Jingga seorang gadis cantik yang hidupnya berubah drastis ketika keluarga yang seharusnya menjadi tempat pulang justru menjadi orang pertama yang melemparkannya keluar dari hidup mereoka. Dibuang oleh ayah kandungnya sendiri karena fitnah ibu tiri dan adik tirinya, Jingga harus belajar bertahan di dunia yang tiba-tiba terasa begitu dingin.
Awalnya, hidup Jingga penuh warna. Ia tumbuh di rumah yang hangat bersama ibu dan ayah yang penuh kasih. Namun setelah sang ibu meninggal, Ayah menikahi Ratna, wanita yang perlahan menghapus keberadaan Jingga dari kehidupan keluarga. Davin, adik tirinya, turut memperkeruh keadaan dengan sikap kasar dan iri.
Bagaimanakan kehidupan Jingga kedepannya?
Akankan badai dan hujannya reda ??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R²_Chair, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kala Rindu datang terpisah jarak dan waktu
Perjalanan Arjuna dari kampung menuju kota berlangsung senyap. Di luar jendela mobil, pemandangan sawah perlahan berganti perumahan, lalu gedung-gedung tinggi yang menyambutnya seperti tangan-tangan beton dingin. Namun pikirannya masih tertinggal di kabupaten,di aula pameran tempat Jingga berdiri dengan senyum gugupnya, serta di momen ketika ia mengucapkan pengakuan cinta yang membuat dunia seakan berhenti.
Arjuna menyandarkan kepala pada kursi. Hatinya berat. Setiap kilometer yang menjauhkan dirinya dari Jingga terasa seperti jarak yang menggantungkan beban tambahan di dadanya. Padahal belum genap dua jam sejak ia menatap mata gadis itu, mendengar suara bergetarnya, dan melihat bagaimana Jingga menahan air mata saat ia harus pergi.
“Kenapa rasanya seperti ninggalin rumah, padahal cuma ninggalin kampung?” gumamnya pelan.
Pikirannya masih menampilkan Jingga dari berbagai sisi,senyumnya yang hangat, sorot matanya yang polos, dan caranya menggenggam tali tote bag ketika gugup.
Ia menutup mata, menarik napas panjang, lalu mengingat kata-kata terakhir Jingga di depan pameran.
“Kalau Kak juna harus pergi… aku tunggu. Tapi jangan lupa kembali ya.”
Kalimat itu sederhana, tapi terasa kuat seperti janji tanpa suara. Arjuna merasakannya menancap di hati.
Mobil akhirnya memasuki halaman rumah keluarga Arjuna,sebuah rumah besar dua lantai dengan taman kecil penuh bunga ibu. Begitu mobil berhenti, pintu depan langsung terbuka.
Ibu Nadira keluar dengan wajah berseri-seri. “Arjunaaa! Akhirnya pulang juga. Ibu kangen sekali.”
Arjuna tersenyum kecil dan turun dari mobil. “Ibu…”
Belum sempat ia berjalan dua langkah, Nayya adik perempuannya sudah melompat keluar rumah sambil membawa buku sketsa.
“Abaaaang! Cepet sini! Aku punya 1000 pertanyaan!” serunya sambil menarik tangan Arjuna.
Arjuna menghela napas. “Nay, abang baru turun. Boleh nggak istir—”
“Enggak boleh!” Nayya menggeleng cepat. “Aku pengin dengar cerita tentang Ka JINGGA!”
Arjuna langsung terdiam.
Ibu yang mendengar itu hanya tersenyum sambil menatap Arjuna dengan sorot mata penuh arti. “Mm...jadi gimana bang?,kapan Ibu bisa ngunduh mantu ?”
Arjuna memijat tengkuknya, wajahnya memanas. “Ibu masih lama…”
“Tapi Ibu pengen segera,iya gak Nay” jawab Ibu sambil mencubit manja lengan Nayya.
Nayya mengangkat kedua tangan dengan bangga. “Ya jelas lah. Nayya udah gak sabar pengen jalan bareng,belanja bareng,girls time bareng sama Ka Jingga.”
Arjuna melongo. “Nayya!”
Tapi ibu hanya terkekeh. “Sudah-sudah. Masuk dulu. Ibu bikin teh hangat.”
Mereka bertiga masuk ke ruang tamu. Aroma melati dari teh Ibu memenuhi ruangan, memberi kehangatan khas rumah yang selama ini Arjuna rindukan. Namun, sekalipun ia merasa kembali ke tempat istirahatnya, ada satu ruang kosong dalam hatinya,ruang yang baru ia sadari setelah mengenal Jingga.
Setelah duduk di sofa, Ibu membawa nampan berisi teh dan kue kesukaan Arjuna. Ia duduk di kursi seberang dan memperhatikan anaknya dengan lembut.
“Jadi… gimana Jingga itu?” tanya Ibu.
