NovelToon NovelToon
Lantai Tujuh Tidak Pernah Ada

Lantai Tujuh Tidak Pernah Ada

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri
Popularitas:364
Nilai: 5
Nama Author: Siti Nuraida

SMA Adhirana dikenal sebagai sekolah elit dengan reputasi sempurna — tapi di balik tembok megahnya, beredar satu rumor yang gak pernah dibahas secara terbuka: “Lantai Tujuh.”

Katanya, gedung utama sekolah itu cuma punya enam lantai. Tapi beberapa siswa bersumpah pernah menekan tombol “7” di lift... dan tiba di lantai yang tidak tercatat di denah mana pun.

Lantai itu selalu berubah-ubah. Kadang berupa ruang kelas kosong dengan bau darah, kadang koridor panjang penuh loker berkarat. Tapi yang pasti — siapa pun yang masuk ke lantai tujuh selalu kembali dengan ingatan yang terpotong, atau malah tidak kembali sama sekali.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Nuraida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 4 — Jam 11:11

Waktu merangkak pelan, setiap detik terasa tebal dan dingin seperti tetesan air hujan. Reina tidak bisa fokus pada pelajaran setelah pertemuannya dengan Daren. Pikirannya melayang-layang di antara tiga kata kunci: Aksa, dosa, dan 11:11.

Ia melirik ke jam dinding di kelasnya. Pukul 10:55. Hanya tersisa enam belas menit.

Zio, yang duduk di bangku belakang, menatap Reina dengan ekspresi yang campur aduk antara kegembiraan jurnalistik dan ketakutan naluriah. Ia menangkap pesan Reina, dan tahu ini adalah titik balik.

Begitu bel jam istirahat kedua berbunyi, menandakan jam terakhir sebelum pulang, Reina dan Zio langsung bergerak. Mereka tidak bisa menunggu sampai sekolah benar-benar sepi; jam 11:11 adalah batas waktunya.

Mereka menyelinap melalui koridor belakang, menuju Gedung Lama. Bagian sekolah ini selalu terasa seperti area terlarang. Lampu-lampu koridor yang redup membuat tembok-temboknya terlihat kelabu. Bau apek, debu, dan campuran aroma kayu lapuk menusuk hidung.

“Gila, Rei. Kita mau jadi hantu di arsip F-7?” bisik Zio, nadanya setengah bercanda, setengah panik. Ia memegang kamera digital kecilnya dengan erat.

“Kita mau cari Aksa,” koreksi Reina, suaranya mantap. “Kamu cuma ikut buat dokumentasi dan jadi saksi. Jangan banyak tanya.”

“Aku nggak bisa nggak banyak tanya. Tadi aku ketemu Naya. Dia panik banget lihat kita jalan ke sini,” Zio mengeluh.

“Kenapa?”

“Dia bilang, jam 11:11 itu jam keramat buat sekolah. Jam di mana semua kejadian aneh dua tahun lalu dimulai. Dia bilang, ‘jangan coba-coba tekan tombol itu’.”

Mereka tiba di depan lift Gedung Lama. Lift tua itu berdiri diam, besi kuningan kusamnya memantulkan cahaya redup. Ia tampak seperti monumen yang terabaikan, menyimpan rahasia di perutnya.

Reina mengabaikan rasa takut Naya. Naya hanya penakut. Daren memberikan instruksi, dan Reina akan memanfaatkannya.

Jam di ponsel Reina menunjukkan 11:08.

“Oke. Kita tunggu di sini,” kata Reina, berdiri tepat di depan lift.

Zio mulai mengambil beberapa foto. “Atmosfernya dapet banget, Rei. Dingin, sepi, tapi mencekam. Aku bisa ngerasa kayak... something is watching.”

Reina membiarkan Zio dengan dramanya. Ia fokus pada deretan tombol lift. Tombol ‘7’ yang tidak berlabel itu, hanya sebuah lingkaran kecil yang berkarat, terlihat sama gelapnya dengan tombol-tombol lain.

“Kenapa Daren ngasih tau kita jamnya? Dia mau kita celaka, atau dia mau kita tahu sesuatu?” gumam Reina lebih kepada dirinya sendiri.

“Plot twist-nya, Daren yang bikin lantai itu, Rei,” kata Zio, menurunkan kameranya. “Siapa tahu dia udah muak sama reputasi sekolah dan ingin dunia tahu kebusukan di sini.”

