Kisah tentang para remaja yang membawa luka masing-masing.
Mereka bergerak dan berubah seperti bola kuning, bisa menjadi hijau, menuju kebaikan, atau merah, menuju arah yang lebih gelap.
Mungkin inilah perjalanan mencari jati diri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Paffpel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Arpa mengusap-usap matanya dan menaikkan kepalanya. “Sekarang… bukan waktunya gua nangis, gua harus jadi lebih kuat,” Arpa lanjut jalan, tapi pelan dan bahunya turun.
Di tengah jalannya yang pelan itu, Arpa dari kejauhan melihat Kela, Susi, Talita dan Mutia.
Talita sering bareng Kela dan Susi. Sedangkan Mutia, dia itu temen masa kecil Talita, mereka semua satu kelas, bareng Arpa, Juan dan Rian juga, dan Mutia, dia itu ketua kelas mereka.
Badan Arpa tersentak kecil dan bahunya naik refleks. “Ke-kela?” langkahnya mundur setengah, otomatis.
Arpa ngelangkah maju kecil, tangannya mengepal. “Enggak, gua harus maju, gua harus jadi lebih kuat.”
Arpa ngelangkah lebih cepat dan badannya tegak. Mereka pun berpapasan. Kela ngelirik Arpa. “Loh, bukannya ini si parasit kesepian?”
Mereka semua ikut ngelirik Arpa. Talita nunjuk-nunjuk Arpa. “Mut, liat tuh, ada parasit kesepian, hahaha,” Talita ketawa sambil nyenggol pelan Mutia.
Kela dan Susi ketawa. Mutia ikut ketawa, tapi ketawanya kaku. “Heh… hehe… “ dia ngelirik Arpa yang lagi di ketawain.
Terus Mutia ngelirik Talita yang lagi ketawa lumayan keras. Tatapannya kosong, dan tiba-tiba, kenangan itu muncul.
Mutia dan Talita, mereka udah sahabatan dari kecil, awalnya mereka anak yang baik, penyayang, dan suka menolong, mereka selalu memasang senyum polos dan hangat.
Tapi semuanya berubah saat mereka naik ke SMP. Talita ketemu Kela dan Susi, pelan-pelan dia tertarik sama mereka berdua, Talita pun jadi lebih sering bareng Kela dan Susi, perlahan-lahan persahabatan mereka retak, mereka jarang ketemu, jarang senyum bareng dan udah jarang nolongin orang lain bareng-bareng lagi.
Mereka jalan di dua jalan yang berbeda, mereka udah enggak di satu jalan yang sama lagi, Tapi Mutia, dia enggak mau kehilangan Talita, walaupun Talita menjauh darinya, tapi Mutia terus mengejarnya. Karena bagi Mutia, Talita sangat berharga.
Tiba-tiba Talita nyenggol Mutia. “Oi, Mut, kenapa bengong?” tanya Talita ke Mutia.
Mutia tersentak sedikit. “E-eh, enggak Lit, tadi kepikiran, kayaknya kucingku belum makan, aku pulang dulu ya, Lit, kalian lanjut jalan-jalan aja,” Mutia ngegaruk kepalanya.
Kela dan Susi ngelirik Mutia. Talita memiringkan kepalanya, terus ngangguk. “Ya udah, Mut,” mereka ngeliat Arpa lagi. Tapi ternyata Arpa udah enggak ada.
Arpa udah lari sekenceng-kencengnya, tapi kali ini dia tersenyum lebar. “Gua tau, sekarang gua tau harus apa, kalau gua ngebales hinaan mereka, mereka bakal semakin parah ngehina gua, berarti gua tinggal diam aja dan ga usah pikirin kan? Hehe.”
Arpa sampai di rumah, dia ngos-ngosan tapi nyengirnya belum hilang. Dia ngangkat tangannya sambil mengepalkannya.
Arpa masuk ke rumahnya. Dan malam pun terlewati seperti biasanya.
Keesokan paginya. Arpa berangkat sekolah bangun lebih pagi dan tepat waktu. Dia ketemu Juan di jalan, mereka berdua ngobrol sampai ke gerbang sekolah.
Mata pak Budi merem-melek dan kepalanya sering jatuh-bangun. “Pak! ngantuk nih?” kata Arpa dengan nada lumayan keras.
Pak budi tersentak dan badannya langsung tegak lagi. “Aduh, iya nih, bosen saya.”
Arpa senyum kecil terus lanjut jalan ke kelas. Baru aja Arpa ngebuka pintu kelas. Tiba-tiba semua temen sekelasnya berteriak secara bersamaan sambil ketawa-ketawa. “Parasit kesepian! Parasit kesepian! Parasit kesepian! Hahaha!”
