Indira mengagumi Revan bukan hanya karena cinta, tetapi karena kehormatannya. Revan, yang kini memeluk Kristen setelah melewati krisis identitas agama, memperlakukan Indira dengan kehangatan yang tak pernah melampaui batas—ia tahu persis di mana laki-laki tidak boleh menyentuh wanita.
Namun, kelembutan itu justru menusuk hati Indira.
"Untukku, 'agamamu adalah agamamu.' Aku tidak akan mengambilmu dari Tuhan-mu," ujar Revan suatu malam, yang di mata Indira adalah kasih yang dewasa dan ironis. Lalu ia berbisik, seolah mengukir takdir mereka: "Untukmu agamamu, dan untukku agamaku."
Kalimat itu, yang diambil dari Kitab Suci milik Indira sendiri, adalah janji suci sekaligus belati. Cinta mereka berdiri tegak di atas dua pilar keyakinan yang berbeda. Revan telah menemukan kedamaiannya, tetapi Indira justru terombang-ambing, dihadapkan pada i
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon blcak areng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pelukan Bunda dan Titik Terberat
Air mataku tumpah, membasahi kain mukena. Vonis yang dijatuhkan Ayah terasa lebih berat daripada yang kubayangkan. Aku tahu Ayah benar secara hukum agama, tetapi hati yang mencintai Revan Elias Nugraha terasa mati rasa.
Tiba-tiba, kehangatan yang familiar memelukku.
Bunda Fatma, yang diam-diam kembali setelah meletakkan teh di meja, langsung duduk di lantai dan merengkuhku. Ia tidak bertanya, tidak menghakimi, hanya membiarkan aku bersandar di bahunya yang terasa kokoh.
Tangisku semakin keras, pecah. Semua beban dari tatapan Ayah, kerinduan pada Revan, dan ketakutan akan akhirat, tumpah ruah.
"Ssttt... sudah, Nak. Jangan menangis keras-keras," bisik Bunda, mengusap punggungku perlahan.
Bunda menoleh ke arah Ayah yang masih duduk di sajadah. Tatapan Bunda padaku memang lembut, tetapi tatapan Bunda pada Ayah mengandung perintah tanpa suara.
Ayah Bimo menghela napas panjang, memahami kode dari istrinya. Ayah mengangguk kecil, bangkit, dan berbisik, "Ayah ke kamar dulu. Besok kita bicara lagi."
Pintu kamar tertutup, menyisakan aku dan Bunda di ruang tengah. Bunda melepaskan pelukannya sedikit, menangkup wajahku yang basah.
"Lihat mukenamu, basah semua, Nak. Lepas dulu, ya."
Bunda dengan hati-hati melepaskan mukenaku. Dengan kelembutan yang hanya dimiliki seorang ibu, Bunda merapikan kerudungku yang sudah berantakan karena air mata. Jemarinya membetulkan lipatan kain di dahi dan bahu, mengembalikan kesantunan di wajah anak perempuannya.
"Kamu anak perempuan satu-satunya, Nak," Bunda memulai, suaranya pelan, sarat makna.
"Satu-satunya. Di seluruh keluarga besar kita, kamu adalah satu-satunya anak perempuan, satu-satunya pewaris role model dari sisi perempuan di keluarga besar Om dan Tante kamu yang lain."
Aku tahu maksud Bunda. Semua sepupu sebayaku adalah laki-laki. Semua harapan dan ekspektasi untuk menjaga garis keturunan agama dan tradisi keluarga secara feminin, dipikul di pundakku. Beban itu terasa mencekik.
"Ayahmu itu bukannya tidak sayang, Nak. Justru karena sayang, Ayah berbicara sekeras tadi," lanjut Bunda, menyeka sisa air mataku. "Ayahmu hanya takut. Ayah takut, satu-satunya anak perempuannya, anak yang paling Ayah jaga, memilih jalan yang akan membawanya menjauh dari rumah ini, dari surga yang kita yakini."
"Tapi, Bun," suaraku serak, "Revan tidak memaksaku. Dia menghormatiku. Dia yang paling tahu batasanku. Aku... aku tidak pernah merasa sedekat ini dengan Tuhan, justru saat berjuang mencintai orang yang berbeda keyakinan."
Bunda memelukku lagi. "Bunda tahu, Nak. Bunda tahu Revan anak yang baik, Bunda juga sayang dia. Justru karena dia baik, Bunda takut. Kebaikan dari cinta yang salah tempat, jauh lebih berbahaya daripada keburukan yang jelas-jelas salah."
"Bunda tahu, Nak. Revan mungkin berkata, 'untukmu agamamu, dan untukku agamaku.' Ayat itu menenangkan, ya? Tapi kamu harus ingat, Indira, Ayat itu adalah penutup, batas akhir.
Ayat itu bukan pembuka jalan untuk kalian bersatu, tapi penegasan bahwa jalan kalian sudah final berbeda. Dan penegasan itu yang harus kamu hadapi."
Bunda memegang tanganku erat. "Nak, jangan biarkan Garis Batas Keyakinan ini merusak masa depanmu. Jika kamu mencintai Revan, doakan dia. Doakan dia agar dia menemukan jalan yang terbaik. Tapi, untuk hatimu sendiri, kamu harus membuat pilihan, Nak. Pilihan untuk tetap berdiri tegak di jalan yang sudah kamu yakini sejak lahir."
Nasihat Bunda tidak menawarkan solusi mudah, tetapi menawarkan kekuatan. Di pelukan Bunda, di bawah kerudung yang sudah rapi kembali, aku tahu, perjuanganku baru saja dimulai. Perjuangan melawan cinta yang terasa sangat benar, tetapi secara keyakinan, sangatlah salah.