Arjuna menghela napas panjang. “Dia… baik, Bu. Lembut, sopan, dan beda.”
“Beda gimana?” Nayya memotong cepat sambil menggenggam buku sketsanya.
“Beda aja,” jawab Arjuna pendek, tapi pipinya memerah.
Nayya mendecak tidak puas. “Ih Abang, jawabannya gitu amat.”
Ibu tersenyum. “Ibu bisa lihat dari sorot matamu. Kamu sayang banget sama dia, kan?”
Arjuna menatap ke bawah, menekan jemarinya pada cangkir teh. Dengan suara pelan tapi jelas, ia menjawab, “Sangat.”
Ruangan seketika hening. Nayya menatap kakaknya dengan mulut menganga, lalu berdiri melonjak-lonjak.
“Aaah! Abang jatuh cinta beneran! Aduh aku harus gambar ini!” Ia membuka buku sketsa dan mulai mencoret-coret dengan cepat, membuat ibu tertawa kecil.
Ibu menatap Arjuna dengan lembut. “Ibu bahagia. Jarang kamu menunjukkan perasaan sedalam itu pada seseorang.”
Arjuna mengangguk. “Tapi… Jingga kelihatan sedih waktu aku harus kembali.Aku juga nggak enak, Bu.Rasanya kayak ninggalin dia sendirian. Padahal baru aja kami saling jujur.”
Ibu mengangkat cangkir tehnya. “Perasaan sedih itu wajar. Namanya juga baru terbuka. Tapi jarak bukan penghalang kalau dua-duanya yakin dan mau saling jaga.”
Arjuna menatap ibunya. “Aku mau jaga, Bu. Tapi aku takut dia merasa ditinggal.”
“Kalau kamu takut dia merasa begitu, buktikan kalau kamu tidak akan pergi.”
"Ikat dia,beri kepastian.Karena wanita butuh kepastian"
Arjuna terdiam. Kalimat Ibu sederhana, tapi mengena.
°°°°
Sore mulai turun. Arjuna keluar ke balkon lantai dua sambil membawa ponselnya. Angin kota bertiup dingin, membawa suara kendaraan dari jalanan. Jauh berbeda dari kampung yang tenang, tapi hari ini kota terasa lebih bising dari biasanya. Atau mungkin hatinya saja yang belum tenang.
Ia membuka chat. Nama Jingga muncul paling atas.
Tangannya mengambang, ragu. Ia ingin menghubungi, tapi khawatir mengganggu. Namun sebelum ia sempat mengetik, ponselnya bergetar.
Jingga mengirim pesan.
Kak juna udah sampai rumah?
Arjuna tersenyum tanpa sadar. Ia mengetik cepat.
"Udah. Baru beres taruh barang. Kamu gimana? Istirahat?"
Iya… tapi nggak tenang.
Arjuna mematung. Jantungnya berdegup lebih kencang.
" Kenapa nggak tenang?"
Pesan balasan Jingga butuh sedikit waktu sebelum terkirim. Seakan gadis itu berpikir lama sebelum menulis.
Soalnya… waktu Kakak pergi tadi, aku ngerasa kayak ada sesuatu yang hilang. Aku takut Kakak lupa sama aku.
Arjuna langsung berdiri tegak, menahan napas. Kata-kata Jingga menembus hatinya.
" Jingga… aku nggak akan lupa."
Beberapa detik kemudian, balasan masuk.
Beneran?
Arjuna menatap langit yang mulai ungu. Ia lalu mengetik dengan ketegasan yang ia yakini sepenuh hati.
" Beneran. Kamu penting buat aku."
Lamunan Arjuna terhenti ketika ponsel kembali bergetar.
Makasih Kak. Aku lega.
Terus… kalau Kak Arjuna balik ke kota, aku boleh tetap ngabarin Kakak tiap hari?
Arjuna menghembuskan napas bergetar. Ia tersenyum lembut.
"Boleh. Kamu nggak perlu nanya buat itu. Aku malah senang."
Hanya tiga detik, lalu balasan muncul.
Kak… aku kangen.
Arjuna menutup wajah dengan satu tangan. Perasaan itu memporakporandakan hatinya tanpa peringatan. Ia sendiri sudah merasakannya sejak melewati batas kabupaten.
" Aku juga. Baru sejam pergi, tapi rasanya kangen banget."
Di ujung sana, Jingga mengirim satu stiker kecil bergambar mata berkaca-kaca. Arjuna tertawa kecil.
Tanpa Arjuna tau,Nayya mengintip dari pintu balkon. “Aku tahu Abang di sini! Senyum-senyum sendiri tuh!”
Arjuna terlonjak. “Nay! Jangan ngintip!”
Nayya melipat tangan, memasang ekspresi detektif. “Jadi Abang lagi chat sama Ka Jingga ya?”
