NovelToon NovelToon
Dewa Pedang Asura

Dewa Pedang Asura

Status: sedang berlangsung
Genre:Budidaya dan Peningkatan
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: Tiandi

Di Benua Angin Dewa, di mana langit menjadi saksi lahir dan matinya para kultivator,
seorang pemuda fana bernama Liang Chen menapaki jalan yang tak seharusnya ditempuh manusia. Terlahir tanpa meridian, ia menolak menyerah pada takdir yang menutup gerbang menuju keabadian.

Namun di balik kehendak baja dan tekad yang murni, tersembunyi sesuatu yang lebih purba, warisan berdarah yang berdenyut di dalam jiwanya. Saat dunia menatap langit untuk mencari kekuatan, ia menemukan kekuatan itu di dalam gelap yang mengintai dirinya sendiri.

Perjalanan Liang Chen bukanlah pencarian keabadian, melainkan perjuangan melawan dirinya sendiri, antara manusia yang ingin tetap hidup… dan bayangan Asura yang menuntut untuk lahir kembali.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Saga 31: Membaca Jejak Kematian

Kabut pagi menggantung di antara pepohonan, tebal dan berat seperti tirai yang menutupi dunia. Hutan di bawah Gunung Pedang Terbang itu jarang tersentuh manusia, dipenuhi aura liar dan aroma tanah lembap.

Liang Chen berdiri di tepi hutan, memandangi jalur sempit yang hanya tampak samar di antara dedaunan. Di tangannya, Kesunyian Malam bergetar ringan, seolah ikut merasakan ketegangan yang memenuhi udara.

Guru Kui Xing berdiri di belakangnya, bersandar pada tongkatnya yang usang. Suaranya terdengar tenang, tetapi setiap kata membawa bobot yang sulit diabaikan.

“Di dalam hutan ini, ada tiga jenis monster tingkat Pondasi Besi. Mereka bukanlah makhluk biasa, dan sebagian besar bisa menghancurkan manusia fana hanya dengan satu serangan. Tugasmu sederhana: temukan mereka, amati, dan pelajari titik lemahnya.”

Liang Chen menunduk sedikit. “Tidak boleh membunuh?”

“Tidak.” Guru Kui Xing menatap lurus ke matanya. “Kau hanya boleh melumpuhkan jika terpaksa. Jika kau membunuh satu pun dari mereka, kau gagal.”

Liang Chen mengangguk perlahan. Ia tahu, larangan itu bukan karena belas kasihan, tetapi ujian pengendalian. Setelah latihan bertahan di bawah air terjun dan ditempa oleh rasa sakit, kini ia harus belajar menahan insting untuk menyerang.

Udara hutan terasa berat. Begitu ia melangkah masuk, suara-suara kecil seperti bisikan terdengar dari segala arah. Angin menggerakkan daun-daun, menghasilkan bunyi yang menyerupai desahan napas.

Setiap langkah membuat tanah berderit di bawah kakinya. Energi Pembantaian dalam tubuhnya bergetar, berusaha keluar dan menguasai setiap gerakan.

Liang Chen berhenti sejenak, menutup matanya. Ia mencoba menenangkan diri, menarik napas dalam-dalam, lalu membiarkan Energi Pembantaian itu berputar dengan ritme yang ia kendalikan.

Pelajaran dari air terjun masih membekas kuat dalam dirinya. Ia tahu, jika ia melawan energi itu secara kasar, ia hanya akan melukai dirinya sendiri.

Ia berlutut, meneliti tanah. Ada bekas jejak besar di tanah berlumpur, berbentuk seperti cakar, panjang dan dalam. Aroma darah samar tercium dari sana. Liang Chen menyentuh lumpur itu, lalu menggosoknya di antara jari-jarinya. Masih hangat. Itu berarti monster yang meninggalkan jejak ini baru saja lewat.

