NovelToon NovelToon
Dewa Pedang Asura

Dewa Pedang Asura

Status: sedang berlangsung
Genre:Budidaya dan Peningkatan
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Tiandi

Di Benua Angin Dewa, di mana langit menjadi saksi lahir dan matinya para kultivator,
seorang pemuda fana bernama Liang Chen menapaki jalan yang tak seharusnya ditempuh manusia. Terlahir tanpa meridian, ia menolak menyerah pada takdir yang menutup gerbang menuju keabadian.

Namun di balik kehendak baja dan tekad yang murni, tersembunyi sesuatu yang lebih purba, warisan berdarah yang berdenyut di dalam jiwanya. Saat dunia menatap langit untuk mencari kekuatan, ia menemukan kekuatan itu di dalam gelap yang mengintai dirinya sendiri.

Perjalanan Liang Chen bukanlah pencarian keabadian, melainkan perjuangan melawan dirinya sendiri, antara manusia yang ingin tetap hidup… dan bayangan Asura yang menuntut untuk lahir kembali.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Saga 30: Menembus Batas Pondasi Besi

Air terjun itu jatuh dari tebing setinggi dua puluh tombak, suaranya bergemuruh seperti dentuman logam. Kabut air menutupi lembah, membuat udara terasa lembap dan dingin menusuk.

Liang Chen berdiri di bawahnya, tubuhnya hanya ditutupi pakaian tipis, kulitnya membiru perlahan di bawah guyuran deras air yang seolah diturunkan langsung dari langit.

Guru Kui Xing duduk di atas batu besar tak jauh dari sana, labu arak di tangan, matanya menyipit memandang muridnya yang bergetar menahan dingin. “Kau hanya berdiri di situ?” suaranya datar. “Air itu tidak akan berhenti. Kau harus melawan.”

Liang Chen tidak menjawab. Ia menggenggam Kesunyian Malam di tangan kanannya, bilah hitam itu bergetar pelan, memantulkan cahaya samar dari permukaan air. Tubuhnya terasa seperti disayat ribuan jarum.

Air yang jatuh dari ketinggian itu bukan air biasa. Guru Kui Xing telah memadatkannya dengan Energi Samawi, membuat setiap tetes membawa berat setara dengan batu kecil. Setiap kali menghantam bahu atau punggung Liang Chen, terdengar bunyi keras seperti pukulan palu.

Rasa sakit menyebar ke seluruh tubuhnya. Tulang-tulangnya bergetar. Ototnya menegang. Napasnya tersendat.

Ia mencoba menyalurkan Energi Pembantaian dari inti tubuhnya, seperti yang diajarkan gurunya. Energi itu berdenyut seperti darah panas, mengalir ke permukaan kulitnya, berusaha menahan tekanan air yang menghantam tanpa henti.

Namun Energi Pembantaian bukanlah perisai yang lembut. Ia menyalak, liar dan tidak sabar, ingin meledak keluar. Liang Chen menahannya sekuat tenaga, memaksa energi itu tetap di bawah kulitnya, menebarkan panas yang luar biasa.

Dalam satu tubuh, dua kekuatan saling bertabrakan. Air yang dingin membekukan kulit, sementara Energi Pembantaian membakar dari dalam.

Liang Chen merasa seperti disobek dari dua sisi. Tapi ia tidak bergerak.

Guru Kui Xing meletakkan labunya. “Kau harus belajar menjaga keseimbangan antara panas dan dingin. Energi Pembantaian adalah api. Dunia di sekitarmu adalah es. Jika api terlalu kuat, kau terbakar.

Jika es terlalu kuat, kau hancur. Pondasi Besi sejati bukan hanya tentang kerasnya tubuh, tapi tentang keseimbangan antara dua kematian.”

Kata-kata itu menggema di telinga Liang Chen. Ia menutup matanya. Di tengah deru air yang memekakkan, ia mendengar suara lain. Suara Ayahnya, samar namun jelas. Keteguhan adalah keberanian untuk tetap berdiri saat dunia ingin menumbangkanmu.

Ia mengingat Desa Hijau. Jalan tanah yang basah oleh hujan, tawa anak-anak, dan wajah ibunya yang tersenyum di ambang pintu. Semua itu lenyap dalam kobaran api dan darah.

