NovelToon NovelToon
Bukan Salah Takdir

Bukan Salah Takdir

Status: sedang berlangsung
Genre:Psikopat / Anak Lelaki/Pria Miskin / Mengubah Takdir
Popularitas:418
Nilai: 5
Nama Author: MagerNulisCerita

Dua keluarga yang terlibat permusuhan karena kesalahpahaman mengungkap misteri dan rahasia besar didalamnya

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MagerNulisCerita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tabir Rahasia

Pagi itu, keluarga Wijaya kembali berkumpul di meja makan besar yang selalu menjadi saksi percakapan penting. Namun, di balik gelak tawa ringan antara Tiara dan Nathan, ada sesuatu yang terasa berbeda—seperti udara membawa bisikan yang tak terlihat.

Nathan, seperti biasa, menggoda adik bungsunya.

“Dek Tia, kamu itu kalau makan jangan sambil ngambek. Nanti rotinya ikut marah,” godanya.

“Yang marah itu aku, Kak! Gara-gara Kakak batal ikut ke Villa!” balas Tiara sambil cemberut.

Pak Wijaya baru saja duduk ketika ia melirik Hendra, putranya.

“Bagaimana perkembangan perusahaan, Dra? Dan hasil pertemuanmu kemarin dengan kolega dari Jerman?” tanyanya dengan nada tenang, tetapi penuh wibawa.

Hendra meletakkan sendoknya, lalu menatap ayahnya.

“Dari laporan Nathan, kita resmi memenangkan tender sepuluh triliun, Pah. Kita unggul dari Hutomo Group. Tapi Hendra khawatir kemenangan ini semakin memperbesar ketegangan mereka terhadap kita,” ujarnya hati-hati.

Pak Wijaya mengangguk pelan, menghela napas seolah menyimak sesuatu yang sudah lama ia ketahui.

“Semoga tidak ada masalah. Toh, kita tidak pernah merasa melakukan apa yang mereka tuduhkan.”

Ia menyesap teh hangatnya sebentar.

“Lalu bagaimana hasil pertemuan dengan pihak Jerman kemarin?”

Hendra segera menjawab, “Oh, kemarin pihak mereka menyetujui kerja sama kita. Hanya saja, mereka mengajukan syarat: izin untuk membangun resort di Bali. Jadi, aku, Nindi, dan Micha sepakat memberikan izin penggunaan tanah keluarga kita di Kutai, Bali, selama sepuluh tahun.”

Micha dan Anindita tersenyum kecil ketika Hendra menatap mereka, tanda semua keputusan itu dibuat bersama. Sementara Nathan dan Tiara masih sibuk dengan piring masing-masing, tidak begitu ambil pusing dunia orang dewasa.

Pak Wijaya kembali mengangguk puas. Aura bangga tersirat jelas dari raut wajahnya.

“Bagus. Papa senang kalian bisa mengelola semua ini dengan bijak.”

Suasana meja makan kembali tenang hingga Hendra memecah obrolan

“Dek, gimana hari pertama masuk kuliah? Seru?”

Tiara yang sedari tadi berfokus pada roti bakarnya langsung menegakkan tubuh.

“Ya begitu, Pah. Nggak ada yang istimewa, tapi Tia senang karena dapat teman baru satu jurusan. Namanya Naura. Oh iya, minggu ini Tia rencana minta izin ke Villa bareng dia. Kak Nathan awalnya bisa ikut, sekarang katanya nggak bisa…” Nada Tiara mendadak turun, muram.

Pak Wijaya tersenyum maklum.

“Papah setuju saja. Asal di sana kamu nggak macam-macam. Nanti kalau jadi, Mbok Dharmi dan Pak Yusuf ikut menemani kalian.”

“Baik, Pah. Tapi kalau Naura nggak bisa ikut, Tia tetap berangkat sama Mbok Dharmi dan Pak Yusuf,” gumam Tiara.

Pak Wijaya terkekeh.

“Kakek boleh ikut nggak, Dek Tia? Kakek kangen Villa.”

“Boleh… boleh banget, Kek! Semakin ramai semakin seru.”

Anindita menimpali dengan lembut, “Nanti Mama dan Papa nyusul kalau urusan Papa selesai.”

Micha ikut menambahkan, “Kakak juga bakal nyusul setelah rapat selesai.”

Nathan mendesah panjang.

“Duh, jadi nggak enak…”

“dih jidi nggik inik, alesan,” cibir Tiara, membuat semua tertawa kecil.

“Baiklah,” ujar Tiara sambil mengangguk mantap, “kalau semua bisa ikut, Tia siapin Villa semeriah mungkin.”