Ia bergerak perlahan, tubuhnya hampir tidak bersuara. Pohon-pohon di sekitarnya menjulang tinggi, menutupi sinar matahari. Cahaya yang berhasil masuk hanya berupa garis tipis di antara celah daun. Liang Chen merasakan hawa dingin yang merambat dari tanah, menyelinap naik ke tulangnya.

Tiba-tiba, dari kejauhan, terdengar suara gemerisik. Ia menunduk cepat, menyembunyikan tubuhnya di balik akar besar. Dari celah akar, ia melihat seekor makhluk keluar dari balik kabut, Serigala Berbulu Baja.

Tubuhnya sebesar kerbau muda, bulunya berwarna abu metalik, berkilau di bawah cahaya yang redup. Setiap langkahnya meninggalkan bekas kecil di tanah, disertai suara gemeretak halus, seolah tulangnya sendiri bergesekan dengan logam.

Liang Chen menahan napas. Monster itu mengendus udara, moncongnya mengarah tepat ke arah tempat ia bersembunyi.

Liang Chen tahu bahwa monster tingkat Pondasi Besi bisa merasakan fluktuasi energi, terutama Energi Pembantaian yang ada dalam tubuhnya. Ia mencoba menekan auranya, membiarkan pikirannya kosong seperti batu.

Namun Energi Pembantaian di tubuhnya justru bereaksi sebaliknya. Ia merasakan dorongan kuat di dadanya, naluri untuk menyerang, untuk menebas leher monster itu dan menyerap energinya. Rasa lapar itu datang seperti gelombang, menggerogoti kesadarannya.

Ia memejamkan mata, menggigit bibirnya sampai darah menetes. “Tidak sekarang,” bisiknya pelan. “Aku tidak akan gagal.”

Rasa lapar itu perlahan mereda. Liang Chen menatap kembali ke arah monster itu. Serigala Berbulu Baja berhenti mengendus, lalu berjalan menjauh ke arah sungai kecil di tengah hutan. Liang Chen mengikuti dari jarak aman, memperhatikan setiap gerakannya.

Ia melihat sesuatu yang menarik, setiap kali monster itu bergerak cepat, bagian bawah perutnya tampak lebih kaku dibandingkan sisanya. Gerakannya sedikit tertahan di sana, seolah ada sesuatu yang menahan. Liang Chen tersenyum tipis. “Titik lemahnya di sana.”

Namun ia tidak mendekat. Ia tahu tugasnya bukan untuk menyerang. Ia hanya mengamati, mencatat dalam pikirannya bagaimana monster itu bereaksi terhadap lingkungan sekitar.

Ia memperhatikan bagaimana Serigala Berbulu Baja bereaksi terhadap bau darah dan suara air, bagaimana ia berhenti setiap beberapa langkah untuk memastikan tidak ada ancaman.

Setelah beberapa lama, monster itu akhirnya menghilang di balik pepohonan. Liang Chen menghela napas panjang, merasa beban besar terangkat dari dadanya. Ia tahu bahwa itu baru yang pertama. Masih ada dua jenis monster lagi yang harus ia amati, dan semuanya lebih berbahaya dari yang ini.

Ia menatap sekeliling hutan yang mulai diselimuti kabut tebal. Cahaya matahari tidak bisa lagi menembus dedaunan rapat. Suara burung dan serangga menghilang, digantikan keheningan yang aneh. Liang Chen menyadari bahwa ia tidak sendirian di sini.

Kesunyian Malam di tangannya bergetar pelan, seolah merasakan sesuatu mendekat dari kegelapan. Liang Chen menegakkan tubuh, napasnya teratur. Dalam diam, ia tahu, perburuan sesungguhnya baru saja dimulai.

Hening hutan menyelimuti Liang Chen seperti lautan yang menelan suara. Setiap langkahnya disertai detak jantung yang menggema di telinga sendiri. Ia terus bergerak ke arah utara, di mana kabut semakin pekat dan hawa spiritual semakin berat.

Di tempat ini, udara seolah mengandung arus samar Energi Pembantaian yang bertebaran bebas, sisa dari pertempuran para monster di masa lalu.

