Nova Spire, seorang ahli medis dan racun jenius, tewas tragis dalam ledakan laboratorium saat mencoba menciptakan obat penyembuh paling ampuh di dunia. Tapi kematian bukan akhir baginya—melainkan awal dari kehidupan baru.
Ia terbangun dalam tubuh Kaira Frost, seorang gadis buta berusia 18 tahun yang baru saja meregang nyawa karena dibully di sekolahnya. Kaira bukan siapa-siapa, hanya istri muda dari seorang CEO dingin yang menikahinya demi tanggung jawab karena membuat Kaira buta.
Namun kini, Kaira bukan lagi gadis lemah yang bisa diinjak seenaknya. Dengan kecerdasan dan ilmu Nova yang mematikan, ia akan membuka mata, menguak kebusukan, dan menuntut balas. Dunia bisnis, sekolah elit, hingga keluarga suaminya yang penuh tipu daya—semua akan merasakan racun manis dari Kaira yang baru.
Karena ketika racun berubah menjadi senjata … tak ada yang bisa menebak siapa korban berikutnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kematian Lolyta
Malam itu, suasana di kediaman keluarga Hildegarde tampak tenang. Lampu-lampu redup di sepanjang lorong menyala hangat. Seorang pembantu muda berjalan pelan sambil membawa nampan berisi makanan.
“Maaf mengganggu, Nona Lolyta. Saya bawakan makan malam,” ucapnya lembut sambil mengetuk pelan pintu kamar sang nona.
Tidak ada sahutan.
Pembantu itu menelan ludah, lalu membuka pintu secara perlahan. Namun begitu pintu terbuka, tubuhnya membeku. Nampan di tangannya jatuh, piring dan gelas pecah menghantam lantai marmer.
“Aaaaahhh! Nona Lolyta!!” teriaknya histeris, membuat seluruh rumah geger.
Pelayan-pelayan lain segera berlari menuju sumber suara.
“Ada apa?!”
“Kenapa teriak ... Ya Tuhan!”
Beberapa pelayan menjerit bersamaan saat melihat tubuh Lolyta tergantung di langit-langit dengan mata terbuka dan tubuh sudah membiru. Gaun tidurnya melambai pelan tertiup angin dari jendela yang terbuka.
“Cepat! Panggil Nyonya!” teriak salah satu dari mereka.
Tak lama, suara langkah cepat dan gaun panjang terdengar menyapu lantai. Nyonya besar Hildegarde muncul dengan wajah khawatir.
“Apa yang terjadi? Kenapa ribut sekali?!”
Para pelayan hanya bisa menunduk, tidak sanggup membuka suara.
Nyonya Hildegarde mendorong tubuh mereka dan masuk ke kamar. Begitu pandangannya tertuju pada tubuh putrinya yang tergantung, dia menjerit nyaring.
“Lolyta!!”
Tubuhnya bergetar hebat. Air matanya langsung mengalir deras.
“Tidak … ini tidak mungkin … tidak mungkin!” Ia berlari mendekat, ingin meraih tubuh Lolyta, namun tubuhnya limbung.
Salah satu pelayan berusaha menopangnya. “Nyonya! Tenang! Jangan dekat-dekat!”
Namun Nyonya Hildegarde tidak sanggup berdiri. Pandangannya gelap, dan tubuhnya jatuh lemas ke lantai.
“Nyonya pingsan! Cepat panggil dokter!” salah satu pelayan berseru.
Kekacauan terjadi di seluruh rumah. Beberapa pelayan menangis, yang lain bergegas mengurus jenazah Lolyta dan menyiapkan bantuan untuk Nyonya Hildegarde.
Di tengah keheningan duka itu, suara samar seolah berbisik lembut di telinga mereka yang paling peka.
*****
Di sisi lain, malam itu langit Elyndor diselimuti bintang-bintang pucat yang mengintip dari balik awan tipis. Angin malam bertiup tenang menyentuh wajah Kaira yang duduk di balkon kamarnya.
Gaun tidur berwarna biru tua membalut tubuh mungilnya, rambutnya tergerai lembut tertiup angin. Tangan kanannya memegang cangkir teh hangat, sementara tangan kirinya meraba permukaan meja kecil di sebelahnya, mencari ponsel yang baru saja berdering.
Setelah menemukannya, Kaira segera mengangkat panggilan masuk itu. “Halo?”
Suara Deilin terdengar ringan namun mengandung sesuatu yang tak biasa. “Kai, kau sedang santai, kan?”
“Aku sedang menikmati teh di balkon. Ada apa?”
“Aku hanya ingin memberitahumu kabar… yang cukup menyenangkan.” Deilin terkekeh pelan sebelum melanjutkan, “Lolyta. Dia ditemukan gantung diri di kamarnya malam ini.”
Kaira terdiam sejenak. Senyuman tipis perlahan terukir di wajahnya. Ia menyesap tehnya pelan sebelum menjawab.
“Berarti racun itu bekerja dengan sangat baik.”
Nada suaranya datar, tapi penuh kepuasan.
“Pelan tapi pasti ... rasa takut, halusinasi, dan kegelisahan itu menggerogoti pikirannya. Dia memilih mengakhiri hidupnya sendiri.”
“Karma memang datang dalam bentuk yang cantik,” ujar Deilin santai. “Nova memang tidak pernah melepaskan mangsanya.”
Kaira menyunggingkan senyum kecil, menoleh seolah melihat bayangan di kegelapan.
“Bukan aku yang kejam. Mereka yang memulainya. Yang membunuh Kaira dulu, akan merasakan kematiannya sendiri ... satu per satu.”