“Bukan urusan Nayya.”
“Justru itu! Ini urusan negara!” jawab Nayya dramatis.
Arjuna menepuk kening. “Dari mana pula…”
Nayya mendekat, menatap kakaknya lekat-lekat. “Abang bakal ajak Ka Jingga ke kota nggak? Aku pengin ketemu dia. Dari Kakak cerita dan foto-foto acara pameran itu, dia kelihatan baik.”
Arjuna terdiam, memikirkan kemungkinan itu. Jingga ke kota? Ada rasa bangga membayangkannya memperkenalkan Jingga pada keluarganya. Tapi ada juga rasa ragu apakah Jingga akan nyaman? Apakah sudah saatnya?
Kota membuatnya trauma karena yang ia dengar Jingga juga berasal dari Kota,walaupun ia tidak tau Kota mana yang Jingga maksud.Apakah sama dengan kota tempat tinggalnya sekarang?
“Iya… nanti kalau waktunya pas,” jawab Arjuna akhirnya.
Nayya bersorak kecil dan memeluk lengan kakaknya. “Aku dukung Abang sama Ka Jingga! Biar abang nggak jomblo-jomblo lagi!”
“Nayyaaa!”
Nayya kabur sambil tertawa sebelum Arjuna bisa memarahinya dengan benar.
Malam semakin larut. Hujan turun rintik-rintik di kota. Arjuna duduk di meja kerjanya, menatap sketsa Jingga yang ia gambar diam-diam waktu di kampung.Sketsa sederhana wajah gadis itu yang tersenyum malu, dengan rambut jatuh ke bahu dan mata yang lembut.
Ia menyentuh pinggiran kertas itu,
“Jingga… aku janji nggak akan pergi begitu aja.” lirihnya
Ponselnya bergetar lagi. Kali ini bukan pesan. Jingga menelepon.
Arjuna mengangkatnya cepat. Suara gemerisik hujan terdengar di kedua sisi sambungan.
“Halooo, Kak…” suara Jingga terdengar pelan, lembut, seperti angin.
Arjuna tersenyum. “Kamu belum tidur?”
“Belum… aku cuma… pengin dengar suara Kakak.”
Arjuna memejamkan mata, merasakan dadanya memanas. Ia menjaga nada suaranya agar tetap lembut, tidak berlebihan.
“Kalau gitu ngobrol bentar. Biar kamu tenang.”
“Boleh…” jawab Jingga.
Percakapan mereka mengalir perlahan tentang pameran kemarin, tentang kue yang diberikan panitia, tentang piagam kecil yang diterima Jingga, dan tentang rindu yang mulai tumbuh padahal mereka baru saja berpisah.
“Kak… aku takut Kakak sibuk di kota terus lupa kabarin aku.” Lirih Jingga namun Arjuna bisa mendengar dengan jelas.
Arjuna menatap jendela yang dipenuhi titik-titik hujan.
“Aku nggak bakal lupa. Kalau kamu mau,tiap pagi dan malam kita saling kabarin.”
Hening sejenak. Lalu,
“Beneran Kak?” suara Jingga terdengar lega bercampur haru.
“Iya. Aku serius.”
Arjuna bisa membayangkan Jingga menunduk, menggigit bibir bawahnya karena malu. Hanya membayangkannya saja sudah membuatnya merasa hangat dan dadanya berdesir hebat.
Setelah sambungan telepon berakhir, Arjuna merebahkan diri di kasur dengan senyum yang tidak bisa ia tahan. Ibu yang kebetulan lewat di depan kamarnya melihat itu dan ikut tersenyum.
“Kayaknya ada yang jatuh cinta berat,” goda Ibu.
Arjuna hanya menutup wajah dengan bantal. “Bu… jangan_”
Ibu tertawa kecil. “Sudah tidur sana.Besok kamu cerita sama Ibu lagi tentang Jingga. Ibu ingin tahu lebih banyak.”
Arjuna mengangguk.
Sebelum memejamkan mata, ia sempat melihat sketsa Jingga sekali lagi. Ia memegangnya, lalu meletakkannya di meja samping kasur seolah ingin memastikan wajah itu menjadi hal pertama yang ia lihat besok pagi.
Di luar, hujan masih turun, tapi Arjuna merasa hatinya tenang.
Tempat kecil itu, kampung itu dan Jingga… bukan tempat yang ingin ia tinggalkan. Dan ia akan kembali. Entah secepat apa. Tapi ia pasti kembali.
...~Rindu tidak mengenal batas....
...Bukan ruang yang menahannya, bukan waktu yang menghapusnya....
...Selama ada hati yang tulus menjaga, rindu akan selalu menemukan cara untuk tetap hidup,perlahan tetapi setia.~...
...🍀🍀🍀...
...🍃Langit Jingga Setelah Hujan🍃...