NovelToon NovelToon
Denting Terakhir Di Villa Edelweiss

Denting Terakhir Di Villa Edelweiss

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Horor / Rumahhantu / Romantis / Cinta Seiring Waktu / Cintapertama
Popularitas:268
Nilai: 5
Nama Author: YourFriend7

Liburan Natal di Villa Edelweiss seharusnya menjadi momen hangat bagi Elara, Rian, dan si jenaka Bobi. Namun, badai salju justru mengurung mereka bersama sebuah piano tua yang berbunyi sendiri setiap tengah malam—memainkan melodi sumbang penagih janji dari masa lalu.
​Di tengah teror yang membekukan logika, cinta antara Elara dan Rian tumbuh sebagai satu-satunya harapan. Kini mereka harus memilih: mengungkap misteri kelam villa tersebut, atau menjadi bagian dari denting piano itu selamanya.
​"Karena janji yang dikhianati tak akan pernah mati, ia hanya menunggu waktu untuk menagih kembali."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YourFriend7, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Karakter Imajiner dan Darah Nyata

Elara menatap tangannya sendiri yang perlahan memudar.

Rasanya aneh. Tidak sakit, tapi... dingin. Seperti saat kaki kesemutan sampai mati rasa, tapi kali ini menyebar ke seluruh tubuh. Dia bisa melihat kabel-kabel server di balik telapak tangannya yang transparan. Dia bisa melihat lantai beton lewat ujung kakinya yang mulai berpendar menjadi kode biner.

"Gue... gue nggak nyata?" bisik Elara, suaranya terdengar jauh dan bergema, seperti rekaman audio yang rusak.

Dia mencoba mengingat masa kecilnya. Ulang tahun ke-5? Samar. Wajah orang tuanya? Buram, seperti foto yang kena air. Nama SD-nya? Dia tidak tahu.

Deg.

Jantungnya, atau apapun yang berdetak di dadanya, terasa berhenti.

"Liat kan?" Adrian Kecil tertawa riang sambil melompat-lompat di atas tombol Spacebar raksasa. "Kosong. Nggak ada isi. Kamu cuma kumpulan trope 'gadis tetangga yang manis' yang ditulis Rian pas dia lagi kesepian di kamar kostnya."

Rian berdiri mematung. Matanya menatap Elara dengan campuran ngeri dan bingung. Tinta emas di bahunya masih menetes, tapi dia tidak merasakannya lagi.

"Rian..." Elara menatap Rian dengan mata berkaca-kaca. "Bilang kalau dia bohong. Bilang kalau gue nyata. Kita ngopi bareng, Yan. Lo inget kopi itu? Lo bilang rasanya pait tapi enak..."

Rian memegang kepalanya yang sakit. Potongan ingatan itu ada, tapi terasa asing. Seperti menonton film orang lain.

"Gue... gue inget nulis karakter cewek," gumam Rian pelan, matanya kosong. "Namanya Elara. Gue kasih dia sifat berani karena gue penakut. Gue kasih dia hobi nulis karena gue suka baca..."

Dunia Elara runtuh.

Jadi benar? Semua keberaniannya, semua cintanya, semua rasa sakitnya... cuma settingan pabrik?

"Hapus aja, Kak," hasut Adrian Kecil. Dia berdiri di atas tombol DELETE. "Kalau Kakak hapus dia, Kakak bakal sembuh. Kakak bakal bangun dari koma ini dan hidup normal lagi. Nggak ada hantu, nggak ada monster."

Adrian Kecil mengulurkan tangannya ke Rian.

"Ayo, Kak. Tekan tombolnya bareng aku. Kita akhiri cerita konyol ini."

Rian melangkah maju. Dia berjalan kaku mendekati keyboard raksasa itu. Dia menatap tombol DELETE yang berkedip merah menggoda.

Elara menutup matanya, pasrah. Tubuhnya sudah 50% transparan. Mungkin memang ini takdirnya. Tokoh imajiner yang harus mati supaya penciptanya bisa hidup bahagia.

"Maafin gue, Rian," bisik Elara. "Gue cuma pengen ada buat lo."

Rian sudah berdiri di depan tombol itu. Kakinya terangkat, siap menginjak.

Tapi kemudian, Rian berhenti.

Dia melihat ke arah Elara. Dia melihat perban di tangan kiri gadis itu. Perban yang membungkus luka tusukan pulpen.

Ada darah di sana. Darah merah. Merembes menembus kain kasa, menetes ke lantai server.

Rian mengerutkan kening.

"Darah?" gumam Rian.

Dia menatap tangannya sendiri yang berdarah emas. Lalu menatap darah merah Elara.

"Adrian," panggil Rian datar.