“Atau, dia ingin aku yang masuk, biar dia nggak perlu masuk lagi,” balas Reina dingin. Ia tidak yakin dengan motivasi Daren. Ada terlalu banyak luka di mata Ketua OSIS itu untuk sekadar menjadi badut yang menjaga nama baik.

Waktu terasa melambat. Detik-detik itu terasa seperti jam.

11:10.

Reina maju selangkah. Ia menekan tombol panah atas, memanggil lift. Lampu indikator menyala kuning. Lift berdenting keras. Bunyi derit kabel yang ia dengar kemarin kembali menusuk telinga, kini jauh lebih keras.

Pintu lift terbuka dengan desisan yang panjang dan lambat.

Di dalamnya, tidak ada yang aneh. Hanya cermin buram, panel tombol yang berkarat, dan udara yang terasa pengap.

“Ayo, masuk,” kata Reina.

Zio ragu sejenak. “Rei, sumpah, kalau ini kayak film horor, aku duluan yang lari, ya?”

“Masuk, Zio.”

Mereka melangkah masuk. Reina langsung berhadapan dengan panel tombol. Ia menekan tombol ‘3’—lantai tujuannya semula.

Lalu, ia menunggu. Jantungnya berdebar kencang, menantikan sihir atau jebakan itu.

11:11:00.

Tepat saat jam menunjukkan angka kembar itu, tombol yang tidak berlabel di atas tombol ‘6’ tiba-tiba menyala.

Bukan merah redup seperti kemarin. Kali ini, nyalanya adalah merah darah, stabil, dan terang benderang.

Reina tanpa berpikir panjang, tanpa ragu, langsung menyentuh tombol itu. Jari telunjuknya yang ramping menyentuh permukaan besi yang terasa dingin dan kasar.

DENTING!

Seketika, seluruh lampu di dalam lift padam. Gelap total.

Reina terkejut. Ia refleks berteriak kecil. Ia bisa mendengar Zio terkesiap di sebelahnya.

Lift masih bergerak. Tapi gerakannya terasa berbeda. Tidak lagi mulus, melainkan bergetar hebat, seolah kabelnya tersangkut. Bunyi derit itu berubah menjadi raungan keras.

“Rei! Apa yang terjadi? Lampunya mati!” Zio berteriak panik.

“Tunggu! Tahan!” seru Reina. Ia meraih lengan Zio. Kulit Zio terasa dingin dan lembap.

Lift bergetar lagi, lebih keras. Rasanya seperti bukan lagi bergerak vertikal, tapi sedang terlempar ke samping. Bau besi berkarat bercampur dengan bau aneh yang menyerupai ozon—bau logam yang terbakar, yang sering muncul sebelum badai petir.

“Ini nggak normal, Rei! Harusnya dia berhenti di lantai tiga!” Zio meronta sedikit.

“Aku tahu! Pegangan!”

Lift seolah sedang jatuh, lalu tiba-tiba dihentikan oleh rem yang membentur keras.

BRAKK!

Semua guncangan berhenti seketika. Hening.

Gelapnya tidak wajar. Itu adalah gelap yang menyerap suara, yang membuat pendengaran terasa berdenging.

Lalu, perlahan, lampu di lift menyala kembali. Bukan lampu neon putih sekolah yang biasa, melainkan lampu bohlam tunggal yang menggantung, berwarna kuning kusam, memancarkan cahaya yang remang-remang.

Reina melihat ke panel tombol. Tombol ‘7’ masih menyala merah darah. Tapi tombol ‘3’ yang ia tekan sebelumnya kini sudah padam, seolah tujuannya sudah tidak relevan.

“Kita... kita sampai?” bisik Zio, suaranya gemetar.

DENTING!

Pintu lift terbuka.

Di luar, yang menyambut mereka bukanlah koridor marmer terang benderang SMA Adhirana.

Yang ada hanyalah ruangan kosong yang luas, basah, dan terasa dingin mencekam.

Lantainya terbuat dari beton abu-abu, kotor, dan di beberapa tempat, tergenang air yang memantulkan cahaya bohlam. Dindingnya juga beton, dipenuhi retakan dan lumut tipis berwarna hijau gelap. Udara di sini sangat lembap, berbau seperti gua yang sudah lama ditinggalkan.

