Nadia mengira melarikan diri adalah jalan keluar setelah ia terbangun di hotel mewah, hamil, dan membawa benih dari Bramantyo Dirgantara—seorang CEO berkuasa yang sudah beristri. Ia menolak uang bayaran pria itu, tetapi ia tidak bisa menolak takdir yang tumbuh di rahimnya.
Saat kabar kehamilan itu bocor, Bramantyo tidak ragu. Ia menculik Nadia, mengurungnya di sebuah rumah terpencil di tengah hutan, mengubahnya menjadi simpanan yang terpenjara demi mengamankan ahli warisnya.
Ketika Bramantyo dihadapkan pada ancaman perceraian dan kehancuran reputasi, ia mengajukan keputusan dingin: ia akan menceraikan istrinya dan menikahi Nadia. Pernikahan ini bukanlah cinta, melainkan kontrak kejam yang mengangkat Nadia .
‼️warning‼️
jangan mengcopy saya cape mikir soalnya heheh
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Celyzia Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Kemenangan atas Raka membawa ketenangan sesaat bagi Bramantyo.
Di pulau terpencil tempat Adrian diasingkan, sebuah helikopter tanpa tanda pengenal mendarat di tengah malam buta. Tim tentara bayaran yang disewa oleh sisa-sisa pengikut Sofia Dirgantara berhasil melumpuhkan penjaga yang ditempatkan Bramantyo.
Adrian keluar dari gubuk mewahnya dengan rambut yang lebih panjang dan sorot mata yang kini benar-benar kosong dari kemanusiaan. Ia tidak lagi menginginkan perusahaan. Ia tidak lagi menginginkan harta. Ia hanya menginginkan satu hal: Melihat Bramantyo dan Nadia saling menghancurkan hingga tak bersisa.
"Selamat datang kembali, Tuan Adrian," ucap kepala tentara bayaran itu.
"Bawa aku ke Jakarta. Tapi jangan ke pusat kota. Aku punya 'tikus' yang sudah menunggu di pelabuhan," jawab Adrian dengan suara serak yang mengerikan.
Beberapa minggu kemudian, kehidupan di penthouse mulai terasa aneh. Bramantyo yang biasanya memiliki kontrol penuh atas sistem keamanan mulai menemukan celah-celah kecil. CCTV yang mati selama beberapa detik, atau pintu digital yang terbuka sendiri di tengah malam.
Puncaknya adalah saat Arka sedang bermain di kamarnya. Ia menemukan sebuah hadiah di atas tempat tidurnya: Sebuah kotak musik tua yang memainkan melodi yang sangat dikenal Nadia—melodi yang sama dengan kotak musik milik anak pertama mereka yang telah tiada.
Nadia yang melihat kotak musik itu langsung jatuh terduduk, wajahnya pucat pasi. "Bram... dia kembali. Hanya dia yang tahu tentang kotak musik ini."
Bramantyo langsung memerintahkan lockdown total pada gedung tersebut. "Siapkan tim! Periksa setiap sudut kota! Jika Adrian menyentuh tanah Jakarta, aku ingin kepalanya hari ini juga!"
Adrian tidak menyerang dengan senjata. Ia menyerang dengan keraguan.
Nadia menerima sebuah kiriman video melalui jalur komunikasi pribadi perusahaan yang seharusnya sangat aman. Dalam video itu, terlihat Adrian sedang duduk di sebuah ruangan gelap, memegang dokumen medis asli dari rumah sakit tempat Nadia kehilangan bayi pertamanya.
"Halo, Kakak Ipar tersayang," sapa Adrian di video itu dengan senyum miringnya. "Bramantyo bilang aku penipu? Tapi coba kau lihat lampiran di bawah ini. Bramantyo memang mengirim peralatan medis, tapi dia juga menandatangani dokumen 'prioritas' yang menyatakan bahwa jika terjadi komplikasi, nyawa Nadia adalah prioritas utama dan bayi itu boleh dikorbankan demi kestabilan kesehatan sang ibu untuk kepentingan suksesi perusahaan."
Adrian menunjukkan dokumen dengan tanda tangan Bramantyo yang sangat jelas. "Dia tidak membunuh anakmu secara langsung, Nadia. Dia hanya menganggap nyawa anak itu tidak lebih penting daripada 'investasi'nya padamu. Baginya, kau adalah aset, dan anak itu adalah variabel yang bisa dibuang."
Nadia melempar tabletnya hingga hancur. Saat Bramantyo masuk ke kamar, ia disambut dengan tatapan benci yang lebih hebat dari sebelumnya.
"Nadia, ada apa? Kita harus segera pindah ke bunker—"
"Kau menandatangani surat itu?" tanya Nadia, suaranya bergetar karena amarah yang memuncak. "Kau menandatangani dokumen yang menyatakan nyawa bayi kita boleh dikorbankan demi aku?"
Bramantyo terdiam. Rahangnya mengeras. "Nadia, saat itu kau sedang pendarahan hebat! Dokter bilang aku harus memilih! Aku tidak bisa kehilanganmu! Aku tidak peduli pada perusahaan, aku hanya peduli padamu!"
"Tapi kau tidak pernah memberitahuku!" teriak Nadia. "Kau membiarkan aku merasa bersalah selama bertahun-tahun seolah itu salah rahimku yang lemah, sementara kau sudah membuat keputusan itu di balik punggungku! Kau dan Adrian... kalian berdua adalah iblis yang memperebutkan satu jiwa!"
Tiba-tiba, seluruh listrik di gedung itu padam. Sistem keamanan high-tech yang dibangun Bramantyo diretas sepenuhnya. Suara Adrian bergema melalui sistem interkom darurat gedung.
"Permainan dimulai, Kak. Kau punya waktu 10 menit untuk memilih: Menyelamatkan istrimu yang sekarang membencimu, atau mengejarku dan membiarkan Arka yang sudah berada di tangan orang-orangku di lantai dasar."
Bramantyo dan Nadia membeku. Arka. Mereka baru menyadari bahwa dalam pertengkaran tadi, mereka lupa memeriksa kamar Arka yang pintunya kini sudah terbuka lebar.