Sesi sarapan selesai. Para penghuni rumah kembali pada rutinitas masing-masing. Tiara kembali ke kamar, menonton drama Korea kesukaannya sambil menikmati suasana libur kuliah.

Tak lama kemudian, ponselnya berdering. Sebuah pesan WhatsApp masuk—dari Naura.

Dengan perasaan semangat yang perlahan luntur, Tiara membaca isinya. Naura mengabarkan bahwa ia tidak bisa ikut liburan karena harus menjaga ibunya di rumah. Asisten mereka sedang cuti seminggu, sehingga tak ada yang mengurus sang ibu.

Tiara menghela napas panjang.

Sedikit kecewa, tetapi ia memahami situasi sahabat barunya itu. Ia membalas pesan Naura dengan kalimat yang menenangkan, memastikan bahwa ia tidak keberatan.

Perjalanan menuju kantor keluarga Wijaya

Sunyi memenuhi mobil yang ditumpangi Hendra dan Anindita. Kota yang ramai melintas di balik kaca, namun pikiran keduanya melayang entah ke mana.

Di tengah keheningan itu, Anindita akhirnya bersuara.

“Pah, kemarin waktu meeting dengan kolega dari Jerman… telepon yang masuk itu dari siapa? Mama lihat raut wajah Papa serius sekali.”

Hendra menoleh singkat, lalu kembali fokus pada jalan.

“Itu telepon dari Andre. Dia bilang ada sedikit masalah di pabrik dekat Pelabuhan Merak. Tapi sudah aman, kok,” jawabnya datar.

Jawaban itu cukup, tapi sesuatu dalam cara Hendra bicara membuat Anindita ragu. Ada nada menahan, seperti ada hal yang sengaja tak ia ungkapkan. Namun ia memilih mengabaikan firasatnya.

“Oh… syukurlah kalau begitu,” ucapnya pelan.

Hendra tersenyum tipis, menyembunyikan beban yang belum siap ia bagi. Telepon itu bukan soal pabrik—melainkan perkembangan penyelidikan rahasia tentang insiden tujuh belas tahun lalu yang menimpa putra keluarga Hutomo.

Di Rumah Keluarga Wijaya

Tiara sibuk mondar-mandir menyiapkan perlengkapan liburan. Bu Dharmi dan Pak Yusuf membantunya mengumpulkan barang-barang ke ruang depan.

“Mbok Dharmi, perlengkapan barbeque nya sudah dibawa semua ke mobil?” tanya Tiara.

“Sudah, Non. Tinggal daging dan sayurannya yang belum siap,” jawab Mbok Dharmi.

“Oh nanti kita sekalian mampir ke supermarket, ya Mbok.”

Semua perlengkapan siap. Rombongan kecil itu bersiap berangkat menuju Villa keluarga di Bogor.

Di Rumah Keluarga Hutomo

sementara itu, suasana rumah keluarga Hutomo jauh berbeda. Tidak ada gelak tawa atau persiapan liburan—hanya kesedihan yang tak kunjung pulih.

Naura sedang menemani ibunya, Melissa, di kamar almarhum kakaknya, Arnold. Mainan mobil-mobilan kecil masih rapi tersusun, namun aura duka pekat masih terasa.

Melissa mengambil salah satu mobil kecil itu, lalu menatapnya gemetar.

“Arnold… Nak, ini mobil-mobilan yang kamu suka. Bunda sudah bersihin. Atau Arnold mau bunda beliin yang baru? Arnold… sini nak… Bunda kangen…” suaranya pecah, berubah menjadi teriakan yang menyayat.

Naura spontan memeluk ibunya.

“Bunda, jangan begini… Naura nggak suka lihat Bunda seperti ini. Naura juga butuh Bunda. Bunda harus sehat, ya,” ucapnya sambil menangis.

Naura mengambil piring kecil.

“Sekarang Bunda makan dulu, ya. Habis itu minum obat.”

Namun Melissa tiba-tiba menatap Naura dengan pandangan kosong.

“Kamu siapa? Kenapa kamu menangis? Kamu tahu Arnold? Kamu tahu di mana Arnold? Cepat bilang sama Bunda!”

Pertanyaan bertubi-tubi itu membuat dada Naura sesak.

Ia menahan tangis, lalu berbohong demi kebaikan sang bunda.

“Iya, Bunda… Naura tahu. Tapi Bunda makan dulu, minum obat dulu. Nanti Naura kasih tahu di mana Arnold.”

Melissa berhenti menangis seketika.

“Janji ya?” katanya sambil terisak.

“Iya, Bunda. Naura janji.”

Melissa akhirnya makan dan minum obat, lalu perlahan tertidur. Naura menarik selimut ibunya, merapikan kamar yang berantakan.

