NovelToon NovelToon
Ayah Anakku, Ceo Amnesia

Ayah Anakku, Ceo Amnesia

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO Amnesia / Bertani / Romansa pedesaan
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: indah yuni rahayu

Lia, gadis desa Tanjung Sari, menemukan seorang pria pingsan di pematang sawah tanpa ingatan dan tanpa identitas. Ia menamainya Wijaya, dan memberi lelaki itu tempat pulang ketika dunia seolah menolaknya.

Tekanan desa memaksa mereka menikah. Dari pernikahan sederhana itu, tumbuh rasa yang tak pernah direncanakan—hingga Lia mengandung anak mereka.

Namun Wijaya bukan lelaki biasa.

Di kota, keluarga Kusuma masih mencari Krisna, pewaris perusahaan besar yang menghilang dalam kecelakaan misterius. Tanpa mereka sadari, pria yang dianggap telah mati kini hidup sebagai suami Lia—dan ayah dari anak yang belum lahir.

Saat ingatan perlahan mengancam kembali, Lia harus memilih: mempertahankan kebahagiaan yang ia bangun, atau merelakan suaminya kembali pada masa lalu yang bisa merenggut segalanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indah yuni rahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kerja Bakti dan Pengakuan

Keesokan paginya.

Balai desa Tanjung Sari pagi itu ramai oleh suara tawa dan gesekan alat-alat kerja. Kerja bakti bulanan selalu menjadi momen berkumpulnya warga—membersihkan lingkungan, memperbaiki jalan kecil, dan menata selokan agar air tidak meluap saat hujan datang.

Lia datang bersama Ibu Surti membawa termos teh dan beberapa bungkus singkong rebus. Ia melihat Wijaya berdiri di tengah lapangan balai desa, mengenakan kaus lengan panjang dan celana lusuh. Tidak ada lagi kesan pria asing yang rapi dan berjarak. Hari itu, Wijaya tampak seperti bagian dari desa.

“Kamu ke sini saja, Jay,” panggil Pak Hadi. “Bantu angkat batu.”

Wijaya mengangguk dan langsung bekerja. Batu-batu besar diangkatnya satu per satu. Napasnya tersengal, namun wajahnya tetap fokus. Beberapa pria desa mulai memperhatikannya dengan cara berbeda.

“Orangnya kuat juga, ya,” ujar seseorang.

“Bukan cuma kuat. Niat.”

Lia mendengar bisik-bisik itu sambil menuangkan teh. Dadanya terasa hangat, sekaligus berdebar.

Tak lama kemudian, kepala desa, Pak Lurah Hasan, datang menghampiri. Ia menatap Wijaya dengan seksama.

“Kamu yang tinggal di rumah Pak Wiryo?” tanyanya.

“Iya, Pak,” jawab Wijaya sopan.

“Kamu dari mana asalnya?”

Wijaya terdiam sejenak. “Saya… belum ingat, Pak.”

Pak Lurah mengangguk pelan. “Yang penting, kamu bekerja jujur dan tidak meresahkan.”

“Saya berusaha, Pak.”

Pak Lurah menepuk bahu Wijaya. “Teruskan.”

Kalimat sederhana itu seperti pengakuan resmi. Beberapa warga yang tadinya ragu kini tampak lebih terbuka.

Siang hari, saat matahari tepat di atas kepala, kerja bakti dihentikan sementara. Warga duduk di bawah pohon besar, menikmati minuman dan makanan ringan.

Lia duduk agak menyendiri. Tangannya sedikit gemetar saat menuangkan teh ke dalam gelas untuk Wijaya.

“Kamu luar biasa hari ini,” ucap Lia pelan.

Wijaya tersenyum. “Aku hanya ingin membuktikan aku tidak merepotkan.”

“Kamu tidak pernah merepotkan,” jawab Lia spontan.

Wijaya menatapnya cukup lama. “Kamu selalu membelaku.”

Lia menunduk. “Karena aku percaya.”

Angin bertiup lembut. Sesuatu yang tak terucap menggantung di antara mereka.

