Niatnya mulia, ingin membantu perekonomian keluarga, meringankan beban suami dalam mencari nafkah.
Namum, Sriana tak menyangka jika kepergiannya mengais rezeki hingga ke negeri orang, meninggalkan kedua anaknya yang masih kecil – bukan berbuah manis, melainkan dimanfaatkan sedemikian rupa.
Sriana merasa diperlakukan bak Sapi perah. Uang dikuras, fisik tak diperhatikan, keluhnya diabaikan, protesnya dicap sebagai istri pembangkang, diamnya dianggap wanita kekanakan.
Sampai suatu ketika, Sriana mendapati hal menyakitkan layaknya ditikam belati tepat di ulu hati, ternyata ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Isyt : 07
“Kamu minta izin libur sama Nyonya, Sri? Kok ndak ngomong dulu sama ku?!” Triani geram. Menganggap sang sepupu lancang menghubungi majikan mereka tanpa perantara dirinya seperti biasanya.
Namun Sriana tak lagi terlihat canggung, segan, ia yang biasanya tidak berani memandang sepupunya ketika ditegur, kini ditatapnya tepat sepasang manik berbinar kesal seraya berbicara dengan nada tenang, raut netral. “Aku cuma minta hak ku, Mbak. Terakhir libur lebaran kemarin, kebetulan lagi pengen makan nasi pecel di daerah Mongkok. Jadi, pas tadi Nyonya telepon nanyain nenek lagi apa, ya sekalian aku izin minta libur.”
Dia tidak bohong, sewaktu Triani ke pasar – telepon rumah berdering. Majikan perempuan menanyakan perihal ibunya, lalu diapun mengatakan keinginannya. Rencananya ingin pergi sendirian ke suatu tempat, menenangkan pikiran masih berkecamuk.
Namun dia langsung senang saat Eka mengajaknya libur bersama.
“Lancang kamu! Harusnya tanya aku dulu! Hari Minggu nanti, diriku mau party. Temenku ada yang ulang tahun!” emosinya mulai naik, telunjuknya menuding sang sepupu yang terlihat berbeda.
“Ya tinggal bilang ke Nyonya. Minta dia datang kesini, urus ibunya. Nggak repot to? Kamu tetap bisa libur, aku juga bisa menikmati udara segar bukan pengap kayak mambu batang ngeneki (bukan bau bangkai seperti ini)!” Sriana menatap sekilas sang sepupu, lalu melengos ke dapur.
Deg.
Sejenak Triani terpaku, dia shock mendapati nada ketus, tatapan berani, dan untuk pertama kalinya Sriana berkata tidak. Keukeuh pada keinginannya, tak dapat ditawar.
Namun semenit kemudian – Triani bersikap masa bodoh, lebih ke kesal karena sang sepupu sudah bisa protes.
Janda anak satu itu sangat percaya kalau Sriana masih dalam cengkeraman nya. Begitu percaya diri jika dirinya tetap si pengendali kehidupan adik sepupunya.
Diapun naik ke lantai atas, ingin tiduran – hal biasa yang dilakukannya kala baru pulang dari pasar, nanti bangun sudah masuk waktu makan siang, dan langsung menikmati masakan Sriana.
***
Sriana membuka barang titipannya, cepat-cepat mengambil ponsel. Setitik air mata terjatuh saat ponsel itu sudah di setting mode senyap, lengkap dengan kartu dan nomornya pun ditulis di kontak. Eka juga menambahkan nomornya sendiri, dan dia langsung mengirim pesan melalui aplikasi hijau, dilengkapi emoticon tersenyum, ada juga emoji berpelukan.
Semangat Mbak Sri! Gusti Allah mboten sare (Tuhan tidak pernah tidur, selalu mengawasi).
Bibirnya mengatup kuat, dia terkekeh, dan air matanya lebih banyak lagi berguguran.
Sriana menyembunyikan ponsel dengan baterai penuh itu di dalam lemari dapur, tempat yang tidak pernah dibuka oleh Triani.
Kemudian dia melangkah masuk ke kamar nenek, memastikan kalau lansia itu asik menonton televisi. Jadi, dirinya bisa tenang masak untuk makan siang.
Aslinya dia lelah. Fisik dan mentalnya dihajar habis-habisan, tapi satu hal yang membuatnya kuat yaitu Septian dan Ambar Ratih. Untuk sekarang dirinya harus bersabar menunggu esok, sebab tak mungkin menghubungi Dwita maupun Agung di saat ada Triani di rumah ini.
Sang sepupu pasti merusuh, dan paling menyebalkan dirinya tidak pernah leluasa mengobrol dengan kedua buah hatinya.
Sambil memasak, Sriana terus beristighfar, berdzikir agar tidak termenung, pandangan kosong. Jujur, hatinya masih sangat sakit. Saat tiba-tiba mengingat nama pria yang sudah menikahinya selama dua belas tahun lamanya – tubuhnya langsung bereaksi, bulu meremang, perut mual.
Apalagi teringat lenguhan, suara desahan disertai kata-kata vulgar tertuju pada sang sepupu, wajah Sriana perlahan memucat.