Beberapa menit kemudian, pintu kamar terbuka. Marvino, kakak Naura, masuk dengan wajah letih.

“Gimana, Dek? Bunda sudah minum obat?” tanyanya.

“Sudah, Kak. Baru saja istirahat,” jawab Naura.

Marvino menghela napas lega, lalu duduk di kursi sambil meneguk air minum.

Naura menatap kakaknya, ragu-ragu sebelum akhirnya bertanya,

“Kak, aku mau tanya… tapi jawab jujur, ya?”

Marvino menatap adiknya, mencoba memahami kegelisahan itu.

“Boleh. Apa yang mengganggumu?”

Naura memainkan jemarinya sebelum akhirnya bertanya dengan suara pelan namun tegas.

“Ini soal keluarga kita, Kak. Apa yang sebenarnya terjadi sama Kak Arnold? Kenapa Bunda jadi seperti ini? Dan kenapa keluarga kita begitu membenci keluarga Wijaya?”

Pertanyaan itu membuat Marvino terdiam seketika. Dadanya mengencang—pertanyaan yang ia harap tidak akan muncul dulu.

“Dari mana kamu tahu soal itu?” tanyanya akhirnya.

“Aku dengar kemarin… Ayah bicara sama Kakek. Jadi tolong, Kak… jelaskan semuanya.”

Marvino menarik napas panjang.

Sudah saatnya kebenaran diketahui.

“Baik. Kakak ceritakan dari awal.”

Ia menatap lantai, mencoba mengingat peristiwa kelam itu.

“Ketika itu, 17 tahun lalu, Kak Arnold baru saja pulang dari liburan ke Jakarta. Kamu baru lahir, dan keluarga besar masih di Jakarta karena kakek dan ayah ada rapat. Tapi Kak Arnold dan Nenek pulang duluan ke Yogyakarta bersama supir dan satu bodyguard.”

Naura mengangguk pelan, menyimak.

“Di tengah perjalanan, mobil mereka mengalami rem blong dan menabrak pembatas jalan. Semua penumpang meninggal… termasuk Kak Arnold dan Nenek.”

Naura menunduk, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang.

“Beberapa hari kemudian, pihak berwajib menangkap seseorang. Ia mengaku sebagai pelaku sabotase. Tapi sebelum sempat diadili, dia bunuh diri. Dia meninggalkan sepucuk surat… mengatakan bahwa ia disuruh oleh pihak Wijaya.”

Suasana kamar seketika terasa mencekam.

“Sejak itu, Ayah dan Kakek benar-benar murka. Mereka percaya keluarga Wijaya terlibat. Tapi… keluarga Wijaya sendiri tidak pernah mengakui.”

Marvino menghela napas berat.

“Tapi setelah kakak dewasa… kakak mulai merasa banyak kejanggalan dalam kasus itu. Bukti-buktinya lemah, bahkan beberapa seperti dibuat-buat.”

Naura menatap kakaknya dengan mata basah.

“Kalau mendengar ceritanya seperti itu… memang ada yang janggal, Kak. Seperti ada yang memanfaatkan keadaan.”

“Ya,” jawab Marvino, suaranya menurun. “Kakak juga berpikir begitu. Kakak khawatir ada pihak lain yang punya tujuan tertentu. Mungkin mereka ingin memecah keluarga Hutomo dan Wijaya.”

Naura menatap Marvino dalam-dalam.

“Lalu… sekarang?”

“Kakak sedang menyelidikinya,” jawab Marvino lirih. “Dengan sangat hati-hati. Kita tidak tahu siapa musuh sebenarnya.”

Naura terdiam.

Dunia yang selama ini ia kenal mendadak terasa lebih gelap daripada yang ia bayangkan.

1
bebekkecap
😍
bebekkecap
next kak, gasabar pas semuanya kebongkar🤣
AuthorMager: Sabar kak, masih lama...hhehhe
total 1 replies
AuthorMager
Bismillah, semoga banyak pembaca yang berminat. Aamiin
AuthorMager
Selamat menikmati alur cerita yang penuh plotwist
bebekkecap
seru banget kak, lanjut kak
AuthorMager: siap kak, bantu like and share ya kak🤭
total 1 replies
bebekkecap
makin seru aja ini kak ceritanya, sayang kok bisa cerita sebagus ini penikmatnya kurang👍💪
AuthorMager: Aduh makasih kak, bantu share ya kak🙏
total 1 replies
bebekkecap
Bahasa rapi dan terstruktur secara jelas
AuthorMager: duh, jadi terharu. makasih kak
total 1 replies
bebekkecap
Bahasa rapi dan terstruktur secara jelas
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!