Sore hari, kerja bakti selesai. Beberapa warga menghampiri Wijaya, menawarkan pekerjaan tambahan—membantu panen, memperbaiki kandang, mengangkut hasil kebun.

Wijaya menerimanya dengan wajah sumringah.

“Sepertinya kamu sudah jadi warga sini,” canda Pak Hadi.

Wijaya tertawa kecil. “Kalau desa mau menerima, saya senang.”

Malam itu, setelah semua pekerjaan selesai, keluarga Lia berkumpul di ruang tengah. Lampu listrik menyala.

“Dia mulai diterima,” ucap Ibu Surti pelan.

Pak Wiryo mengangguk. “Dia pekerja keras.”

Lia duduk diam. Perasaannya campur aduk—bahagia, takut, dan sesuatu yang lain yang belum berani ia sebutkan.

Di luar, Wijaya duduk sendirian. Lia menghampiri dan duduk di sampingnya.

“Kamu kelihatan senang,” ucap Lia.

“Iya,” jawab Wijaya jujur. “Untuk pertama kalinya, aku merasa punya tempat.”

Lia menatapnya. “Tempat itu bukan hanya desa.”

Wijaya menoleh. “Lalu apa?”

Lia terdiam. Kata-kata terasa berat di lidahnya.

“Seseorang,” ujarnya akhirnya.

Wijaya terkejut. Dadanya berdebar. Ia ingin bertanya lebih jauh, tapi menahan diri.

“Aku tidak ingin menyakiti siapa pun,” katanya pelan. “Termasuk kamu.”

Lia tersenyum getir. “Aku tahu.”

Malam semakin larut. Jangkrik bernyanyi. Desa kembali sunyi.

Di kamar, Lia berbaring tanpa bisa tidur. Bayangan Wijaya, caranya bekerja, caranya berbicara, dan tatapannya terus hadir dalam pikirannya.

Ia sadar satu hal yang membuatnya menggenggam selimut erat.

Ia bukan hanya peduli.

Ia mulai jatuh cinta.

Dan di desa yang mulai mengakui seorang pria tanpa masa lalu, perasaan Lia tumbuh lebih cepat dari keberaniannya sendiri.

---

Di sebuah rumah besar dan elit, waktu seolah berjalan lebih lambat.

Ana Kusuma duduk di ruang keluarga dengan punggung tegak, meski matanya tampak sembab. Di hadapannya, televisi menayangkan berita sore—tentang kecelakaan lalu lintas, tentang orang hilang, tentang hal-hal yang membuat dadanya semakin sesak.

Namun tidak satu pun berita menyebut nama yang ia tunggu.

“Kita masih belum dapat kabar?” tanyanya pelan.

Ardian Kusuma berdiri di dekat jendela, menatap halaman luas rumah mereka tanpa benar-benar melihat. Jas kerjanya masih rapi, seolah ia baru pulang dari kantor, tapi wajahnya menunjukkan kelelahan yang tidak bisa disembunyikan.

“Belum,” jawabnya singkat.

Ana menghela napas panjang. Tangannya mengepal di atas pangkuannya. “ Sudah satu minggu, Ardian.”

“Aku tahu.”

“Bagaimana kalau—” suara Ana bergetar, lalu ia berhenti.

Ardian menoleh. “Jangan lanjutkan.”

“Aku hanya ingin tahu,” lanjut Ana lirih, “kalau dia sudah tidak ada… kenapa jasadnya tidak pernah ditemukan?”

Pertanyaan itu menggantung di udara, berat dan menyesakkan.

Ardian tidak segera menjawab. Ia kembali menatap keluar, ke arah langit yang mulai gelap.

“Selama tidak ada bukti,” katanya akhirnya, “aku tidak akan berhenti mencari.”

Di sudut ruangan, Kevin Kusuma masih duduk diam. Cahaya lampu gantung memantul di layar ponselnya yang gelap—ia belum benar-benar menyalakannya sejak percakapan barusan. Jarinya bergerak pelan, seolah menimbang pesan yang tak jadi dikirim. Wajahnya tetap tenang, terlalu tenang untuk seseorang yang hidupnya seharusnya ikut terguncang oleh kehilangan.