Badan Arpa santai dan dia ngelirik Kela yang lagi senyum miring ke arahnya. Arpa udah tau kalau hal-hal kaya gini bakal ada, dia tenang sambil masang muka datar. Dia jalan ke kursinya dengan badan yang tegak.
Setelah Arpa duduk. Perlahan-lahan teriakan itu berhenti. Arpa natap jendela sambil memasukkan tangannya ke kantong.
Kelas menjadi hening seketika. Kela menatap Arpa. Matanya menyipit sedikit dan bibirnya mengencang tipis. Dia langsung memalingkan pandangan.
Mutia melirik Arpa diam-diam. Alisnya naik sedikit dan bibirnya terbuka tipis. Matanya berbinar. “Wow… kamu pasti bisa, Arpa,” gumamnya pelan.
Enggak lama setelah itu, guru pun datang. Pelajaran jalan kaya biasanya, siswa-siswi masih kebosanan dengan pelajaran.
Jam istirahat pun datang. Bel berbunyi dan siswa-siswi langsung ke kantin.
Juan nyenggol Arpa. “Rap, jalan-jalan keliling sekolah, yuk,” Juan langsung berdiri.
Arpa ngangguk dan langsung berdiri juga, mereka berdua pun keliling sekolah tanpa tujuan.
Juan nepuk pelan punggung Arpa. “Rap, gila keren juga lu tadi pas baru masuk kelas, mode cuek tuh? Haha,” Juan nyengir.
Arpa tiba-tiba diam di depan tempat duduk yang ada di sekeliling sekolah. “Haha, bisa aja lu Jun, tapi kayaknya gua bakal gitu terus kalau di sekolah, Jun, Kela enggak bakal nyerah gitu aja, jadi menurut gua diam itu pilihan terbaik, Jun,” Arpa duduk di tempat duduk itu.
“Dan gua juga enggak mau lu sama si Yan kena dampaknya lagi, Jun,” kata Arpa di dalam hatinya.
Juan ikut duduk. “Tapi gimana kalau lu nanti jadi batu, Rap?” Juan natap Arpa.
Arpa memiringkan kepalanya dan mulutnya terbuka sedikit. “hah? Batu?”
“Iya, Rap, batu emang keras dan kuat, tapi enggak bisa ngapa-ngapain, gua takut lu jadi kaya gitu, Rap,” Juan sedikit menundukkan kepalanya.
Arpa senyum sambil megang bahu Juan. “Tenang, Jun, kan ada lu sama si Yan.” Arpa nyenggol pelan Juan.
Alis Juan terangkat sedikit terus dia tersenyum lebar. “Tenang, Rap, gua sama si Yan bakal selalu ada buat lu, ya walaupun si Yan masih di skorsing, haha,” Juan ngerangkul Arpa.
Sedangkan Kela, dia lagi diam dan fokus mikir di kelas. Dia tiba-tiba berdiri. “Sus, Lit, ayo ke kantin,” dia langsung jalan.
Susi berdiri dan nyusul Kela. Talita berdiri dan ngelirik Mutia. “Mut, lu ikut enggak?”
Pandangan Mutia ke atas dan natap Talita. “Eh, aku… ya udah deh, aku ikut.”
Di kantin mereka mesen makanan yang biasanya mereka pesen, mereka duduk di kursi kantin.
Ujung bibir Kela terangkat sebelah dan matanya menyipit. “Gua punya rencana,” dagunya naik sedikit.
Mereka bertiga ngelirik Kela. “Apaan?” tanya Susi.
“gimana kalau kita serang orang yang paling deket sama Arpa? Juan gitu? Atau Rian? Gua enggak tau kenapa tapi rasanya Rian makin nempel sama Arpa, kita serang aja mereka berdua, biar si Arpa makin hancur,” Kela menyilangkan tangannya dan senyum tipis.
Susi dan Talita ngangguk pelan sambil senyum miring.
Sedangkan Mutia, matanya melebar sebentar, lalu cepat mengerut khawatir.
Susi memiringkan kepalanya sambil megang dagu. “Tapi gimana caranya, Kel?” tanya Susi ke Kela.
Kela natap Susi. “Gampang aja, nanti gua kasih tau.”
Pandangan Mutia terus berpindah-pindah, dan tangannya enggak mau diam, dia meremas jari-jarinya dan mainin ujung bajunya. Bahunya tegang. “mereka… bakal ngapain ya?” kata Mutia di dalam hatinya.
Apa yang akan dilakukan Kela nanti? Apakah rencananya bisa ngebuat persahabatan Arpa, Juan dan Rian retak lagi? Atau… mungkin semakin erat?