Ardina Larasati, sosok gadis cantik yang menjadi kembang desa di kampung Pesisir. Kecantikannya membuat seorang Regi Sunandar yang merupakan anak pengepul ikan di kampung itu jatuh hati dengannya.
Pada suatu hari mereka berdua menjalin cinta hingga kebablasan, Ardina hamil, namun bukannya tanggung jawab Regi malah kabur ke kota.
Hingga pada akhirnya sahabat kecil Ardina yang bernama Hakim menawarkan diri untuk menikahi dan menerima Ardina apa adanya.
Pernikahan mereka berlangsung hingga 9 tahun, namun di usia yang terbilang cukup lama Hakim berkhianat, dan memutuskan untuk pergi dari kehidupan Ardina, dan hal itu benar-benar membuat Ardina mengalami gangguan mental, hingga membuat sang anak yang waktu itu berusia 12 tahun harus merawat dirinya yang setiap hari nyaris bertindak di luar kendali.
Mampukah anak sekecil Dona menjaga dan merawat ibunya?
Nantikan kelanjutan kisahnya hanya di Manga Toon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayumarhumah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Malam mulai merangkak naik, setelah kepergian Pak RT dan perangkat desa lainnya, Dona tidak bisa tidur dengan nyenyak, di depan kamar ibunya gadis kecil itu merentangkan tubuh diatas alas tikar yang tipis dan sudah lusuh, kata-kata dari Pak RT tadi seolah masih menjadi pengingatnya.
"Besok Ibu sudah gak ada terus aku ..." kata-kata itu menggantung, seolah separuh nyawanya akan pergi untuk selamanya.
Suasana malam semakin sunyi angin laut berhembus begitu kencang, menusuk ke tulang, Dona sudah mencoba untuk memejamkan matanya, tapi tidak bisa, harinya terlalu takut, takut jika hari esok tiba sang ibu sudah tidak ada lagi di dekatnya seperti ini.
"Dona hanya tidak mau Ibu pergi," ucap anak itu dengan tatapan nanar.
Ia memeluk lutut, menatap pintu kamar ibunya yang sedikit terbuka. Dari celah itu, ia bisa melihat sekilas tubuh ibunya.ringkih, lemah, meringkuk seperti seseorang yang mencoba melindungi diri dari dunia yang terlalu keras untuk ditanggung.
"Bu, jika besok pagi Ibu benar di bawa Pergi Dona dengan siapa Buk, Dona sudah tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini kecuali Ibu," ungkapnya.
Entah berapa lama ia termenung dan menatap sang Ibu hingga matanya terlelap dengan sendirinya.
☘️☘️☘️☘️
Ketika ayam jantan pertama kali berkokok, Dona terbangun. Matanya sembab, akibat nangis semalam rambutnya kusut, tubuh mungilnya gemetar oleh udara pagi yang dingin. Cahaya matahari merayap perlahan melalui celah dinding, menimpa wajahnya yang pucat.
Tiba-tiba terdengar suara motor berhenti di depan rumah.
Dona terlonjak kaget detak jantungnya berpacu lebih cepat, ia berdiri menatap pintu kamar ibunya dengan tatapan panik, seolah tidak ingin jika hari ini terjadi, dan ternyata benar hari ini beneran datang, ia menggigit bibirnya kuat.
"Tidak." matanya terbelalak seolah tidak mau membukakan pintu untuk mereka.
Langkah kaki-langkah kaki itu semakin dekat. Ada suara Pak RT, juga suara perempuan dari puskesmas yang terdengar lembut namun tegas.
“Dona… Nak, Ibu datang ya,” suara Bidan Mira terdengar dari luar.
Tubuh Dona langsung serasa kehilangan kekuatan. Tapi ia berusaha tegak, berusaha menjadi perisai terakhir untuk ibunya.
Ia membuka pintu kamar ibunya. Wanita itu masih tidur meringkuk, rambut acak, tangan masih terikat longgar demi mencegahnya mencakar dirinya sendiri. Napasnya berat, wajahnya kotor oleh debu lantai.
Dona meraih tubuh ibunya, memeluknya erat.
“Ibu… Ibu bangun… mereka datang…” suaranya pecah, bergetar.
Ibunya menggeliat, membuka mata dengan tatapan kosong, tatapan yang seolah tidak mengenali siapa pun, bahkan anaknya sendiri.
Dona menggenggam ujung bajunya. “Bu, jangan pergi… jangan tinggalkan Dona… jangan, Bu…”
Suara langkah-langkah itu kini masuk ke dalam rumah.