“Kau tidak merasa bersalah, kan?” tanya Deilin, meski nadanya sudah tahu jawabannya.
“Tidak,” jawab Kaira tegas. “Aku hanya memastikan keadilan ditegakkan, dengan caraku.”
Terdengar tawa pelan dari Deilin. “Kalau begitu, kita tunggu siapa korban berikutnya.”
Kaira tersenyum tenang, lalu menyesap tehnya lagi. “Aku sudah tahu siapa.”
"Kalau begitu, aku akan menunggu kejutanmu lagi," kata Deilin semangat.
"Hmm, aku matikan dulu," sahut Kaira.
Tut!
Baru saja Kaira mematikan ponselnya setelah berbincang dengan Deilin, udara malam yang semula tenang berubah. Helaan angin terasa berbeda—membawa aroma asing yang tak biasa. Meskipun tak bisa melihat, insting Kaira tajam. Dia tahu, ada seseorang yang tengah mengawasinya dari dekat.
Tanpa ragu, Kaira meraba ke sisi kursinya dan menarik belati kecil yang selalu ia sembunyikan. Dalam satu gerakan cepat, ia melompat dan menyerang ke arah sumber suara.
Grep!
Srek!
Namun, serangannya tidak pernah sampai. Sebuah tangan besar dan hangat menangkap pergelangan tangannya dengan mudah.
“Tenang, ini aku,” ujar sebuah suara yang begitu familiar—hangat, lembut, dan ... terdengar tersenyum.
Kaira mengernyitkan keningnya. “Sky?” gumamnya.
“Ya,” jawab pria itu sembari tersenyum, meski ia tahu Kaira tak bisa melihatnya. “Tenang saja, aku hanya masuk lewat balkon. Kau terlalu sulit ditemui.”
Kaira langsung menarik tangannya dengan kesal. “Apa yang kau lakukan di sini? Tengah malam pula?”
Sky mengangkat bahu, walau Kaira tidak melihatnya. “Aku merindukanmu, Kaira. Atau ... Nova-ku.”
Kaira mendengkus, menyandarkan punggungnya ke dinding balkon. “Lucu. Saat aku masih menjadi Nova, kau bahkan tak menoleh padaku dan bersikap kaku.”
Sky terdiam sesaat, lalu menundukkan kepalanya. “Ya ... aku bodoh,” ujarnya lirih. “Dan kebodohan itu berubah menjadi penyesalan yang tak pernah habis.”
Kaira tak menjawab. Angin malam berdesir di antara mereka.
Sky melangkah mendekat, suaranya berat namun jujur. “Kali ini ... aku ingin berubah. Aku ingin menunjukkan padamu bahwa aku mencintaimu. Bukan hanya sebagai Kaira ... tapi juga sebagai Nova. Aku tak ingin menyesal lagi.”
Kaira terdiam cukup lama. Ia menggenggam belatinya erat, lalu perlahan meletakkannya kembali di tempat semula.
“Cinta itu mudah diucapkan, Sky. Tapi sulit untuk dibuktikan,” ujarnya pelan.
Sky mengangguk. “Maka beri aku waktu untuk membuktikannya.”
Mereka terdiam, hanya suara angin yang mengisi keheningan. Meski malam masih panjang, perasaan yang bergolak di hati mereka mulai menunjukkan jalan yang belum pernah mereka tempuh sebelumnya.
Setelah keheningan menyelimuti mereka beberapa saat, Kaira menarik napas pelan. Hatinya masih bergejolak, namun pikirannya tetap tenang. Ia lalu melangkah ke arah balkon dan berkata datar,
“Sudah malam, Sky. Kau sebaiknya pulang.”
Sky menoleh padanya, tatapannya tidak berubah. “Aku tidak ingin pulang,” ucapnya jujur. “Aku ingin tetap di sini, di dekatmu.”
Kaira menegang, lalu tertawa pelan namun dingin. “Kalau begitu, kau ingin mati?”
Sky mengerutkan dahi. “Apa maksudmu?”
Kaira melipat tangannya di depan dada. “Kalau kau tidak pergi sekarang juga, aku tidak segan-segan memberimu racun. Dan kali ini bukan racun halusinasi seperti Lolyta. Tapi racun yang benar-benar mematikan.”
Sky terdiam, memandangi gadis buta itu yang berdiri tegas di bawah cahaya bulan. Senyumnya perlahan muncul, bukan karena ucapan itu lucu—tapi karena Kaira tetap menjadi Nova yang ia kenal: tajam, keras kepala, dan penuh kewaspadaan.
“Aku akan pergi,” ucap Sky akhirnya, sembari mundur perlahan ke arah pagar balkon. “Tapi hanya untuk malam ini. Jangan terlalu berharap aku menyerah.”
Kaira mengangkat dagunya, tak gentar. “Jangan terlalu berharap kau bisa menang.”
Sky tersenyum kecil, kemudian dengan lincah melompat turun dari balkon dan menghilang dalam kegelapan malam.
Kaira hanya berdiri diam. Hatinya tetap kuat—tapi denyut nadi di pergelangan tangannya tak bisa berbohong. Sky ... memang masih punya pengaruh yang tak bisa ia abaikan.
seru bgt kl pnya mrtua ky emaknya mas langit,smbong pd tmptnya tp baik hti....
Ayo...ayo....bkin mreka kbkaran smp gila....🤣🤣🤣
klu sky pembinor kan !!!!
selalu suka kak thor dan ditunggu up serta karya selanjutnya 😍
segera resmikan kak thor, biar beneran jadi mama mertua tersayang /Facepalm/