Liang Chen berhenti di tepi sebuah lembah kecil. Di dasar lembah, tampak seekor monster besar berkulit hitam kelam sedang tidur.

Bentuknya seperti buaya, tetapi memiliki sepasang tanduk di kepalanya dan duri-duri yang berkilat di sepanjang punggung. Nafasnya berat dan dalam, setiap hembusan menghasilkan getaran halus di udara.

Liang Chen berjongkok di tepi batu, memandangi makhluk itu dengan mata tajam. Ia tahu, makhluk itu adalah Buaya Tanah Berduri, salah satu predator yang mendominasi wilayah ini. Jika ia ceroboh, satu gerakan saja akan menarik perhatian monster itu dan mengakhiri pelatihannya dengan darah.

Namun inilah inti latihan. Guru Kui Xing mengajarkannya bahwa Jalan Asura bukan hanya soal kekuatan, tetapi tentang melihat. Melihat retakan, kelemahan, dan peluang yang tersembunyi di antara kegelapan.

Liang Chen memejamkan mata, membiarkan pikirannya tenggelam. Dalam kegelapan batinnya, ia mencoba memanggil sesuatu, perasaan samar yang pernah muncul saat melawan rasa sakit di bawah air terjun. Sebuah bisikan halus dari Energi Pembantaian di tubuhnya, bukan dorongan untuk membunuh, tetapi sensasi merasakan.

Saat ia membuka mata kembali, dunia di sekitarnya berubah. Warna-warna memudar, digantikan rona abu gelap dan merah samar. Di pandangannya, udara tampak beriak seperti permukaan air.

Garis-garis merah tipis melingkari tubuh monster di bawah sana, berdenyut perlahan seperti nadi. Liang Chen menatap lebih dalam, dan ia menyadari, setiap garis merah adalah titik kelemahan.

Hatinya berdebar. Ini adalah Mata Asura. Belum terbuka sepenuhnya, namun cukup untuk menyingkap bentuk energi yang tidak bisa dilihat manusia biasa.

Ia memusatkan pandangan pada dada Buaya Tanah Berduri itu. Di sana, garis merah tampak lebih tebal, berdenyut lebih cepat. Liang Chen tahu, itu adalah meridian utama yang menyalurkan energi ke duri-duri punggung monster. Jika meridian itu diputus, kekuatan bertahannya akan menurun drastis.

Namun mata itu juga memperlihatkan sesuatu yang membuat napasnya tercekat. Dari dalam tubuh monster, muncul pancaran samar berwarna ungu gelap, Energi Pembantaian murni.

Kental, pekat, dan menggoda. Ia bisa merasakannya bahkan dari kejauhan, seperti aroma daging panggang bagi seseorang yang kelaparan.

Liang Chen menggigit bibirnya lagi. Dorongan itu datang dengan cepat, seperti bisikan di telinga. “Ambil. Bunuh. Serap energinya.”

Nafasnya memburu. Dalam sekejap, tubuhnya dipenuhi panas yang naik dari dada. Ia hampir berdiri, hampir membiarkan Kesunyian Malam menebas udara. Tapi kemudian, dari dalam pikirannya, suara lain muncul, dalam, berat, dan menenangkan.

“Kau tidak akan menjadi dia,” suara itu seperti gema masa lalu, suara ayahnya, yang dulu menatapnya di bawah sinar senja di Desa Hijau. “Kau tidak akan membiarkan amarah memandumu.”

Liang Chen berlutut kembali. Energi Pembantaian yang hendak meledak mulai mereda, mengalir lembut di bawah kendalinya. Ia menutup mata, memaksa setiap bisikan untuk diam.

Dari kejauhan, suara langkah terdengar pelan. Liang Chen menoleh dan melihat sosok Guru Kui Xing berdiri di bawah bayangan pohon, jubahnya bergoyang ringan. Wajahnya tidak memperlihatkan emosi.

“Bagus,” katanya datar. “Kau mulai melihat. Namun hati-hati, Chen’er. Mata Asura bukan hanya melihat kelemahan musuh. Ia juga melihat kelemahanmu sendiri.”

