menarik sudut bibirnya dalam senyuman kecil, walaupun senyum itu lebih mirip senyuman yang dipaksakan.

"Tidak apa-apa," ujarnya lirih. "Aku memang harus melihatnya cepat atau lambat."

Daniel menatapnya lekat, hatinya terasa remuk saat melihat keberanian Mia yang mencoba berdiri di atas serpihan dirinya sendiri.

***

Daniel berdiri di samping Mia yang tengah sibuk dengan ponselnya yang sedang memesan taksi untuk pulang. Tangannya yang dibalut mantel tampak gemetar, entah karena udara atau karena gelisah.

"Apa kamu yakin ingin pergi sendiri?" tanyanya, suaranya terdengar ragu.

Mia mengangguk pelan, ekspresinya tetap datar tanpa celah bagi Daniel untuk menebak isi hatinya.

"Aku sudah cukup kuat untuk pulang sendiri," jawabnya.

Daniel menggertakkan rahangnya pelan. Ketidaktenangan itu menyelusup kembali.

"Aku bisa mengantarmu... Atau setidaknya menyuruh sopir dari rumah untuk menjemput—"

"Daniel..." Mia memotong ucapan Daniel dengan suara yang tetap tenang. "Aku sungguh baik-baik saja."

Seolah ucapan itu adalah kalimat pamungkas yang menutup seluruh ruang diskusi, taksi yang ditunggu pun akhirnya tiba juga. Mobil itu berhenti perlahan di depan mereka.

Mia membuka pintu dan bersiap masuk. Namun sebelum ia sempat melangkah lebih jauh, tangan Daniel lebih cepat menahan pintu itu dengan kuat.

"Tunggu!"

Mia menoleh. Matanya sedikit membulat saat melihat tangan Daniel mencengkeram pintu itu erat-erat.

"Kau pikir aku bisa tenang hanya dengan melihatmu pergi begitu saja?" suara sedikit Daniel serak.

"Daniel..."

"Kau selalu bilang bahwa baik-baik saja, dan kau selalu tersenyum..." tatapannya tajam, namun penuh luka. "Tapi matamu tidak bisa berbohong, Mia. Matamu bilang kalau kau sedang sangat kesakitan."

Mia menunduk. Bibirnya mengerucut sejenak, menahan sesuatu yang ingin sekali ia keluarkan. Tapi bukan sekarang saatnya.

"Aku harus pergi, Daniel." Suaranya melembut. "Percayalah... aku akan lebih baik kalau kau membiarkanku sendiri kali ini."

Daniel terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-katanya. Tetapi pikirannya masih dipenuhi oleh berbagai pertanyaan.

"Ke mana kau akan pergi?"

Mia mengalihkan pandangannya sejenak. Sebenarnya Mia ingin menemui dokter Jaesuk, tetapi dia tidak ingin memberitahu Daniel tentang hal ini.

"Aku hanya... ada yang harus kutemui sekarang," jawabnya singkat.

Daniel menatap dalam, seakan ingin membongkar kebenaran dari sorot mata Mia. Namun yang ia temui hanyalah dinding tak kasatmata.

"Aku hanya ingin kau tahu... aku selalu peduli padamu. Dan aku tidak akan berhenti peduli, meski kau terus menjauh dariku." katanya pelan.

Mia menahan napasnya sejenak. Kalimat itu begitu tulus, tetapi begitu menyakitkan dalam diam. Kemudian ia menarik pintu perlahan dan mendorong tangan Daniel dengan lembut.

"Aku tahu." Suaranya nyaris berbisik. "Dan justru itulah... yang membuatku lebih sakit."

Dan kemudian Mia akhirnya masuk ke dalam taksi. Pintu tertutup, dan tidak ada lambaian tangan dari Mia. Detik itu juga suara mesin perlahan menjauh dan meninggalkan Daniel yang berdiri membeku di depan lobi rumah sakit sendiri, dengan ribuan tanda tanya yang tidak akan ia dapatkan jawabannya hari ini.