Rasa sakit di tubuhnya berubah. Bukan lagi siksaan, tapi ujian. Liang Chen menyalurkan Energi Pembantaian dengan ritme napasnya. Setiap kali air menghantam, ia membiarkan energi panas di tubuhnya mengalir seperti logam cair, memperkuat tulang, menebalkan kulit.

Satu jam berlalu. Dua jam.

Guru Kui Xing tidak berkata apa-apa, hanya memandangi muridnya yang masih berdiri di bawah air terjun. Beberapa kali Liang Chen jatuh berlutut, tapi setiap kali ia bangkit lagi, tubuhnya sedikit lebih kuat, posturnya lebih kokoh.

Ketika matahari mulai condong ke barat, Liang Chen membuka matanya. Tatapannya tajam, dan bilah Kesunyian Malam di tangannya kini bergetar pelan, menyerap energi yang sama yang berputar di tubuh pemiliknya. Air yang menimpa bahunya tak lagi menimbulkan luka, hanya percikan kecil yang memantul seperti di atas batu.

Guru Kui Xing berdiri dan berjalan mendekat. “Kau mulai memahami apa arti Pondasi Besi. Tubuhmu adalah palung baja. Dunia akan memukulmu tanpa henti. Tugasmu adalah memastikan setiap pukulan itu tidak menghancurkanmu, tapi membentukmu.”

Liang Chen menunduk dalam-dalam. “Guru, aku siap.”

Guru Kui Xing menatap muridnya yang menggigil, lalu menatap air terjun. “Belum,” katanya tenang. “Kau belum mengenal rasa sakit yang sesungguhnya. Air ini hanya permulaan. Esok, aku akan memadatkannya lebih kuat. Jika kau mampu bertahan tanpa kehilangan kesadaran, barulah aku anggap kau menginjak Pondasi Besi sejati.”

Angin berhembus, membawa aroma lembap dari air dan tanah. Liang Chen mengangguk perlahan. Tubuhnya bergetar, tapi matanya tidak lagi menunjukkan ketakutan. Ia tahu pelatihannya baru dimulai.

Malam turun perlahan di atas gunung. Kabut tebal menggantung di puncak-puncaknya, dan air terjun kini tampak seperti tirai perak yang bergetar di bawah sinar bulan. Liang Chen masih berdiri di tempat yang sama, di bawah derasnya air. Tubuhnya tampak kaku, tetapi matanya menyala dengan tekad yang keras.

Air yang jatuh kini lebih berat dari sebelumnya. Guru Kui Xing telah menambahkan Energi Spiritual ke dalam aliran itu, menjadikannya seperti cambuk yang menampar kulit dengan kekuatan ribuan jarum. Liang Chen menggigit bibirnya hingga darah menetes. Setiap tetes darah bercampur dengan air dan menghilang di kaki air terjun.

Guru Kui Xing duduk bersila di tepi, matanya terpejam, tetapi ia memantau setiap gerakan muridnya melalui aura.

Ia bisa merasakan ketegangan yang luar biasa di dalam tubuh Liang Chen, seperti dua naga yang bertarung di dalam satu gua sempit. Satu naga adalah api merah Energi Pembantaian, naga lainnya adalah dingin dari air terjun yang mengguyur tanpa henti.

Liang Chen mengatur napasnya. Ia tahu bahwa jika ia membiarkan amarahnya menguasai, Energi Pembantaian akan meledak, dan tubuhnya akan terbakar dari dalam. Namun jika ia menahan terlalu lama, rasa sakit dari air terjun akan menghancurkan tulang-tulangnya. Ia harus menemukan keseimbangan antara dua siksaan itu.

Dalam pikirannya, suara ayahnya terdengar lagi, samar seperti bisikan angin. Keteguhan bukan berarti menolak jatuh. Keteguhan berarti bangkit setiap kali kau jatuh.

Ia jatuh.

Kakinya tak mampu menahan tekanan air yang kini sekeras baja. Lututnya menghantam batu di bawah air, rasa sakitnya membuat seluruh tubuhnya bergetar. Seketika Energi Pembantaian berdenyut liar, menyambar melalui nadinya, mencari jalan keluar.