Liang Chen menatapnya dengan napas berat. “Guru... apakah ini berarti aku, ”

“Belum,” potong Guru Kui Xing tenang. “Yang kau lihat barulah bayangannya. Jika kau tidak bisa menahan amarahmu, mata itu akan terbuka sepenuhnya, tapi bukan kau yang akan mengendalikannya.”

Liang Chen mengangguk. Ia tahu apa maksud gurunya. Ia tahu bahaya yang menunggu jika ia membiarkan Warisan Asura mengambil alih.

Guru Kui Xing berjalan mendekat, mengangkat tongkatnya, lalu menunjuk ke arah lembah. “Sekarang, lihat lebih dalam. Jangan hanya mencari daging, cari napas kehidupan. Setiap makhluk memiliki ritme kematian. Jika kau bisa merasakannya, kau bisa memotongnya kapan pun kau mau.”

Liang Chen menghela napas panjang. Ia menatap kembali ke arah monster yang tidur. Mata Asura di dalam dirinya bergetar lembut, menyesuaikan ritmenya dengan napas monster itu. Ia bisa merasakan denyut energi di udara, seolah alam sendiri membisikkan rahasia kematian.

Untuk pertama kalinya, ia merasa tenang di tengah bahaya.

Liang Chen melanjutkan langkahnya lebih dalam ke hutan terlarang. Kabut tebal menggantung rendah, menutupi akar-akar pohon raksasa dan menjebak udara menjadi lembab dan berat. Daun-daun bergemerisik seolah ada sesuatu yang mengintai

dari segala arah.

Setiap langkah terasa seperti menembus jantung seekor binatang yang sedang tertidur.

Ia tahu latihan kali ini berbeda dari semua sebelumnya. Di bawah air terjun, ia belajar menahan rasa sakit. Di lembah ini, ia belajar menahan dorongan untuk membunuh. Dua ujian yang sama-sama menyiksa, tapi dengan racun yang berbeda.

Suara langkah besar terdengar dari sisi timur. Liang Chen menunduk, memfokuskan pandangan ke arah suara. Dari balik semak, muncul seekor monster lain, seekor Beruang Batu dengan kulit kelabu tebal dan tangan sebesar perisai logam. Nafasnya panas, keluar bersama uap yang mengandung energi bumi.

Monster itu adalah pemangsa yang memerintah wilayah barat hutan. Sekali serangannya dapat menghancurkan batu besar. Liang Chen tahu, jika ia berhadapan langsung, bahkan Pondasi Besi miliknya akan retak.

Namun tugasnya bukan bertarung.

Ia harus mengamati.

Ia harus melihat.

Ia menempel di balik akar pohon besar, menahan napas. Dalam diam, ia memanggil kembali sensasi dari Mata Asura-nya. Dunia di depannya perlahan berubah warna, menjadi abu-abu redup dengan semburat merah menyala di tubuh monster itu.

Ada sepuluh titik merah yang bergerak berirama, saling terhubung seperti pola jaringan urat. Tapi satu di antara titik itu tampak berdenyut lebih cepat, tak beraturan. Liang Chen menatap lebih dalam dan tersadar, itulah meridian yang paling lemah. Tepat di bawah bahu kanan monster.

Ia menggeser posisi, mendekat perlahan.

Setiap langkah ia ambil dengan napas terukur, menyesuaikan dengan irama nafas monster itu. Ia sudah belajar dari pelajaran sebelumnya: setiap langkah yang tidak sinkron bisa mengundang bencana.

Namun di tengah keheningan, sesuatu di dalam dirinya bergerak.

Bisikan Asura datang kembali, lebih jelas, lebih menggoda.

“Ambil darahnya. Kau tahu rasanya, bukan? Kau butuh kekuatan itu.”

Liang Chen menegang. Dalam sekejap, punggungnya terasa panas, Energi Pembantaian melonjak liar dari dada. Ia berusaha menekannya, tapi bisikan itu seperti lidah api yang membelai telinganya.