Sementara itu di dalam taxi, Mia duduk di pojok kursi belakang, memeluk lututnya dalam diam. Jendela di sampingnya dipenuhi bayangan gedung yang lewat satu per satu. Kepalanya tertunduk, dan di dalam pikirannya, suara-suara jahat itu mulai berdatangan lagi satu per satu.

“Dasar bajingan jelek, mati saja kau.”

“Sangat menjijikkan, tidak heran jika Tuan Christopher membencinya.”

Pundaknya mengejang dan napasnya memburu, namun ia tetap diam. Tangan kanannya menggenggam erat-erat sisi mantelnya, sementara tangan kirinya perlahan meraba lengan atasnya, tempat yang dulu sering menjadi sasaran pukulan.

"Kenapa... semua ini terulang lagi..." bisiknya yang nyaris tanpa suara.

Tiba-tiba nama seorang pria melintas dalam pikirannya, dokter Jaesuk. Satu-satunya orang yang tahu betapa dalamnya luka itu, yang tahu bagaimana mengurai simpul kusut dalam pikirannya. Hanya dokter Jaesuk yang mampu menyentuh sisi dirinya yang bahkan Daniel saja tidak pernah tahu.

Mia menghela napas gemetar.

"Kutukan ini... Tidak akan pernah benar-benar pergi, jika aku tidak mengakhirinya sendiri." katanya pelan.

***

Christopher menatap kosong ke arah tumpukan dokumen di atas meja kerjanya. Pena yang berasa di tangannya menggantung di udara, ujungnya nyaris menyentuh pada sebuah kertas, namun tidak pernah benar-benar menyelesaikan tanda tangan yang dimulainya. Fokusnya membuyar, entah sejak kapan pikirannya meninggalkan ruangan itu.

Brian, sang asisten kepercayaannya, sejak tadi telah memperhatikannya dengan seksama dari seberang meja.

"Maaf, Tuan Chris, Anda hampir menandatangani di tempat yang salah."

Christopher tersentak kecil, ia tersadar dari lamunannya dan seolah baru sadar akan keberadaan pria itu. Tatapannya kembali menajam, tetapi masih tampak samar.

"Ah... maaf. Aku tidak menyadarinya," ucapnya pelan.

Brian mengerutkan kening. "Anda baik-baik saja? Sejak pagi tadi Anda tampak tidak fokus."

Christopher hanya mengangguk singkat, tanpa menjawabnya lebih lanjut. Lalu dia kembali menatap dokumen di depannya, namun sorot matanya jelas menunjukkan bahwa pikirannya masih mengembara jauh dari sana.

Langit masih cerah ketika Christopher memarkirkan mobilnya di halaman rumah. Angin sore mengalir pelan, menyapu dedaunan di halaman depan. Saat ia hendak keluar dari mobil, matanya langsung tertuju pada garasi.

Dia melihat sebuah Mobil Mia, dan mobil itu posisinya telah berpindah.

Kemudian alisnya berkerut.

"Dia sudah pulang?" gumamnya pelan.

Christopher menggenggam kemudi dengan erat sejenak, lalu mengembuskan napas panjang sebelum akhirnya keluar dari mobil dan melangkah masuk ke dalam rumah dengan langkah berat.

Pintu utama terbuka pelan. Disambut dengan aroma familiar dari rumah itu, namun aroma itu mampu menghadirkan suasana kehangatan. Disaat dia melewati ambang ruang tamu, langkahnya terhenti seketika.

Christopher melihat Mia duduk di sofa dengan selimut yang melingkar di bahunya. Wajahnya tampak pucat, pipinya terlihat lebih tirus dari terakhir kali ia melihatnya, dan tubuhnya tampak jauh lebih kurus. Dan di tangannya, sebuah gelas berisi susu hangat gemetar pelan, menandakan betapa lelah dan lemahnya dirinya saat ini.

