Seorang pendekar tua membawa salah satu dari Lima Harta Suci sebuah benda yang kekuatannya bisa mengubah langit dan bumi.
Dikejar oleh puluhan pendekar dari sekte-sekte sesat yang mengincar harta itu, ia memilih bertarung demi mencegah benda suci itu jatuh ke tangan yang salah.
Pertarungan berlangsung tiga hari tiga malam. Darah tumpah, nyawa melayang, dan pada akhirnya sang pendekar pun gugur.
Namun saat dunia mengira kisahnya telah berakhir, seberkas cahaya emas, menembus tubuhnya yang tak bernyawa dan membawanya kembali ke masa lalu ke tubuhnya yang masih muda.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon biru merah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch 32. Hancurnya Kota Kematian
Aura biru terang menyelimuti pedang Guru Bai, memancar begitu kuat hingga membuat sekitarnya terasa menegang. Udara di sekitar mereka seolah berhenti bergerak, sejenak diam dalam tekanan aura mengerikan itu.
“Sebenarnya... menggunakan teknik ini sangat berisiko... Tapi aku tak punya pilihan lain,” ucap Guru Bai lirih, suara tenangnya menyimpan kepastian sekaligus keputusasaan.
Su Ci menyipitkan mata. “Oh? Jadi itu kartu trufmu?” tanyanya, suara dingin namun penuh rasa penasaran.
Namun Guru Bai tidak menjawab. Ia sudah mengambil posisi kuda-kuda. Napasnya dalam, stabil, seolah ingin menyatu dengan pedangnya. Begitu ia menginjak tanah, tubuhnya melesat seperti anak panah yang ditembakkan dari busur kuat.
Dengan secepat kilat, ia memainkan jurus Tarian Pedang Laut, teknik pedang tingkat tinggi dari Kitab Pedang Langit. Dalam sekejap, medan pertempuran kembali diselimuti oleh bayangan-bayangan pedang. Setiap ayunan membelah udara, menciptakan suara siulan tajam yang menggetarkan telinga.
Benturan antara dua kekuatan terjadi tanpa henti. Serangan demi serangan membelah tanah dan menghancurkan bangunan di sekeliling mereka. Namun meskipun terlihat mengerikan, Su Ci bisa melihat sesuatu yang janggal.
“Hm... teknik dengan aura biru itu... Sepertinya tidak lengkap,” gumamnya, alisnya berkerut.
Guru Bai menggertakkan gigi. Ia tahu itu benar. Teknik ini merupakan bagian dari jurus kedua Kitab Pedang Langit, tapi sayangnya ia hanya memiliki sebagian potongan. Ada celah, sebuah batas yang jika dilanggar bisa berbalik melukai dirinya sendiri.
Oleh karena itu, ia tak boleh lengah.
Ia mulai mempercepat tempo serangannya, menekan Su Ci hingga wanita itu terpaksa menahan setiap serangan dengan penuh kesulitan. Suara benturan logam semakin sering terdengar. Api dan puing beterbangan. Su Ci sesekali terkena sabetan pedang, membuat tubuhnya terpental.
Tempo pertempuran yang semakin cepat membuat Su Ci mulai kehilangan ritme. Peluh membasahi wajahnya, napasnya mulai tak beraturan.
“Kau yang memaksaku melakukan ini,” geram Su Ci. Tangannya mengangkat pedangnya ke langit.
Aura hitam kemerahan mulai menjalar dari tubuhnya menuju pedangnya. Api muncul, namun bukan api biasa. Api itu tampak seperti menyerap darah, menciptakan warna merah tua kehitaman yang menyeramkan.
Dalam waktu bersamaan, pedang Guru Bai pun mulai diliputi api, tapi berbeda: warna biru terang berpadu dengan aura teknik dalam tubuhnya. Pertarungan pun berubah drastis. Setiap benturan kini menciptakan letupan api yang menyambar bangunan di sekitar, menyulut api baru dari puing-puing kota yang telah porak-poranda.
“Begitu marahnya kau karena temanmu kubunuh?” ejek Su Ci dengan senyum miring.
“Apa kau masih ingat wajahnya sebelum mati? Buruk sekali... Menjijikkan.” Ia tertawa puas, tanpa rasa bersalah.
Ucapan itu membuat wajah Guru Bai mengeras. Urat-urat di pelipisnya menegang, amarah meluap dari matanya. Ia melesat, serangannya jauh lebih ganas dari sebelumnya.
BUGG!!
Sebuah tendangan keras mendarat di perut Su Ci, membuatnya terlempar jauh hingga menghantam reruntuhan bangunan. Api menyambut tubuhnya yang jatuh, menciptakan kobaran baru.
Namun Guru Bai tak berhenti. Ia mengikuti arah jatuh Su Ci dan tepat saat wanita itu menyentuh tanah, ia telah berada di hadapannya—pedang siap ditebaskan.
SLAAASSHHH!!
Su Ci berhasil menghindar di detik terakhir. Tapi tidak dengan tangan kirinya—terpotong dan terjatuh ke tanah.