“Lihat matanya. Ia tidak punya jiwa. Kau hanya akan membebaskannya. Bunuh.”

Tangan Liang Chen gemetar. Ia bisa merasakan jari-jarinya bergerak ke gagang Kesunyian Malam tanpa sadar.

Dalam kepalanya, dua suara berperang.

Satu, liar, haus darah, menjanjikan kekuatan tanpa

batas.

Satu lagi, dalam dan tenang, mengingatkan pada wajah ibunya, pada malam ketika ia berjanji akan hidup dan melindungi.

Ia menutup mata, menggigit lidahnya hingga darah mengalir di ujung bibir. Rasa logam itu menyadarkannya.

“Tidak,” bisiknya pelan. “Aku bukan budak amarah. Aku yang memilih kapan pedang ini akan bicara.”

Ia menarik Kesunyian Malam dengan gerakan halus. Bilah hitam itu bergetar samar, memantulkan cahaya kabut merah muda dari langit. Liang Chen menyalurkan Energi Pembantaian ke dalamnya, tetapi kali ini bukan dengan amarah.

Ia memusatkan energi itu di ujung bilah, membiarkannya menipis menjadi garis merah tipis, seperti benang yang siap memotong udara tanpa suara.

Langkahnya cepat.

Satu ayunan, hampir tanpa bunyi. Bilah itu menyentuh bahu kanan Beruang Batu tepat di titik lemah. Hanya sedikit luka yang terlihat di kulit monster, tapi Energi Pembantaian yang disalurkan Liang Chen menembus ke dalam, mengguncang meridian dari dalam tubuhnya.

Monster itu mengaum keras, tubuhnya bergetar. Tapi sebelum bisa berbalik, Liang Chen sudah mundur beberapa langkah, memadamkan auranya sepenuhnya. Ia bersembunyi kembali di balik akar, napasnya berat tapi stabil.

Monster itu mencari-cari sumber serangan, mengendus udara, lalu perlahan berjalan pergi dengan langkah berat.

Liang Chen tersenyum tipis.

Bukan senyum puas, tapi senyum lega, senyum seseorang yang berhasil menaklukkan dirinya sendiri.

Ia menatap Kesunyian Malam di tangannya. Bilahnya bergetar lembut, seolah kecewa karena tidak diberi darah. Liang Chen menatapnya lebih dalam dan berbisik, “Kau tidak akan menguasai aku. Aku yang akan mengajarimu kapan harus menebas.”

Beberapa saat kemudian, langkah ringan terdengar di belakangnya. Guru Kui Xing berdiri dengan tangan di belakang punggung, memandang muridnya dengan tatapan tajam.

“Bagus,” katanya datar. “Kau menemukan retakannya.”

Liang Chen menunduk hormat. “Titik lemah di bawah bahu kanan. Meridian penghubung utama. Sekali diserang, energi bumi mereka lumpuh separuh.”

Guru Kui Xing mengangguk kecil. “Kau belajar melihat. Itu awal yang baik.”

Ia melangkah mendekat, lalu berhenti di samping Liang Chen. “Namun ingat, Chen’er. Kelemahan bukan hanya milik musuh.

Kelemahan juga milikmu. Hari ini kau berhasil menahan dorongan membunuh, tapi suatu hari nanti, dorongan itu akan datang dalam bentuk yang tidak semudah ini ditolak.”

Liang Chen menatap gurunya. “Apakah maksud Guru, di luar sana?”

Guru Kui Xing menatap langit yang mulai gelap. “Di luar sana, musuhmu bukan monster. Mereka manusia. Dan manusia jauh lebih sulit dibaca dari binatang.”

Mata Liang Chen menyipit. Ia paham maksud kata-kata itu. Dunia luar bukan hanya tempat untuk melatih kekuatan, tapi tempat di mana moral dan nafsu bisa saling bertabrakan.

Ia menatap kembali ke arah hutan.