Bibi Im muncul dari arah dapur, senyum ramah menyambutnya.

"Tuan Chris, selamat datang. Dia sangat senang saat saya katakan bahwa Anda selalu pulang setiap hari. Ia menunggu Anda," katanya lembut.

Namun sambutan itu tidak membuahkan kelegaan bagi Christopher. Sebaliknya, sorot matanya mengeras.

"Mengapa begitu berisik? Tidak perlu repot-repot peduli padanya," tukasnya dingin, bahkan tanpa memandang Mia.

Mia tidak hanya diam ditempat dan menatap kosong ke gelas di tangannya, seolah berusaha melindungi dirinya sendiri dari serpihan tajam kata-kata Christopher barusan.

Namun itu belum berakhir.

Christopher melangkah mendekat, nada suaranya kini mengandung sinisme yang mencakar.

"Apa menurutnya rumah ini hotel? Pulang sesuka hatinya setelah entah menginap di mana dia. Atau bersama siapa..."

Kemudian langkah tergesa terdengar dari arah lantai atas. Paman Jack muncul dari tangga, wajahnya penuh kewaspadaan dan tegang. Ia berdiri dengan sikap protektif, menatap Christopher seolah siap menghentikan tindakan lanjutan yang mungkin akan terjadi nanti.

Namun Mia masih tidak bergeming. Ia tetap diam membisu. Bahkan tatapannya pun tak beranjak dari gelas yang ada di genggamannya.

.

.

.

.

.

.

.

- 𝐓𝐁𝐂 -

1
partini
maklum lagi jatuh cinta ya gini become dam stupid plus idiot di kelilingi horang horang pintar tapi ko ga ada yg bisa bikin Crist melek 🤦🤦🤦
Adinda
mati Saja Kau Christopher jahat banget jadi laki, mianya juga bodoh ceraikan Saja apa susahnya daripada kamu mati karena suami gilamu itu
partini
don't worry belum jauh ko masih h bisa di teruskan cris bikin Mia hancur sehacurnya come on
di kelilingi orang pintar toh tapi ko goblok semua cuma tipu daya seorang wanita Weh Weh Weh lingkungan orang kaya yg super duper idiot
Adinda
kabur mia ngapain kamu bertahan sama suamimu yang gila itu
partini
Mia jadi mayat hidup saja kamu aman
Adinda
mia sama michael saja daripada sama suaminya
partini
ok ok cuma si kampret aja yg boleh sentuh sampai Mia pindah alam
partini
semoga hati kamu benar benar mati rasa untuk suami mu Mia,
partini
semoga kau cepat mati Mia
partini: mati rasa Thor sama cris bukan mati raga atau nyawa hilang ,,dia tuh terlalu cinta bahkan cinta buta
dan bikin cinta itu hilang tanpa bekas
Phida Lee: jangan dong, kasihan Mia :(
total 2 replies
partini
drama masih lanjut lah mungkin Sampai bab 80an so cris nikmati aja
Sammai
Mia bodooh
partini
oh may ,ini satu satunya karakter wanita yg menyeknya lunar binasa yg aku baca ,,dah crIs kasih racun aja Mia biar mati kan selesai
Phida Lee: nah bener tuh kak 😒
total 1 replies
partini
crIs suatu saat kamu tau yg sebenarnya pasti menyesal laki laki tergoblok buta ga bisa lihat
Mia Mia cinta butamu membuat dirimu terluka kamu jg sangat goblok ,, wanita kaya kamu tuh ga bisa move on ga bisa sukses terlalu myek2 kamu ,,so enjoy lah
Sammai
Mia terlalu bodoh kalau kau terus bertahan untuk tinggal di rumah itu lebih baik pergi sejauh jauhnya coba bangkit cari kebahagiaanmu sendiri
partini
dari sinopsis bikin nyesek ini cerita
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!