Liang Chen menutup matanya dan mengingat wajah ibunya. Senyum lembut itu, tangan hangat yang menyentuh kepalanya setiap kali ia terluka. Hiduplah, Chen’er. Apa pun yang terjadi, hiduplah.

Kata-kata itu menembus kesadarannya. Ia menarik napas panjang. Energi Pembantaian di dalam tubuhnya yang tadi bergolak kini berputar lebih lambat. Ia tidak lagi melawannya. Ia membiarkannya mengalir dengan ritme air, membentuk lingkaran yang menyatu dengan aliran rasa sakit yang menghantam kulitnya.

Sedikit demi sedikit, tubuhnya terbiasa dengan tekanan itu. Nyeri yang tadinya tak tertahankan kini menjadi bagian dari napasnya. Liang Chen merasakan sensasi baru, seolah tulangnya mengeras setiap kali air menghantamnya. Ia bisa mendengar suara halus dari dalam dirinya, seperti logam yang ditempa di tungku api.

Guru Kui Xing membuka matanya perlahan. Ia melihat muridnya tidak lagi gemetar. Tubuhnya kini memancarkan aura samar, perpaduan antara dingin dan panas. Ia tersenyum kecil, meski tak mengeluarkan suara. Dalam diam, ia tahu muridnya telah menemukan ritme yang benar.

“Tubuhmu adalah baja,” kata Guru Kui Xing akhirnya, suaranya tenang namun tegas. “Rasa sakit adalah palu. Kau harus membiarkannya memukulmu, tetapi jangan biarkan bentukmu berubah.”

Liang Chen mengangguk, meski air masih menghantam wajahnya. Ia tidak berbicara, tetapi matanya menjawab.

Waktu berjalan lambat. Jam demi jam berlalu di bawah bulan yang perlahan bergerak ke barat. Ketika akhirnya Guru Kui Xing berdiri, ia mendekati air terjun dan menyentuh permukaannya dengan dua jari. Aliran itu tiba-tiba berhenti, seolah terhenti oleh kehendak semesta. Liang Chen tersungkur ke depan, terengah-engah, lututnya menekan batu basah.

Air masih menetes dari rambut dan bahunya, tetapi auranya kini berbeda. Ia tampak seperti batu karang yang baru saja melewati badai.

Guru Kui Xing menatapnya lama. “Rasa sakit telah menjadi bagian dari tubuhmu. Tapi jangan lupa, setiap baja yang ditempa terlalu cepat akan retak. Istirahatlah sebentar, lalu kita lanjutkan.”

Liang Chen menatap ke arah air terjun yang kini tenang. Ia tahu, ketenangan ini hanya jeda sebelum palu berikutnya menghantam. Ia menunduk dan menjawab lirih, “Aku mengerti, Guru.”

Fajar perlahan menyingkap langit. Cahaya keemasan menyusup di sela kabut, menyentuh permukaan air yang berkilau seperti kaca cair.

Liang Chen masih duduk di bawah air terjun yang telah kembali mengalir, kali ini dengan kekuatan yang lebih deras dari sebelumnya. Tubuhnya kini tidak lagi gemetar, tetapi setiap serat ototnya terasa menjerit. Setiap napas adalah perjuangan, setiap denyut darah adalah pengingat bahwa ia masih hidup.

Guru Kui Xing berdiri di tepi batu, memegang tongkat kayu panjang yang ujungnya sedikit bengkok. Ia menatap muridnya dengan mata tajam yang memantulkan ketenangan purba. “Rasa sakit membuatmu sadar bahwa kau masih memiliki tubuh. Tapi keteguhanlah yang membuat tubuh itu berharga.”

Ia mengangkat tongkatnya, dan tanpa peringatan, memukul punggung Liang Chen dengan keras. Suara kayu menghantam kulit terdengar seperti cambuk yang memecah udara. Liang Chen terhuyung ke depan, darah segar mengalir di punggungnya, namun ia tidak berteriak. Ia hanya menegakkan tubuhnya kembali.

“Apakah ini yang akan kau tunjukkan pada Raja Naga Berdarah?” suara Guru Kui Xing menggema, datar dan dingin. “Apakah duka orang tuamu hanya sebatas ini?”