"Ya, Kak?" tanya Adrian Kecil antusias.

"Sejak kapan karakter imajiner bisa berdarah?"

Senyum Adrian Kecil luntur seketika. "Itu... itu cuma efek visual!"

"Nggak," bantah Rian. Matanya yang tadi kosong, kini menyala lagi. Bukan dengan ingatan, tapi dengan keyakinan. "Gue penulisnya, kan? Gue tau aturan dunia gue sendiri. Imajinasi nggak berdarah. Imajinasi nggak nangis sampai ingusan kayak gitu."

Rian berbalik, membelakangi tombol delete. Dia menatap adiknya, atau monster yang memakai wajah adiknya itu, dengan tatapan dingin.

"Mungkin dulu gue emang nyiptain dia," kata Rian, suaranya makin lantang. "Tapi dia udah tumbuh, Adrian. Dia ngelakuin hal-hal yang nggak pernah gue tulis. Dia nyelamatin gue berkali-kali. Dia tulis ulang takdirnya sendiri."

Rian mengangkat tangan emasnya, menunjuk Elara.

"Kalau dia bisa berdarah buat gue, berarti dia cukup nyata buat gue!"

Seketika itu juga, tubuh Elara berhenti memudar. Transparansinya memadat lagi. Warna kulitnya kembali. Jantungnya berdegup kencang, memompa darah merah yang hangat dan nyata.

Eksistensi Elara divalidasi oleh keyakinan Penciptanya.

"Sialan!" umpat Adrian Kecil, wajah imutnya berubah tua dan keriput sesaat. "Kalau gitu aku hapus manual!"

Adrian Kecil melompat tinggi, berniat menghantam tombol DELETE dengan kedua kakinya sekuat tenaga.

"Jangan harap!"

Elara, yang merasakan tenaganya kembali full, berlari dan melompat ke atas keyboard raksasa itu.

Dia tidak menerjang Adrian. Dia menerjang tombol di sebelahnya.

CTRL.

Elara mendarat di atas tombol CTRL raksasa.

"Rian! Tombol Z!" teriak Elara.

Rian, meski masih bingung dengan istilah teknisnya, langsung paham insting Elara. Undo. Batalkan perintah.

Rian melompat ke tombol huruf Z.

Elara menekan CTRL. Rian menekan Z.

TING!

Sebuah gelombang energi biru menyapu keyboard itu.

Adrian Kecil yang sedang melayang di udara, tiba-tiba terpental mundur seolah menabrak dinding karet. Perintah penghapusannya dibatalkan sistem.

[ACTION UNDONE]

"Argh! Curang!" raung Adrian Kecil. Dia mendarat berguling-guling di atas tombol huruf, memencet tombol acak yang bikin layar raksasa di atas mereka mengetik: hdsjakdhashdjk.

"Kita belum kelar!" seru Elara. Dia berdiri di atas tombol CTRL, menatap Adrian dengan nyalang. "Lo mau main keyboard? Ayo kita main."

Pertarungan berubah jadi arena platformer.

Elara dan Rian melompat dari satu tombol ke tombol lain, menghindari serangan Adrian Kecil yang mengeluarkan shortcut mematikan.

Adrian melompat ke ALT + F4 (Tutup Program).

"Awas, Yan! Dia mau nutup dunia ini!" teriak Elara.

Rian meluncur di atas tombol spasi, lalu menendang kaki Adrian tepat sebelum dia mendarat di F4.

Adrian jatuh terjerembap di antara celah tombol.

"Kalian pikir ini game?!" Adrian merangkak naik lagi, tubuhnya membesar. Baju piyamanya robek, menampakkan kulit yang terbuat dari kabel dan motherboard. Dia berubah menjadi Mecha-Adrian.

Dia mengangkat tangannya, menyedot huruf-huruf dari layar monitor untuk dijadikan bola energi.

"COPY... PASTE!"

Adrian menembakkan bola energi itu.

Rian dan Elara melompat ke arah berlawanan. Bola energi itu menghantam tombol ESC, meledakkan tombol itu sampai pegasnya mencuat keluar.

"Rian! Tinta lo!" Elara memberi ide. "Tulis virus! Atau apa kek!"

"Gue nggak bisa coding!" balas Rian panik sambil berlindung di balik tombol ENTER yang tinggi.

"Nggak perlu coding! Tulis pake emosi lo! Tulis apa yang lo mau!"

Rian menatap tangan emasnya. Dia memejamkan mata. Apa yang dia mau? Dia mau semua ini berakhir. Dia mau pulang. Dia mau ngopi sama Elara, Sarah, dan Bobi tanpa ada hantu.

Rian menempelkan tangannya ke permukaan tombol ENTER.