Dia jijik – pria yang pernah berbagi peluh bersamanya sampai mereka dikaruniai dua orang anak. Ternyata berbagi hal sama dengan orang terdekatnya, lebih mirisnya lagi – lewat video call.
‘Apa karena aku ndak pernah mau diajak vcs, makanya dia selingkuh?’ tanya hatinya. Langsung ditampik oleh logikanya.
‘Jangan pernah menyalahkan dirimu sendiri! Dasarnya mereka sama-sama murahan, dan memang sudah niat!’
Sedari semalam, kata hati dan logika Sriana seperti berperang batin. Satu sibuk menyalahkan diri sendiri, mencari kekurangan diantara banyaknya kelebihan. Satu sisinya lagi, menampik, menghardik, menyadarkan dirinya kalau pasangan gila itu termasuk golongan orang tidak tahu caranya bersyukur.
.
.
Satu porsi bubur daging, telur hitam, lengkap dengan daun bawang – terhidang di atas meja. Menu makan siang nenek.
Untuk dirinya dan juga Triani – dua porsi nasi goreng sosis, campur potongan daging ayam.
Dia tidak perlu memanggil kakak sepupunya, karena empunya sedang berjalan menuju ke sini.
“Makan, Mbak,” ucapnya seperti biasanya dan cuma dihadiahi kerlingan mata malas.
Sriana membawa nampan berisi menu makan siang nenek ke dalam kamarnya, ada juga sepiring nasi goreng dan teh tawar hangat. Dia ingin menemani Bobo makan sampai selesai, membiarkan Triani menyantap hidangan sendirian.
Bukan tanpa maksud, dirinya antisipasi menghindari terkena semburan kata-kata pedas wanita itu.
Sriana menyuap tenang nasi ke dalam mulutnya, dia mendengar jeritan Triani, lalu derap langkah tergesa-gesa.
Triani benar-benar marah hampir saja dia memaki sang sepupu di hadapan nenek. Namun urung dikarenakan teringat kalau wanita tua itu memang budek. Akan tetapi, dapat menerka gerak bibir, gestur serta ekspresi.
“Kamu kasih cabai berapa di nasi gorengnya, Sri? Kok pedes’ e kebangetan? Nganti melocot (licet) lidahku?!” ia menggeram, menjaga raut tetap ramah padahal amarah dalam dadanya siap diledakkan, ditambah bibir memerah menahan pedas luar biasa.
Ekspresi Sriana seperti orang terkejut, lalu bersalah. Mata melotot, berembun, bibir bergetar samar. “Maaf, Mbak. Sepertinya piring kita tertukar. Nasi goreng yang tak makan ini punyamu, soalnya ndak terasa pedas.”
Piring yang isinya sudah diacak-acak, tinggal nasinya saja sedangkan toppingnya telah dikunyah dan telan, dia sodorkan ke arah Triani tanpa dirinya berniat berdiri dari duduk di tepi kasur nenek.
“Rah sudi aku mangan bekas iduh mu!” Tangannya mengepal di sisi badan, tapi terpaksa tetap menjaga ekspresi.
‘Bekas air ludahku ndak sudi, tapi laki-laki bekasku kamu ladenin sampai obral tempek (apem)!’ batinnya memaki, diapun bersandiwara seperti Triani.
“Kalau gitu, Mbak Tria masak saja mie. Di kulkas masih ada telur, kubis dan seledri pun ada_” belum selesai kalimatnya, sudah ditinggal pergi.
“Djiancook!”
Sriana terkikik, dia mendengar kata-kata makian Triani. “Mampus! Kamu kira aku masih mau dijadikan Sapi perah olehmu. Ya ndak sudi!”
Dia sengaja memasukkan bubuk cabai halus setengah botol kecil ke nasi goreng Triani. Sepupunya itu tidak kuat makan pedas.
Sikapnya barusan memang terlihat kekanak-kanakan, tapi setidaknya hatinya sedikit puas dapat membalas perbuatan jahat dalang penderitaannya.
***
Sriana mengamati langkah Triana yang keluar dari halaman rumah hendak pergi belanja. Dia tunggu sampai sepuluh menit, lalu dirinya menelepon Dwita.
"Asalamualaikum, Wi. Mbak mau ngobrol dengan Tian, dan Ambar, tolong panggilkan mereka!" pintanya dengan nada sopan, dan mengalihkan panggilan ke video call.
"Tian, dan Ambar lagi jajan ke warung, Mbak. Udah tak tegur malah aku dimaki-maki," wajah Dwita memelas.
Bila sebelumnya Sriana langsung percaya dan menenangkan sang adik ipar, mengirim uang seratus atau dua ratus ribu rupiah sebagai kata maaf, tidak dengan kali ini.
"Susul mereka sekarang juga! Kalau betulan ndak mau pulang, ya seret! Bilang Bundanya mau ngomong!"
.
.
Bersambung.
semoga ambar Ratih sama septian selalu kuat yaaa..
mampu bertahan sampai bunda nya sampai ke rumah kembali..
itu part terakhir kok ya laki begitu yaa.. bukannya dia yg pontang panting cari nafkah, malah ngegerus istrinya ampe ke sari2 nya.. weedaannn