Kata-kata itu menembus dada Liang Chen lebih dalam daripada pukulan tongkat. Ia memejamkan mata, menahan amarah yang menggumpal di dalam dirinya. Energi Pembantaian berputar liar, berusaha keluar melalui luka-lukanya.

Ia tahu jika ia melepaskannya sekarang, ia akan kehilangan kendali. Maka ia menahan, membiarkan amarah itu menggeliat, menyalak, tetapi tidak keluar.

Guru Kui Xing kembali mengangkat tongkatnya. Kali ini pukulannya mendarat di bahu kanan Liang Chen. Tubuh muda itu hampir roboh, namun sebelum lututnya menyentuh batu, ia menggertakkan gigi dan berdiri tegak.

“Guru,” suaranya serak dan rendah, “aku tidak akan jatuh.”

Tongkat itu berhenti di udara. Mata Guru Kui Xing memantulkan cahaya matahari pagi yang baru muncul. Dalam diam, ia melihat sesuatu di balik darah dan peluh muridnya—api yang tidak padam meski diterpa badai. Ia menurunkan tongkatnya perlahan.

“Bagus,” katanya akhirnya. “Sekarang salurkan amarahmu. Biarkan api itu mengeras menjadi baja.”

Liang Chen menarik napas panjang. Ia merasakan seluruh tubuhnya bergetar saat Energi Pembantaian bergerak dari dadanya ke seluruh jaringan otot. Panasnya seperti logam cair yang meresap ke dalam tulang. Air terjun menghantamnya tanpa henti, namun kali ini ia tidak hanya bertahan—ia melawan.

Ia berdiri kokoh, telapak kakinya menekan batu licin, kedua tangannya mengepal. Tubuhnya berdenyut dengan aura merah samar. Air yang menimpa kulitnya tidak lagi melukai; sebaliknya, setiap tetes air terasa seperti bagian dari ritme tubuhnya.

Dari kejauhan, Guru Kui Xing menatap dengan tenang. Aura spiritualnya menyelimuti area itu, memastikan tidak ada gangguan. Ia tahu, jika Liang Chen gagal pada tahap ini, Energi Pembantaian di tubuhnya bisa berbalik dan menghancurkan dirinya dari dalam.

Detik demi detik berlalu. Liang Chen merasakan sesuatu berubah di dalam dirinya. Rasa sakit yang tadinya seperti racun kini menjadi kekuatan. Ia tidak lagi menahan Energi Pembantaian, melainkan menyalurkannya dengan lembut, membiarkannya memperkuat daging dan tulang. Tubuhnya terasa padat, seolah setiap tulang diselimuti lapisan logam.

Ia membuka matanya perlahan. Sorot merah samar menari di irisnya, namun tidak lagi liar.

Guru Kui Xing melangkah mendekat. “Sekarang kau tahu,” katanya pelan, “bahwa rasa sakit tidak untuk dihindari, melainkan untuk dipahami. Seorang Asura sejati bukan makhluk yang hidup dalam amuk, melainkan yang menguasai amuknya.”

Liang Chen menunduk, tubuhnya masih bergetar halus, tetapi kali ini bukan karena lemah—melainkan karena energi yang terlalu besar mengalir dalam dirinya.

Tiba-tiba Guru Kui Xing menggerakkan tongkatnya sekali lagi. Kali ini ia menekan dada Liang Chen dengan ujungnya. Energi Spiritual yang kuat mengalir masuk, menekan seluruh jalur energi di tubuh muridnya. Liang Chen menahan napas, giginya menggertak, darah menetes dari ujung bibirnya.

“Pertahankan,” kata sang Guru. “Jangan lawan aku. Alirkan energimu.”

Liang Chen memejamkan mata, mencoba mengikuti tekanan itu. Energi Pembantaian yang bergejolak di dadanya bertemu dengan tekanan dari tongkat Guru Kui Xing. Keduanya bentrok di dalam tubuhnya seperti dua gelombang samudra. Ia menahan, menyalurkan, lalu perlahan menaklukkannya.