Ia mengangkat pandangan sesaat, menatap jam dinding besar yang berdetak teratur. Waktu terus berjalan, seolah tidak peduli pada satu nama yang hilang dari dunia mereka.

“Ayah,” ucap Kevin lagi, kali ini lebih pelan, nyaris seperti menguji batas. “Jika rapat direksi ditunda terus, saham bisa jatuh. Mereka butuh pernyataan resmi.”

Ardian menghela napas panjang. Kerut di dahinya semakin dalam. “Krisna belum dinyatakan apa-apa,” katanya dingin. “Selama itu, perusahaan berjalan seperti biasa. Titik.”

Kevin mengangguk, patuh. Atau setidaknya tampak demikian. Ia menunduk, menyelipkan Ponsel ke saku jasnya. Di balik gestur sederhana itu, pikirannya bergerak jauh lebih cepat dari yang terlihat.

“Aku hanya ingin semuanya tetap stabil,” ujarnya pelan. “Untuk keluarga.”

Ana, yang sejak tadi memeluk saputangan di tangannya, menatap Kevin lebih lama dari biasanya. Ada sesuatu pada wajah putra sulungnya yang membuat hatinya tidak tenang—ketenangan yang terasa asing, bahkan menakutkan.

“Kamu kakaknya,” ucap Ana lirih, suaranya bergetar. “Apa kamu tidak merindukannya? Setidaknya… cemas?”

Kevin mengangkat wajahnya. Senyum tipis terlukis di bibirnya, rapi dan terkontrol. “Tentu saja, Ma. Krisna itu darah dagingku.”

Namun senyum itu berhenti di bibir. Matanya tetap datar, seperti cermin yang menolak memantulkan apa pun.

Kesunyian kembali menguasai ruang keluarga itu.

Di lantai atas, kamar Krisna masih terkunci rapat. Gagang pintunya dingin, seolah menolak disentuh. Tidak ada yang berani membukanya—seakan dengan membuka pintu itu, mereka juga harus membuka kemungkinan terburuk.

Di dalam, semuanya masih seperti hari terakhir Krisna berada di sana. Jas kerjanya tergantung rapi. Sepatunya tersusun sejajar. Jam tangannya tergeletak di atas meja, jarumnya berhenti pada satu waktu yang sama—waktu ketika hidupnya terputus dari dunia yang ia kenal.

Tak ada debu, tak ada perubahan. Seolah kamar itu menunggu pemiliknya pulang.

Rumah megah itu penuh oleh kemewahan, oleh marmer dingin dan lukisan mahal, oleh suara langkah kaki para pelayan yang berlalu-lalang. Namun ada satu hal yang hilang dan tak bisa dibeli dengan uang sebanyak apa pun—kepastian.

Apakah Krisna masih hidup? Atau justru telah menjadi bagian dari rahasia yang sengaja dikubur?

Dan jauh dari rumah itu, di sebuah desa kecil yang bahkan tak tercantum jelas di peta besar, seorang pria bernama Wijaya berdiri di tengah sawah berlumpur. Tangannya gemetar memegang bibit padi, kakinya tenggelam hingga mata kaki. Keringat mengalir di pelipisnya, napasnya terengah—pekerjaan yang sama sekali tak pernah ia bayangkan akan ia lakukan.

Seorang petani tua menepuk pundaknya sambil tertawa kecil, memberi arahan sederhana. Wijaya mengangguk, mencoba meniru gerakan itu, belajar satu per satu, seolah sedang mempelajari hidup baru.

Ia tidak tahu bahwa di tempat lain, namanya pernah berbeda. Ia tidak tahu bahwa ada keluarga besar yang kehilangan seseorang—dan bahwa kehilangan itu bukan kebetulan.

Di bawah langit desa yang sunyi, Wijaya menunduk menanam padi, tanpa menyadari bahwa masa lalu tidak benar-benar pergi.

Ia hanya menunggu waktu… untuk mengejar.

---

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!