Bidan Maria berlutut, mengusap kepala Dona.
“Nak… kita cuma mau bantu Ibumu. Ibumu harus dirawat… supaya nanti bisa pulang dalam keadaan lebih baik…”
Tapi bagi seorang anak yang hanya punya satu orang dalam hidupnya, kata-kata itu tak lebih dari gelegar petir di dada.
“Tidak!” tangis Dona pecah, keras, patah-patah. “Jangan bawa Ibu! Dona janji akan jaga Ibu… Dona janji nggak akan nakal… Dona janji semua… asal Ibu jangan diambil…”
Pak RT menahan napas, beberapa warga ikut menunduk pemandangan itu terlalu menyayat.
Bidan Maria memberikan isyarat kepada petugas. Mereka perlahan mengangkat tubuh sang ibu. Perempuan itu memberontak lemah, meracau, menangis, berteriak tanpa arah. Dan teriakan itu, bagi Dona, terdengar seperti suara jiwa yang direnggut secara paksa.
Dona memeluk pinggang ibunya, berusaha menahan, tapi tubuh mungilnya mudah sekali digeser.
“IBUUU!!!” jeritnya melengking, membuat semua orang terdiam beberapa detik.
Tangan kecil itu masih meraih apa pun yang bisa digenggam, ujung baju ibunya, lengan ibunya, bahkan udara seakan-akan jika ia cukup kuat, cukup keras menangis, dunia akan mengembalikan kebahagiaannya.
Namun pagi itu tetap berjalan tanpa belas kasihan. Petugas mendorong ibunya ke mobil puskesmas. Pintu mobil ditutup. Mesin menyala.
Dona terpaku, kedua lututnya goyah, sebelum akhirnya ia jatuh berlutut di tanah basah.Air matanya tak berhenti. Napasnya terisak, pecah berkali-kali.
“Bu… jangan tinggalin Dona…”
Mobil itu perlahan menjauh di jalan tanah desa.Hingga akhirnya hanya kepulan debu yang tertinggal.
Dan di depan rumah reyot itu, seorang anak kecil berdiri… memeluk dirinya sendiri… seolah berusaha mengganti hangat yang baru saja direnggut dari pelukannya.
"Ibuuuu... Dona sudah tidak punya siapa-siapa lagi tapi kenapa sekarang harus Ibu yang pergi, Dona ikut Bu ...!" teriak anak itu.
Pak RT mulai menyadarkan Dona tapi anak itu masih tetap menangis, hingga semuanya satu persatu meninggalkan rumahnya, terdengar sayup-sayup para tetangga mulai membicarakan tentang Juragan Kardi yang sudah tidak menjadi rahasia lagi.
"Pak RT, datangi saja rumah Juragan Halik, si Dona ini kan cucunya," ucap seorang warga kampung Pesisir.
Pak RT menghempaskan nafas berat. "Tidak bisa seperti itu Bu Minten, dari dulu Juragan Halik memang tidak menginginkan posisi Dona, seharusnya yang lebih kuat itu Regan, hanya saja pria itu terlalu pengecut berlindung di dalam kekuasaan sang ayah."
"Tapi kalau sudah seperti ini kasihan juga anak ini," sahut Bu Minten.
"Jika Dona ada di sana anak itu akan tambah tertekan,karena keluarga ayahnya tidak menginginkan," ujar Pak RT.
Kata-kata itu sampai sekarang masih mengiang di pikirannya, kata-kata yang sakit dan menusuk hati Dona, ia tahu semuanya, tentang masa lalu ibunya dari orang-orang kampung, bahkan ia juga tahu keluarga ayah kandungnya itu, tapi tiap kali Dona melihat rumah paling megah itu rasanya ingin menelan ludahnya sendiri, bahkan ia tidak pernah bertemu wajah seseorang yang membuatnya ada di dunia ini.
"Benar kata Pak RT ayahku terlalu pengecut dia membiarkan aku dirawat oleh ayah Hakim yang akhirnya meninggalkan Ibu dan aku juga," ucapnya sambil memeluk tubuhnya sendiri.
Anak kecil itu terduduk di lantai, matanya sembab, sambil menatap ruangan sang Ibu, yang saat ini kosong hanya tertinggal bekas rantai dan juga bau pesing yang menyengat.
"Bu ... semoga Ibu cepat sembuh ya, aku rindu Ibu," ucap anak itu dengan tatapan nanar.
Bersambung. ....
semangat Regi pasti bisa menjalaninya