NovelToon NovelToon
Kisah Nyata - Harga Sebuah Kesetiaan

Kisah Nyata - Harga Sebuah Kesetiaan

Status: sedang berlangsung
Genre:Menikah Karena Anak / Beda Usia / Kontras Takdir / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Sad ending / Janda
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

HARGA SEBUAH KESETIAAN
100% diambil dari kisah nyata
Dewanga hanya ingin diterima. Setelah ditolak berkali-kali karena miskin, ia menikahi Tini—janda delapan tahun lebih tua—dengan harapan menemukan pelabuhan. Yang ia dapat adalah badai tanpa henti. Enam tahun pernikahan menjadi neraka: bentakan setiap hari, hinaan di meja makan, ancaman diusir dari rumah yang bukan miliknya.
Ia terperangkap. Ingin pergi, tapi Aini—putri kecilnya—adalah satu-satunya cahaya dalam kegelapan. Ketika cinta berubah menjadi penjara, dan kesetiaan menjadi racun, Dewanga harus memilih: bertahan hingga hancur, atau berani menyelamatkan dirinya dan anaknya.
Sebuah kisah yang memilukan tentang cinta yang salah, kesetiaan yang keliru, dan keberanian untuk memilih hidup.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 24 alarm terakhir yang diabaikan

# Bab 24: Alarm Terakhir yang Diabaikan

Seminggu sebelum pernikahan, Dewanga memutuskan untuk mengunjungi rumah Tini tanpa memberi kabar terlebih dahulu. Ia ingin memberikan kejutan—membawa buah-buahan dan kue untuk calon mertuanya sebagai bentuk penghormatan.

Rumah Tini terletak di gang sempit perkampungan padat—rumah sederhana dengan tembok bata yang sudah mengelupas cat birunya. Pagar besi berkarat setengah terbuka. Halaman kecil dipenuhi pot-pot tanaman yang sudah layu tidak terurus.

Dewanga berdiri di depan pagar, mendengar suara dari dalam—suara keras, suara marah, suara yang membuatnya ragu untuk melangkah masuk.

"BAPAK ITU UDAH TUA! JANGAN IKUT CAMPUR URUSAN GUA SAMA ANAK GUA!"

Suara Tini. Keras. Penuh amarah.

Dewanga terdiam. Jantungnya berdegup cepat. Ia mengintip dari celah pagar—melihat Tini berdiri di ruang tamu dengan wajah merah, tangan menunjuk-nunjuk seorang pria tua yang duduk di kursi kayu dengan punggung membungkuk.

Bapak Tini. Usianya mungkin hampir delapan puluh tahun. Rambutnya putih, tubuhnya kurus kering, wajahnya penuh kerutan dalam. Ia duduk dengan kepala tertunduk—tidak melawan, hanya mendengarkan dengan wajah sedih.

"Tini... Bapak cuma bilang jangan kasar sama Eka. Dia anak kamu. Masih kecil. Kasihan dia..." Suara bapak itu lemah, bergetar—suara orang tua yang sudah tidak punya tenaga untuk bertengkar.

"KASIHAN?! EMANGNYA BAPAK YANG NGURUSNYA?! BAPAK YANG GENDONG DIA TIAP MALAM PAS DIA NANGIS?! BAPAK YANG CUCI BAJUNYA?! BAPAK CUMA DUDUK DOANG DI RUMAH INI, TERUS IKUT CAMPUR URUSAN GUA!"

Dewanga terpaku. Dadanya sesak.

"Tini... Bapak gak ikut campur... Bapak cuma... cuma gak tega liat kamu mukul Eka gara-gara dia cuma tumpah susu..." Bapak Tini mengusap matanya yang berkaca-kaca. "Kamu kayak nyiksa anak tiri aja, padahal dia anak kamu sendiri..."

"JANGAN BANDINGIN GUA SAMA ANAK TIRI! GUA YANG LAHIRIN DIA! GUA YANG BESARIN DIA! GUA YANG TAU CARA DIDIK DIA! BAPAK DIEM AJA SANA DI KAMAR! JANGAN BIKIN GUA MAKIN EMOSI!"

Bapak Tini berdiri perlahan—tubuhnya gemetar, tangannya memegang sandaran kursi untuk menjaga keseimbangan. Ia menatap anak perempuannya dengan mata penuh kepedihan.

"Maafin Bapak, Tin... Bapak cuma... cuma gak mau kamu jadi kayak gini terus... Kamu dulu anak yang baik... kenapa sekarang..."

"BAPAK MAU BILANG GUA JAHAT?! SILAKAN AJA! TAPI INGET—INI RUMAH GUA! WARISAN MAMA! BAPAK TINGGAL DI SINI JUGA KARENA GUA KASIH IJIN! JADI JANGAN CERAMAHIN GUA!"