Tinta emas mengalir deras, meresap ke dalam sirkuit keyboard.

"Sistem..." bisik Rian. "Override."

Cahaya emas merambat cepat lewat jalur sirkuit di bawah tombol-tombol, menyebar ke seluruh keyboard, lalu naik ke layar raksasa.

Layar yang tadinya menampilkan profil Elara, kini berkedip emas.

Teks di layar berubah:

AUTHORITY TRANSFER: IN PROGRESS...

NEW ADMIN: RIAN.

Adrian berteriak. Cahaya emas itu membakar tubuh kabelnya.

"TIDAK! INI CERITAKU! AKU YANG MULAI!"

"Dan gue yang namatin," kata Rian dingin.

Rian mengangkat kakinya, lalu menghentakkan tumitnya kuat-kuat ke tombol ENTER.

KLAK!

Suara ketukan itu bergema seperti ledakan.

Cahaya emas meledak dari layar, menelan Adrian, menelan keyboard, menelan seluruh ruangan server itu.

Hening.

Putih.

Lalu suara bip... bip... bip... itu terdengar lagi.

Elara membuka matanya perlahan.

Dia kembali ke bangsal rumah sakit. Tapi kali ini suasananya beda.

Bangsal itu sepi. Bersih. Tidak ada zombie kertas. Tidak ada tulisan status di atas kepala siapa pun. Jendela kaca utuh, menampilkan langit pagi yang cerah dan burung-burung yang terbang.

Di kasur sebelah, Sarah dan Bobi masih tidur, tapi mereka menggeliat pelan, tanda mau bangun.

Dan di kasur Rian...

Kasurnya kosong.

Jantung Elara mencelos. Dia langsung melompat turun dari kasur, mengabaikan infusnya yang tertarik sakit.

"Rian?!"

Dia lari ke koridor. Sepi.

Dia lari ke lobi rumah sakit. Sepi.

Elara lari keluar, ke halaman parkir.

Di sana, dia melihat Rian.

Rian berdiri di tengah halaman parkir, mengenakan baju pasien. Dia menatap langit pagi dengan wajah damai.

Elara berlari menghampirinya, siap memeluknya.

"Rian! Kita berhasil! Adrian ilang!" seru Elara bahagia.

Tapi Rian tidak menoleh. Dia tetap menatap langit.

"Rian?" panggil Elara, menyentuh bahunya.

Tangan Elara... menembus bahu Rian.

Elara terkesiap. Dia mencoba lagi. Tangannya menembus tubuh Rian seolah Rian adalah asap.

"Apa...?"

Saat itulah Rian menoleh. Tapi dia tidak melihat Elara. Tatapannya menembus Elara, lurus ke arah pintu rumah sakit di belakang Elara.

Dari pintu rumah sakit, keluar seorang wanita paruh baya yang menangis histeris, didorong di kursi roda oleh seorang perawat. Itu ibunya Rian.

"Anak saya..." tangis ibu itu. "Dokter bilang dia sudah sadar... tapi..."

Rian menatap ibunya dengan sedih. Lalu dia bicara, tapi suaranya tidak terdengar oleh ibunya. Hanya terdengar oleh Elara.

"Gue udah sadar di dunia nyata, El," kata Rian, menatap hantu Elara dengan senyum pilu. "Dan ternyata... di dunia nyata... lo nggak ada."

Elara mundur, melihat tangannya sendiri. Tangannya utuh. Dia merasa nyata.

Tapi di dunia ini, dunia tempat Rian yang asli sudah bangun, Elara tidak terlihat. Tidak tersentuh.

Dunia di sekitar Elara mulai bergetar. Langit pagi yang cerah itu mulai glitch.

"Gue harus bangun total, El," kata roh Rian yang masih tertinggal di alam mimpi ini. "Kalau gue bangun total, mimpi ini hancur. Dan lo..."

Rian tidak sanggup melanjutkannya.

Jika Rian bangun sepenuhnya dari koma, maka alam bawah sadarnya akan terhapus. Dan Elara... yang hidup di alam bawah sadar itu... akan hilang selamanya.

"Pilih, El," bisik Rian. "Lo mau gue tetep koma biar kita bisa sama-sama terus di sini? Atau lo relain gue bangun... dan lo hilang?"

Di kejauhan, Elara melihat sebuah garis cakrawala yang mulai terhapus oleh cahaya putih. Kiamat mimpi sudah dimulai.

Rian yang asli sedang menunggu di seberang sana, di dunia nyata, tanpa ingatan tentang Elara.

Sementara Rian versi mimpi berdiri di depannya, menawarkan keabadian semu.

"Gue..." Elara tercekat.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!