Kisah dewasa (mohon berhati-hati dalam membaca)
Areta dipaksa menjadi budak nafsu oleh mafia kejam dan dingin bernama Vincent untuk melunasi utang ayahnya yang menumpuk. Setelah sempat melarikan diri, Areta kembali tertangkap oleh Vincent, yang kemudian memaksanya menikah. Kehidupan pernikahan Areta jauh dari kata bahagia; ia harus menghadapi berbagai hinaan dan perlakuan buruk dari ibu serta adik Vincent.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Vincent menatap puas pada Areta yang terbaring lemas dengan mata penuh api kebencian, lalu berbalik dan keluar dari kamar menuju ruang kerjanya.
Punggungnya yang tegap menghilang di balik pintu kayu mahoni, meninggalkan Areta sendirian dalam kehancuran total.
Areta tidak bisa lagi menahan tangisnya. Ia menangisi ayahnya, nasibnya, dan kehinaan yang ia rasakan.
Setelah beberapa menit melampiaskan kesedihannya, kebencian kembali menguat, memberinya dorongan untuk bertindak.
Ia meraih bel di samping ranjang, menekan tombol itu berulang kali dengan marah.
Seorang pelayan wanita setengah baya, yang sudah terbiasa dengan drama di rumah itu, segera masuk dengan wajah waspada.
"Nyonya, ada yang bisa saya bantu?" tanya pelayan itu dengan sangat hati-hati.
"Aku butuh kamu bersihkan ruang tamu. Ruangan itu akan kugunakan untuk tidur," perintah Areta, suaranya parau namun tegas.
Pelayan itu membelalakkan matanya dan terkejut.
"Tapi Nyonya, Tuan Vincent..."
"Aku Nyonya di rumah ini yang sah. Lakukan apa yang kuperintahkan. Sekarang!" potong Areta tajam, menggunakan otoritas yang baru ia dapatkan dari insiden Clara.
"B-baik, Nyonya."
Areta bangkit dari ranjang, meskipun tubuhnya masih lemah dan limbung.
Ia tidak akan sudi tidur seranjang dengan pria yang bertanggung jawab atas kematian ayahnya dan atas penyiksaan yang ia alami.
Sekali lagi, ia mencoba melarikan diri, kali ini dari kenyataan, dengan cara menjauhkan diri secara fisik dari Vincent.
Dengan langkah tertatih, ia keluar dari kamar utama dan menuju ruang tamu di lantai bawah.
Di sana, di atas sofa beludru panjang yang dingin, ia merebahkan diri, menutup matanya.
Tempat tidur apa pun yang jauh dari Vincent akan terasa seperti surga.
Di ruang kerjanya Vincent sedang meninjau laporan keuangan ketika pintu diketuk pelan.
"Masuk," sahutnya dingin.
Pelayan yang tadi diperintah Areta masuk dengan tubuh gemetar.
"Maaf mengganggu Anda, Tuan Vincent. Saya hanya ingin memberitahukan kalau Nyonya Areta meminta saya membersihkan ruang tamu, katanya dia akan tidur di sana."
Wajah Vincent yang tenang langsung mengeras, rahangnya terkatup rapat. Matanya memancarkan api kemarahan.
"Keluar," desis Vincent, suaranya sangat rendah.
Tanpa membuang waktu sedetik pun, Vincent bangkit.
Ia meninggalkan berkas-berkasnya berserakan di atas meja dan melangkah cepat menuju ruang tamu.
Langkah kakinya yang berat dan penuh ancaman bergema di lantai marmer.
Ia menemukan Areta terbaring di sofa, matanya terpejam, wajahnya masih pucat.
"Areta!" raungnya.
Areta tersentak dan melihat Vincent berdiri di depannya, tubuhnya menjulang, memancarkan aura dominasi dan amarah yang mengerikan.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Vincent, suaranya tajam seperti pisau.
"Kamu istriku dan bukan tamuku!"
Areta memaksa dirinya duduk di atas sofa dan tidak bergeming sama sekali.
"Aku tidak sudi tidur di kamar itu! Aku tidak sudi tidur denganmu!"
Mata Vincent menyipit berbahaya. Tanpa peringatan, ia mendekat.
Ia meraih tubuh Areta, memanggulnya ke bahu, dan tanpa memedulikan rontaan lemah dari Areta, ia membawanya kembali ke lantai atas.
"Turunkan aku, Vincent! Aku bilang turunkan aku, PEMBUNUH!" teriak Areta, memukul punggungnya.
Vincent mengabaikannya dan saat tiba di kamar utama dan melempar Areta ke ranjang.
Mereka berdua saling pandang. Areta terengah-engah dalam kemarahan dan ketakutan, sementara Vincent menatapnya dengan pandangan dingin yang penuh tekad.
"Kamu tetap tidur di tempat ini. Di sampingku. Di bawah pengawasanku," putus Vincent dengan suaranya yang menggelegar.
Areta menggelengkan kepalanya keras-keras, air mata frustrasi mengalir lagi.
"Tidak! Aku tidak akan melakukannya!"