Tiba-tiba, aura merah yang menyelimuti tubuh Liang Chen berdenyut kuat, lalu meredup. Saat ia membuka matanya, udara di sekelilingnya bergetar. Permukaan air di sekitarnya bergulung mundur beberapa langkah, seolah tubuhnya menolak sentuhan dunia luar.

Guru Kui Xing tersenyum kecil. “Selesai. Pondasi Besi-mu telah terbentuk dengan sempurna.”

Liang Chen terjatuh berlutut, terengah-engah. Ia menatap tangannya sendiri yang kini tampak lebih keras, kulitnya sedikit berkilau di bawah sinar matahari. Ia menggenggamnya dan merasakan kekuatan yang baru, kekuatan yang stabil dan terkontrol.

Guru Kui Xing berbalik, mengambil gulungan peta dari dalam jubahnya dan melemparkannya ke tanah di depan Liang Chen.

“Pelatihanmu di gunung telah selesai,” ujarnya. “Pondasi Besi hanya langkah pertama. Sekarang, kau harus belajar mengasah pedangmu pada dunia yang nyata.”

Liang Chen mengangkat kepala. Napasnya masih berat, tetapi matanya kembali tajam. “Apakah ini berarti aku harus turun gunung?”

“Tidak sepenuhnya,” jawab Guru Kui Xing. “Kau akan pergi ke hutan terlarang di sisi timur gunung ini. Di sana, kau akan bertemu dengan makhluk tingkat Pondasi Besi. Jangan bunuh mereka. Amati, rasakan, dan pahami kelemahan mereka.”

Liang Chen mengambil peta itu dan menggenggamnya kuat-kuat.

Guru Kui Xing menatapnya sekali lagi. “Ingat, Chen’er. Dunia tidak akan menunggu kesiapanmu. Tapi jika kau melangkah tanpa pemahaman, dunia akan menghancurkanmu seperti debu.”

Liang Chen menunduk hormat. “Aku mengerti, Guru.”

Angin pagi berembus lembut, membawa aroma lembap dari tanah dan air. Liang Chen berdiri perlahan, tubuhnya kini sekuat baja, hatinya sekeras tekadnya. Air terjun di belakangnya memantul di kulitnya, tak lagi meninggalkan luka. Ia telah menjadi murid sejati dari Jalan Asura, ditempa oleh rasa sakit dan dikuatkan oleh kehendak untuk hidup.

Guru Kui Xing menatap muridnya itu dengan diam. Di balik tatapan kerasnya, terselip kebanggaan yang tak diucapkan. Dalam hati, ia berbisik pada dirinya sendiri, “Mungkin kali ini, api itu tidak akan membakar dunia.”

1
Nanik S
💪💪💪
Nanik S
Lanjutkan 👍👍👍
Nanik S
Hadir
Fairuz
semangat kak jangan lupa mampir yaa
Tiandi: terimakasih udah mampir kak
total 1 replies
[ZH_FELRIX]™√
semangat berkarya kaka 😄
[ZH_FELRIX]™√: iyah sama sama kaka baik 😄
total 2 replies
Tiandi
Halo semuanya. Saya berharap kalian tidak merasa bosan ketika membaca Dewa Pedang Asura. Bagi pembaca yang belum terbiasa dengan novel berdurasi panjang, jumlah kata setiap bab yang berkisar antara 1500–2500 mungkin terasa melelahkan, terutama karena alurnya bergerak dengan ritme yang cukup tenang. Namun, gaya penyajian tersebut memang mengikuti outline dan struktur arc cerita yang telah saya rancang sejak awal.

Jika ada yang bertanya apakah novel ini layak dibaca, jawabannya kembali pada selera masing-masing pembaca. Saya tidak bisa menyebut karya ini bagus bagi semua orang, karena setiap orang memiliki preferensi yang berbeda. Karena itu, saya menyarankan kalian untuk mencoba membaca beberapa bab terlebih dahulu, lalu tentukan sendiri apakah ingin melanjutkan atau tidak.

Jika kalian merasa ceritanya kurang sesuai dengan selera, saya sepenuhnya memahami. Namun jika kalian menikmati perjalanan cerita ini, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas dukungan kalian.

Sekian pesan dari saya.
Selamat membaca, dan semoga kalian menikmati perjalanannya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!