Kabut mulai menipis. Dari kejauhan, bayangan-bayangan monster lain bergerak perlahan, menandakan bahwa wilayah ini dipenuhi bahaya tanpa henti. Namun kali ini, Liang Chen merasa berbeda.

Ia tidak lagi melihat hutan sebagai tempat yang menakutkan.

Ia melihatnya sebagai medan pelajaran, tempat di mana ia bisa mengasah mata, tangan, dan hatinya.

Beberapa jam kemudian, Liang Chen kembali ke pondok. Tubuhnya penuh keringat, pakaiannya sobek di beberapa bagian, tapi langkahnya mantap. Ia menyerahkan catatan kecil yang berisi sketsa kasar anatomi monster, titik lemah, dan pola energi yang ia amati.

Guru Kui Xing menerima catatan itu, membacanya sekilas.

Senyum tipis muncul di sudut bibirnya. “Cukup baik untuk murid yang belum turun gunung.”

Liang Chen menunduk. “Aku belum sempurna, Guru. Mata Asura masih samar.”

Guru Kui Xing menatapnya tajam. “Dan itu justru baik. Mata Asura yang terbuka sepenuhnya akan menelan pemiliknya jika ia belum siap. Kau menjaga jarak dengan baik.”

Ia menutup catatan itu dan melangkah menuju batu meditasi. “Kau sudah mengasah mata pembunuhmu. Sekarang, saatnya mengasah tanganmu. Besok pagi, kita akan mulai mempelajari teknik pertamamu, Ilmu Pedang Pembantai Bintang.”

Liang Chen mengangkat kepalanya. “Ilmu Pedang Pembantai Bintang?”

Guru Kui Xing hanya menjawab singkat, “Ilmu yang diciptakan untuk menebas langit, bukan manusia.”

Kabut malam perlahan turun menutupi lembah. Liang Chen menatap Kesunyian Malam di tangannya, bilah hitam itu kini tampak lebih tenang, seolah ikut mendengar janji gurunya.

Dalam hati, ia berbisik pelan,

“Jalan ini bukan lagi jalan balas dendam semata. Ini jalan untuk menguasai diriku sendiri.”

Hening malam menjawabnya dengan desir angin dari puncak gunung, membawa hawa dingin dan aroma besi yang samar. Liang Chen memejamkan mata, merasakan napasnya menyatu dengan alam. Di balik kelam itu, semangat barunya mulai menyala, tenang namun tajam.

1
Nanik S
💪💪💪
Nanik S
Lanjutkan 👍👍👍
Nanik S
Hadir
Fairuz
semangat kak jangan lupa mampir yaa
Tiandi: terimakasih udah mampir kak
total 1 replies
[ZH_FELRIX]™√
semangat berkarya kaka 😄
[ZH_FELRIX]™√: iyah sama sama kaka baik 😄
total 2 replies
Tiandi
Halo semuanya. Saya berharap kalian tidak merasa bosan ketika membaca Dewa Pedang Asura. Bagi pembaca yang belum terbiasa dengan novel berdurasi panjang, jumlah kata setiap bab yang berkisar antara 1500–2500 mungkin terasa melelahkan, terutama karena alurnya bergerak dengan ritme yang cukup tenang. Namun, gaya penyajian tersebut memang mengikuti outline dan struktur arc cerita yang telah saya rancang sejak awal.

Jika ada yang bertanya apakah novel ini layak dibaca, jawabannya kembali pada selera masing-masing pembaca. Saya tidak bisa menyebut karya ini bagus bagi semua orang, karena setiap orang memiliki preferensi yang berbeda. Karena itu, saya menyarankan kalian untuk mencoba membaca beberapa bab terlebih dahulu, lalu tentukan sendiri apakah ingin melanjutkan atau tidak.

Jika kalian merasa ceritanya kurang sesuai dengan selera, saya sepenuhnya memahami. Namun jika kalian menikmati perjalanan cerita ini, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas dukungan kalian.

Sekian pesan dari saya.
Selamat membaca, dan semoga kalian menikmati perjalanannya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!