Alya, siswi SMA berusia 17 tahun dari keluarga miskin, tak pernah menyangka niat baik menolong pria tak dikenal justru membuatnya dituduh berzina oleh warga. Pria itu ternyata kepala sekolahnya sendiri. Reihan, 30 tahun, tampan dan terpandang. Untuk menyelamatkan reputasi, mereka dipaksa menikah dalam kontrak.
Kini, Alya menjalani hidup ganda: murid biasa di siang hari, istri kepala sekolah di balik pintu rumah.
Tapi mungkinkah cinta lahir dari pernikahan yang tak pernah diinginkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 1
Alya Hasanah: Berusia 17 tahun, siswi kelas 2 SMA. Gadis jelek berkulit hitam dengan wajah yang di penuhi jerawat.
Raihan Alatas: seorang kepala sekolah muda berusia 30 tahun. Tampan, Cerdas dan berwibawa. Anak dari pemilik yayasan pendidikan terbesar di kota itu.
...
Malam itu, pukul 11 lewat sedikit. Langit gelap tanpa bintang, dan suara jangkrik bersahut-sahutan memecah keheningan. Angin malam menyapu wajah Alya yang lelah, mengayuh sepeda tuanya pulang dari cafe tempatnya bekerja paruh waktu.
Sepi. Jalur pulang yang ia lewati memang jalan pintas, melewati semak belukar dan tak satu pun lampu jalan menyala. Tapi Alya sudah biasa. Ia hanya ingin segera sampai rumah dan beristirahat.
Namun tepat ketika melewati tikungan kecil yang dikelilingi semak-semak, Alya mendadak menghentikan sepedanya dengan kasar. Roda sepeda berdecit dan tubuh Alya nyaris terjungkal.
Matanya membelalak.
Di antara semak-semak itu, tergeletak sosok tubuh manusia. Diam. Tak bergerak.
Sepedanya jatuh begitu saja ke tanah, tapi Alya tak peduli. Ia segera berlari mendekat dengan jantung berdegup kencang.
“Ya Allah…” desisnya. “Astaghfirullah…”
Tubuh itu penuh luka dan lebam. Wajahnya bonyok, bajunya sobek, darah tampak merembes dari pelipis dan sudut bibirnya. Tapi yang paling mengejutkan...
“P-Pak… Pak Raihan?” ucap Alya tercekat, suaranya bergetar.
Itu adalah Raihan Alatas, kepala sekolah SMA-nya. Pria berwibawa yang selalu tampil rapi dan angkuh, kini terkapar tak berdaya di semak-semak, seperti orang tak dikenal.
Alya panik. Ia menggoyang-goyangkan tubuh pria itu. “Pak! Bangun, Pak! Astaga, kenapa bisa begini?”
Raihan mengerang pelan. Kelopak matanya bergerak sebelum terbuka sedikit. Suaranya lemah, nyaris tak terdengar.
“Saya dibegal…” gumamnya. “Mobil… dompet… semua diambil…”
Alya terdiam sesaat, shock. Tapi tanpa pikir panjang, ia menyelipkan tangannya ke bawah lengan Raihan dan mencoba mengangkat tubuh pria itu.
Namun tubuh pria dewasa setinggi hampir 185 cm itu terlalu berat untuk gadis kecil berusia 17 tahun seberat 45 kg.
“Ughhh... Astaga… berat banget,” keluh Alya sembari mengerahkan seluruh tenaganya.
Ia sempat berhasil membantu Raihan hampir berdiri. Tapi karena pijakan Alya tidak kuat, tubuh pria itu kembali terjatuh, dan lebih parahnya, tubuh Alya ikut terjatuh dan tepat berada di atas tubuh Raihan.
“ADUH!” teriak Alya.
Sakit. Tapi ia terlalu panik untuk memperdulikan rasa nyeri itu.
“Maaf, Pak! Saya nggak sengaja!” katanya panik. Ia berusaha bangkit, tapi tubuh Raihan menahan geraknya.
Raihan sendiri tak sanggup mengatakan apa-apa. Antara nyeri karena dipukul para begal dan kini ditindih oleh Alya, semua bercampur menjadi satu siksaan tak berkesudahan.
Namun sebelum Alya berhasil berdiri, teriakan keras memecah malam.
“Hei! Itu ngapain?!”
Alya menoleh, matanya membesar karena terkejut. Sekelompok warga ronda malam membawa senter dan pentungan, mendekat cepat ke arah mereka.
Senter menyorot tubuh Alya yang masih di atas Raihan. Dari sudut pandang mereka, pemandangan itu sangat… mencurigakan.
“Ya Allah! Astaga, mereka ngapain tengah malam begini?!”
“Berzina di semak-semak?! Di kampung kita?!”
Alya segera bangkit, tubuhnya gemetar. “T-Tidak! Bukan begitu! Saya cuma...”
Namun tak ada yang mau mendengar. Dalam waktu singkat, warga telah mengepung mereka dan membawa keduanya ke rumah Pak RT.
...
Di Rumah Pak RT...
Alya duduk menunduk, tubuhnya gemetar. Raihan duduk di sebelahnya, wajahnya masih penuh luka. Di hadapan mereka, duduk Pak RT, ayah dan ibu Alya, serta para warga yang memenuhi ruang tamu rumah kecil itu. Beberapa ada yang duduk, beberapa berdiri, dan tak sedikit pula yang sibuk merekam kejadian dengan ponsel mereka.
Suasana gaduh. Suara riuh tuntutan terdengar dari segala arah.
“Harus dinikahkan sekarang juga! Jangan sampai kampung kita kena sial!”
“Ngaku aja lah! Udah ketangkap basah masih ngeles!”
“Apa nggak malu, masih pakai seragam putih abu-abu udah main semak-semak!”
Alya hanya bisa menangis. “Saya nggak ngapa-ngapain… saya cuma mau bantu…”
Pak RT mengangkat tangan, mencoba menenangkan warga. “Sabar… sabar… kita dengarkan penjelasan dari Pak Raihan dulu.”
Raihan yang sejak tadi diam akhirnya angkat suara dengan suara pelan tapi tegas.
“Saya dibegal. Mobil saya dirampas. Saya ditinggal begitu saja di jalan. Alya hanya ingin membantu. Dia mencoba mengangkat saya berdiri. Tapi kami jatuh.”
Ia menunjuk luka-luka di tubuhnya yang masih mengucurkan darah.
“Saya tidak pernah menyentuhnya. Dia murid saya. Jangan salah sangka.”
Namun seorang warga menyahut, “Alaaah, maling mana ada yang ngaku! Sudah jelas-jelas tertangkap basah!”
Warga lain menimpali dengan emosi, “Kita arak saja keliling kampung biar jera!”
Alya menangis makin kencang. Wajah ayahnya merah padam, antara marah, malu, dan tak tahu harus percaya siapa.
Pak RT menarik napas panjang, lalu memutuskan, “Daripada ini jadi aib kampung dan tersebar ke mana-mana, lebih baik kalian dinikahkan malam ini juga. Demi nama baik keluarga dan lingkungan.”
Raihan menatap Pak RT dengan tajam. “Saya tidak setuju. Kami tidak melakukan apapun.”
“Tapi ini sudah terlanjur,” jawab Pak RT.
“Kalau tidak, besok berita ini akan tersebar di seluruh kota. Dan saya yakin, sekolah Anda pun takkan tinggal diam.”