Dan bau besi. Bau seperti darah yang sudah lama mengering, yang bercampur dengan bau karat.

“Ini bukan sekolah. Ini kayak... ruang bawah tanah,” bisik Zio, kameranya sudah terangkat, tapi tangannya gemetar.

Reina melangkah keluar. Kakinya terasa berat, seolah ia baru saja menginjak gravitasi yang berbeda.

Ia menoleh ke belakang, ke dalam lift. Lift itu sama persis dengan yang mereka masuki, tetapi begitu ia menatap dinding luarnya, ada yang janggal. Di atas pintu lift, seharusnya ada plat nomor lantai.

Plat itu kosong. Tidak ada angka ‘7’ atau angka lain.

Reina menoleh kembali ke ruangan kosong di depannya. Di kejauhan, ia melihat sebuah dinding permanen. Dan di dinding itu, tergantung sebuah plakat tua.

Reina mendekat. Zio mengikutinya dari belakang, memotret setiap langkah.

Plakat itu berkarat, tulisannya hampir tidak terbaca, tapi Reina bisa mengeja beberapa kata:

PROYEK VOID EKSPERIMENTAL

LANTAI KOSONG KE-7

DIHENTIKAN TAHUN 2021.

“Void tersier. Ruang kosong untuk instalasi,” gumam Reina, mengingat penjelasan petugas administrasi. “Tapi ini bukan instalasi mekanik.”

“Ini kayak bunker perang yang ditinggalkan,” kata Zio. “Lihat airnya. Kayak air got.”

Mereka berjalan maju. Semakin jauh dari lift, ruangan itu semakin terasa asing.

Tiba-tiba, Reina berhenti.

Ia menunjuk ke genangan air di lantai.

“Zio, lihat,” bisiknya.

Di genangan air itu, terlihat pantulan langit-langit yang remang-remang. Tapi di sudut genangan air itu, pantulannya bergerak.

Bukan pantulan mereka.

Pantulan samar sesosok tubuh yang berdiri di sudut gelap ruangan, tepat di belakang tumpukan karung goni tua.

Reina berbalik dengan cepat.

Tidak ada siapa-siapa di sudut itu. Hanya karung goni dan kegelapan.

“Kenapa, Rei?” tanya Zio, panik.

“Aku... aku lihat bayangan. Di pantulan air. Di belakang sana,” kata Reina, menunjuk.

Zio mengarahkan flash kameranya ke sudut itu. Flash itu menyambar, menerangi sudut gelap itu. Kosong.

“Nggak ada apa-apa, Rei. Cuma halusinasi,” kata Zio, mencoba menenangkan diri dan Reina.

Reina menggeleng. “Ini bukan halusinasi. Ini yang dibilang Daren. Lantai ini memanipulasi.”

Tepat saat ia selesai bicara, mereka mendengar suara dari kejauhan.

Bukan suara langkah kaki. Bukan suara mesin.

Itu adalah suara tangisan.

Tangisan lirih, seperti suara anak kecil yang terisak, tapi teredam. Suara itu datang dari ujung koridor yang gelap di sebelah kanan.

Reina dan Zio saling pandang. Rasa penasaran Reina kini bercampur dengan ketakutan yang dingin.

“Itu datang dari sana,” kata Reina, menunjuk ke koridor. “Mungkin ada orang lain yang terjebak.”

“Atau,” Zio menelan ludah, “itu jebakan yang Daren maksud.”

Reina tidak peduli. Jika ada suara, artinya ada kehidupan. Atau setidaknya, ada petunjuk.

Mereka mulai berjalan perlahan, menuju koridor yang gelap itu. Suara isakan itu semakin jelas.

Saat mereka berbelok di tikungan, Reina menyadari bahwa ruangan kosong tadi telah berubah.

Koridor itu tidak lagi berupa beton yang basah. Melainkan koridor panjang penuh loker, dengan dinding yang dicat warna hijau kusam yang mengelupas. Persis seperti koridor sekolah tahun 90-an.

Dan semua loker itu berkarat, terlihat sangat tua dan ditinggalkan.

Loker-loker itu sejajar, memanjang hingga jauh ke dalam kegelapan.

Tangisan itu kini datang dari tengah barisan loker.

Reina dan Zio berhenti di ambang koridor. Mereka sudah tahu.

Mereka telah tiba di Lantai Tujuh. Tempat yang tidak pernah ada.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!