Hening.

Bapak Tini tidak menjawab lagi. Ia hanya berbalik—berjalan gontai menuju kamarnya dengan punggung yang semakin membungkuk. Langkahnya lambat, berat, seperti orang yang sudah terlalu lelah hidup.

Pintu kamar tertutup pelan.

Tini berdiri sendirian di ruang tamu—napasnya masih memburu, wajahnya masih merah. Lalu ia duduk di kursi, menutup wajahnya dengan kedua tangan, menghela napas panjang.

Tidak ada penyesalan di sana. Hanya... kelelahan.

Dewanga mundur perlahan dari pagar. Tangannya gemetar. Kantong plastik berisi buah dan kue hampir jatuh.

Ia berdiri di pinggir gang, menatap kosong ke jalanan.

Kata-kata Tini bergema di kepalanya: *"Jangan ikut campur urusan gua!"* *"Ini rumah gua!"* *"Bapak diem aja!"*

Dan yang paling menyakitkan—cara ia berbicara pada ayahnya sendiri. Ayah yang sudah tua. Ayah yang sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Ayah yang hanya mencoba melindungi cucunya dari kemarahan yang tidak masuk akal.

Dewanga merasakan dadanya sesak. Ia teringat ayahnya sendiri—Pak Sentanu yang sakit keras tapi tidak pernah membentak, tidak pernah kasar, tidak pernah menyakiti siapa pun dengan kata-kata.

Ia teringat pesan terakhir ayahnya: *"Cari istri yang kayak ibumu. Istri yang sabar. Istri yang baik."*

Dan sekarang, ia melihat Tini—wanita yang akan ia nikahi—membentak ayahnya sendiri dengan kata-kata yang lebih tajam dari pisau.

"Aku... aku harus gimana?" bisik Dewanga parau.

Ia berdiri di sana—di tengah persimpangan antara kenyataan dan harapan palsu yang sudah ia bangun selama berbulan-bulan.

Pikirannya bergejolak.

*"Ini alarm terakhir. Ini tanda terakhir. Kalau aku tetep lanjut... aku yang bakal nyesel."*

Tapi di sisi lain, ada suara lain yang berbisik—suara keputusasaan yang sudah terlalu lama mengakar.

*"Tapi kalau aku batalin sekarang... aku bakal sendirian lagi. Aku bakal ditolak lagi. Aku bakal jadi orang yang gagal lagi."*

Dewanga menutup matanya. Menarik napas panjang.

Lalu ia membuka matanya—memutuskan untuk tidak masuk. Ia berbalik, berjalan pergi dengan langkah gontai, membawa buah dan kue yang tidak jadi ia serahkan.

Malam itu, ia pulang ke kamarnya.

Duduk di pinggir kasur tipis.

Menatap cincin murah di tangannya—cincin yang akan ia pakaikan pada Tini tiga hari lagi.

"Mungkin... mungkin dia cuma lagi stress. Mungkin dia lagi banyak pikiran. Mungkin setelah nikah, dia bakal berubah."

Ia berbisik pada diri sendiri—pembenaran demi pembenaran, alasan demi alasan.

Karena mengakui kenyataan berarti ia harus melepaskan satu-satunya harapan yang ia punya.

Dan ia tidak siap untuk itu.

Jadi malam itu, Dewanga memilih untuk mengabaikan alarm terakhir.

Ia memilih untuk menutup mata.

Ia memilih untuk tetap melangkah ke jurang yang sudah ia lihat dengan jelas.

Karena kadang, orang yang terlalu lelah ditolak akan memilih neraka yang pasti daripada kesepian yang tidak berkesudahan.

Dan tiga hari kemudian, Dewanga akan menikahi wanita yang baru saja ia lihat membentak ayahnya sendiri dengan kata-kata yang tidak akan pernah bisa ia lupakan.

**[Bab 24 Selesai - 1.000 kata]**

1
Chanikya Fathima Endrajat
umur adeknya 20, dewa 22, telah bekerja 5 th sejak umur 17. wkt dewa kls 9, adiknya msh SD. setidaknya selisih umur mereka 3 th.
Seroja_layu
Astagfirullah nyebut Bu Nyebut
Dri Andri: nyata nya gitu kak
total 1 replies
Chanikya Fathima Endrajat
umur dewangga membingungkan, ketika ingin melamar anis umurnya br 19th, ketika falshback 10th yll, dewa sdh kls 9 (SMP) tdk mungkin umurnya wkt itu 9th kan thor
Dri Andri: ya saya salah maaf yaa...
karena kisah nya kisah nyata jadi saking takut salah pada alur intinya
alur di minta sama
peran, tempat di minta di random
maaf ya
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!