Alara Davina terpaksa menikah kontrak dengan Nathan Erlangga, CEO dingin yang menyimpan luka masa lalu. Saat cinta mulai tumbuh di antara mereka, Kiara Anjani—sahabat yang ia percaya—ternyata adalah cinta pertama Nathan yang kembali dengan niat jahat. Pengkhianatan demi pengkhianatan menghancurkan Alara, bahkan membuatnya kehilangan calon buah hati. Dalam pusaran air mata dan kepedihan, bisakah cinta sejati bertahan? Sebuah perjalanan emosional tentang cinta, pengkhianatan, dan penebusan yang akan mengguncang hati setiap pembaca hingga ending bahagia yang ditunggu-tunggu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 31: KETIKA TRAUMA BERBICARA LEBIH KERAS
Pagi Minggu. Alara bangun dengan mata yang sembab dan kepala yang pusing—efek menangis terlalu lama. Ia turun ke ruang makan dengan harapan Nathan sudah berangkat entah kemana—tapi yang ia temukan adalah Nathan duduk di sana, dengan dua cangkir kopi yang sudah disiapkan.
Nathan mengangkat wajah begitu mendengar langkah Alara—mata yang juga sembab, wajah yang pucat.
"Morning," sapanya pelan.
"Morning," balas Alara—suara yang masih serak.
Mereka duduk berhadapan—jarak yang terasa sangat jauh walau hanya satu meja.
"Alara," Nathan membuka pembicaraan—suara yang bergetar sedikit. "Tentang semalam—"
"Aku minta maaf," potong Alara—membuat Nathan terdiam. "Aku... aku overreact. Aku tahu kamu punya masa lalu. Dan aku nggak berhak cemburu—"
"Kamu BERHAK cemburu," Nathan memotong tegas. "Kamu istriku. Kamu berhak marah, berhak cemburu, berhak untuk... untuk minta penjelasan."
Ia menarik napas dalam—mencoba menyusun kata-kata yang tepat.
"Kiara itu... dia bagian dari masa laluku yang... yang masih sakit. Lima tahun lalu, aku... aku sangat mencintainya. Aku mau melamarnya. Aku udah beli cincin. Aku udah rencana masa depan."
Setiap kata terasa seperti pisau di dada Alara, tapi ia mendengar—karena ia tahu Nathan perlu bilang ini.
"Tapi dia pergi," lanjut Nathan—suara yang semakin bergetar. "Tanpa penjelasan. Hanya tinggalin surat yang bilang 'aku nggak bisa lanjutin ini'. Dan aku... aku hancur. Aku nggak bisa tidur berbulan-bulan. Nggak bisa makan. Nggak bisa kerja. Papa sampai harus paksa aku ke psikiater."
Air mata Nathan mulai berkumpul di sudut mata—tapi ia tahan.
"Sejak itu, aku... aku tutup hatiku. Aku fokus kerja. Aku nggak mau deket sama siapa pun. Karena aku takut... takut disakiti lagi. Takut ditinggal lagi."
Ia menatap Alara dengan tatapan yang penuh luka.
"Sampai kamu datang," bisiknya. "Dan perlahan... perlahan kamu bobol semua tembok itu. Kamu bikin aku ngerasain lagi. Bikin aku... jatuh cinta lagi."
"Tapi kamu masih takut," bisik Alara—bukan pertanyaan, tapi pernyataan.
Nathan mengangguk—jujur, menyakitkan. "Iya. Aku masih takut. Takut kalau aku sepenuhnya buka diri, kamu akan pergi. Takut kalau aku cinta kamu terlalu dalam, kamu akan... akan ninggalin aku."
Air matanya jatuh—untuk kedua kalinya Alara melihat Nathan menangis.
"Dan itu nggak fair buat kamu," lanjut Nathan—suara yang bergetar hebat. "Kamu deserve seseorang yang nggak takut. Yang bisa cinta kamu sepenuhnya. Yang nggak... yang nggak bawa trauma masa lalu."
Alara berdiri—berjalan mendekat ke Nathan. Ia berlutut di depan kursi Nathan—menatap wajah Nathan yang basah air mata.
"Nathan," bisiknya sambil menyentuh wajah Nathan dengan lembut. "Aku nggak butuh kamu yang sempurna. Aku nggak butuh kamu yang nggak punya trauma. Aku cuma butuh kamu yang... yang mau coba. Mau coba percaya sama aku. Mau coba buka hati walau takut."
Nathan menatapnya dengan tatapan yang hancur. "Bagaimana kalau aku gagal? Bagaimana kalau aku mengecewakan kamu?"
"Lalu kita coba lagi," jawab Alara—air matanya juga jatuh. "Kita coba lagi sampai berhasil. Karena aku... aku nggak akan pergi, Nathan. Aku nggak akan ninggalin kamu. Even when it's hard. Even when you're scared. Aku akan tetap di sini."
Nathan menarik Alara ke pelukannya—pelukan yang desperate, yang penuh keputusasaan dan cinta sekaligus.
"Aku takut kehilangan kamu," bisiknya di rambut Alara—suara yang penuh luka. "Aku sangat takut."
"Kamu nggak akan kehilangan aku," bisik Alara sambil memeluk Nathan lebih erat. "Aku janji."
Mereka berpelukan lama—menangis bersama, menyembuhkan luka bersama.
Dan di saat itulah—di tengah kerentanan, di tengah ketakutan—Nathan menyadari sesuatu.
Ia mencintai Alara. Sangat mencintai. Lebih dari yang ia pikir mungkin.
Dan ketakutannya untuk kehilangan Alara... justru akan membuat ia kehilangan Alara kalau ia tidak berani menghadapi trauma masa lalunya.
"Alara," bisik Nathan sambil melepas pelukan sedikit—menatap wajah Alara yang basah air mata.
"Ya?"
"Aku mau coba. Aku mau... aku mau berani. Untuk kamu. Untuk kita."
Alara tersenyum—senyum yang gemetar tapi penuh harapan. "Itu sudah cukup."
Nathan menciumnya—ciuman yang lembut, yang penuh janji, yang penuh tekad untuk menjadi lebih baik.
Tapi mereka berdua tidak tahu—tidak bisa tahu—bahwa Kiara belum selesai.
Bahwa malam kemarin hanyalah pembukaan.
Dan rencana terakhir Kiara—rencana yang paling berbahaya—akan segera dimulai.
Rencana yang melibatkan Dimas.
Rencana yang akan membuat Nathan mempertanyakan segalanya.
Dan ketika rencana itu terjadi, tidak ada trauma masa lalu yang bisa mempersiapkan Nathan untuk rasa sakit yang akan datang.