Vincent menghela napas, seolah kesabaran yang tersisa di dalam dirinya telah habis.
Ia mengambil sehelai kain sutra dari nakas, kemudian kain lainnya.
Dengan cepat dan tanpa ampun, ia mengikat pergelangan tangan Areta ke tiang ranjang lagi, lalu mengambil kain sutra tebal lainnya dan membungkam mulut Areta, mengikatnya erat di belakang kepala.
Areta membelalakkan matanya, menatap Vincent dengan ketakutan yang luar biasa.
Protesnya teredam menjadi gumaman yang tidak jelas.
Vincent kemudian melepas semua pakaiannya di hadapan Areta, satu per satu, tanpa sedikit pun rasa malu.
Sosoknya yang telanjang, berotot, dan dominan terasa semakin mengancam di mata Areta.
Ia naik ke atas ranjang, memposisikan dirinya di antara kedua kaki Areta yang lemah, lalu memasukkan 'senjatanya' ke mahkota Areta, tanpa pemanasan, tanpa belas kasihan, langsung menuntut.
"Mmmph!!"
Teriakan Areta teredam oleh ikatan sutra di mulutnya.
Rasa sakit yang membakar kembali menjalar, rasa sakit fisik bercampur rasa sakit emosional.
Ia tidak bisa bergerak, tidak bisa berteriak, dan tidak bisa melawan.
Vincent mencondongkan tubuhnya, menatap lurus ke mata Areta yang penuh air mata dan kebencian.
"Kamu akan hamil anakku, sayang," ucap Vincent, suaranya serak dan dipenuhi dominasi.
"Hamil anakku. Itu adalah satu-satunya cara bagiku untuk mengikatmu selamanya, dan satu-satunya cara bagimu untuk melahirkan warisanku. Kamu milikku. Hidup atau mati, kamu tidak akan pernah lari dariku."
Ia mulai bergerak, cepat dan brutal, mengklaim tubuh Areta yang kini terikat dan tak berdaya di bawahnya.
Penyiksaan berlanjut, didorong oleh amarah dan posesif yang tak terkendali.
Penyiksaan fisik itu berlangsung lama, didorong oleh amarah Vincent atas percobaan pelarian kedua Areta hari itu.
Setiap hentakan, setiap klaim, adalah penegasan kekuasaan mutlaknya.
Areta hanya bisa memejamkan mata, membiarkan air mata mengalir deras dari sudut matanya, berharap kesadaran meninggalkannya lagi.
Akhirnya, dengan erangan dominasi, Vincent mencapai klimaksnya.
Ia mengeluarkan benihnya dan menyiraminya ke dalam rahim Areta, memenuhi janjinya untuk mengikat gadis itu melalui keturunan.
Setelah tindakannya selesai, Vincent menarik diri, napasnya memburu.
Ia membiarkan tubuhnya yang berkeringat jatuh di samping Areta, menatap langit-langit dengan mata yang masih menyala.
Beberapa detik keheningan mencekam. Kemudian, Vincent meraih kain sutra yang menyumpal mulut Areta.
Dengan gerakan cepat dan tanpa peduli, ia melepaskan ikatan itu.
Areta segera menghirup napas dalam-dalam, paru-parunya serasa terbakar.
Ia terbatuk-batuk, berusaha mengatur napasnya yang pendek dan tercekat.
Tubuhnya lemas, berlumuran keringat, air mata, dan rasa jijik yang luar biasa.
Ia menoleh ke samping, menatap Vincent yang kini berbaring di sampingnya, dengan tatapan yang dipenuhi kebencian murni, kebencian yang melampaui rasa takut.
Dengan suara parau dan bergetar, Areta mengeluarkan kata-kata yang tersisa dari sisa kekuatannya.
"A-aku benci kamu," bisik Areta, kata-kata itu diucapkan dengan setiap serat kebencian yang ia rasakan.
"Aku benci kamu, Vincent. Pembunuh. Monster."
Vincent menoleh, pandangannya dingin dan tenang, seolah kata-kata itu tidak memengaruhinya sama sekali.
"Benci adalah energi, Areta. Gunakan itu. Tapi benci tidak akan membuatmu lari dariku," jawab Vincent datar, lalu mengulurkan tangan.
Ia meraih rambut Areta yang berserakan di bantal, menariknya pelan namun tegas, memaksa Areta menatap matanya.
"Kamu akan hamil anakku, sayang," ucap Vincent, suaranya serak dan dipenuhi dominasi.
"Hamil anakku. Itu adalah satu-satunya cara bagiku untuk mengikatmu selamanya, dan satu-satunya cara bagimu untuk melahirkan warisanku. Kamu milikku. Hidup atau mati, kamu tidak akan pernah lari dariku."
Vincent kemudian melepaskan sisa ikatan kain sutra di pergelangan tangan Areta.
Ia menarik selimut dan menutupi tubuh mereka berdua.
Tanpa mengatakan apa-apa lagi, ia membalikkan tubuh dan tertidur, meninggalkan Areta terbaring telanjang, kelelahan, dan terikat pada kenyataan pahit yang tak terhindarkan.
lanjut Thor💪😘