“BAJINGAN!!” teriak Su Ci. “Beraninya kau memotong tanganku!”
Guru Bai menatapnya dingin. “Kau pantas mendapat lebih dari ini. Membunuh temanku adalah kejahatan yang tak akan bisa kau tebus.”
Ia kembali maju. Namun Su Ci dengan cepat mundur. Pandangannya mencari... dan menemukannya.
Seorang anak kecil, tampak ketakutan, berdiri di balik reruntuhan tak jauh dari mereka. Dengan kecepatan tinggi, Su Ci melesat ke sana, meraih anak itu dan menyandera dengan pedangnya yang masih meneteskan darah.
“JANGAN BERGERAK!” teriaknya lantang.
Guru Bai berhenti. Matanya menatap lurus pada leher anak itu, yang kini tergores tipis oleh ujung pedang Su Ci.
“Jika kau bergerak... anak ini mati,” ancam Su Ci dingin.
Guru Bai mengepalkan tangan. Ia tahu, jika bertindak gegabah, nyawa anak itu jadi taruhan.
“Lemparkan pedangmu! Jalan ke mari perlahan!” perintah Su Ci, nada suaranya keras dan mendesak.
Guru Bai sempat ragu. Tapi goresan di leher anak itu makin dalam, dan ia tak punya pilihan. Dengan perlahan, ia menjatuhkan pedangnya ke tanah.
Sementara itu, tak jauh dari tempat pertarungan, Lan Zhi yang telah mengamankan Paman Long memutuskan kembali. Melihat dari kejauhan, ia melihat Su Ci menyandera seorang anak, dan Guru Bai yang terpaksa menuruti kemauannya.
Wajah Lan Zhi berubah serius. Ia menyelinap dari sisi reruntuhan, bergerak diam-diam mendekati Su Ci.
Guru Bai, yang kini bergerak perlahan sesuai perintah Su Ci, sekilas melirik ke samping dan melihat Lan Zhi. Ia mengerti maksud gadis itu, dan berpura-pura tak tahu, agar Su Ci tak curiga.
Su Ci tertawa dalam hati. “Bodoh. Setelah kau cukup dekat, akan kutebas lehermu. Tanganku boleh hilang, tapi pedang masih di genggamanku.”
Ketika Guru Bai hanya berjarak satu langkah lagi, ia langsung melompat ke depan, pedangnya mengayun ke arah leher Guru Bai.
Namun di saat yang sama...
SLAAASSHHH!!
Sebuah tebasan lain datang dari arah belakang. Kepala Su Ci terlepas dari tubuhnya, darah menyembur ke langit. Dalam sepersekian detik sebelum kematian, ia melihat Lan Zhi berdiri di belakangnya, pedang di tangan, mata tajam penuh kemarahan.
Tubuh Su Ci tumbang. Anak kecil itu jatuh terduduk, menangis.
Namun Guru Bai tak sempat berkata apa pun. Tubuhnya mulai limbung. Tenaga dalamnya telah habis, dan teknik berbahaya yang digunakannya telah membuka kembali luka-lukanya.
Tubuhnya ambruk, darah mengalir dari dada dan punggungnya. Lan Zhi segera menghampiri, menghentikan pendarahan dengan sekuat tenaga, lalu mengangkat tubuh Guru Bai untuk membawanya menjauh dari tempat itu.
Sementara itu, jauh dari sana, Lin Yan sedang berjalan di antara pepohonan menuju utara.
“Aku masih terlalu lemah...” gumamnya. “Dengan kekuatanku sekarang, aku belum pantas kembali ke sekte...”
Ia menatap ke langit.
“Sepertinya... aku akan berlatih di tempat itu saja.” Dengan tekad baru, ia melanjutkan perjalanannya menuju sebuah tempat terpencil.
Satu minggu kemudian.
Guru Bai telah siuman, meski tubuhnya masih lemah dan hanya bisa berbaring. Sementara itu, Paman Long masih belum sadarkan diri karena lukanya sangat parah. Dokter mengatakan, butuh waktu hingga satu bulan untuk pemulihan total.
Kota Kematian kini hanyalah puing dan abu. Bangunan hangus, tanah hitam, dan reruntuhan berserakan di mana-mana. Orang-orang dari luar mulai berdatangan, penasaran dengan apa yang terjadi.
Kabar tentang pertempuran hebat menyebar luas. Ada yang menyebutnya sebagai pertempuran antar pendekar Mitos, ada pula yang percaya bahwa itu adalah perebutan sebuah Harta Suci.
Desas-desus tentang Harta Suci itu mencapai telinga para bangsawan dan klan-klan kuat di Kerajaan Wei. Namun mereka masih belum tahu pasti apa itu. Mereka hanya menduga bahwa itu adalah kitab teknik tingkat tinggi, karena dijaga oleh roh pendekar Mitos. Dan jika benar begitu, maka harta itu bukanlah sembarangan.
Dunia mulai berguncang...
Sementara itu, Lin Yan yang tengah berlatih di pegunungan sunyi tak menyadari bahwa ia pun akan segera terlibat dalam gelombang besar yang akan mengguncang seluruh negeri.