“Satu malam, satu kesalahan … tapi justru mengikat takdir yang tak bisa dihindari.”
Elena yang sakit hati akibat pengkhianat suaminya. Mencoba membalas dendam dengan mencari pelampiasan ke klub malam.
Dia menghabiskan waktu bersama pria yang dia anggap gigolo. Hanya untuk kesenangan dan dilupakan dalam satu malam.
Tapi bagaimana jadinya jika pria itu muncul lagi dalam hidup Elena bukan sebagai teman tidur tapi sebagai bos barunya di kantor. Dan yang lebih mengejutkan bagi Elena, ternyata Axel adalah sepupu dari suaminya Aldy.
Axel tahu betul siapa Elena dan malam yang telah mereka habiskan bersama. Elena yang ingin melupakan semua tak bisa menghindari pertemuan yang tak terduga ini.
Axel lalu berusaha menarik Elena dalam permainan yang lebih berbahaya, bukan hanya sekedar teman tidur berstatus gigolo.
Apakah Elena akan menerima permainan Axel sebagai media balas dendam pada suaminya ataukah akan ada harapan yang lain dalam hubungan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Empat
Axel mematikan rokoknya. Dia lalu menghidupkan AC kembali. Berjalan mendekati Elena. Mendorong tubuh wanita itu hingga terlentang di atas ranjang. Lalu dia menaiki ranjang dan mengukung wanita itu di bawah kuasa tubuhnya.
"Sekali lagi aku ingatkan, Elena. Kamu yang telah memulai semua ini, jadi jangan pernah berpikir untuk mengakhirinya!"
"Aku tak akan menyesal. Justru aku takut kamu yang menyesal karena melayani wanita seperti aku," ucap Elena.
Elena memeluk tubuh Axel, membuat mereka berdua tanpa ada jarak. Pria itu menarik napas berat.
Mata Axel menyipit, senyumnya miring. “Kau benar-benar nekat.” Ia melepaskan tangan Elena, lalu menunduk. Bibirnya menyentuh bibir wanita itu, awalnya lembut, tapi segera menuntut lebih.
Elena mende'sah kecil, tubuhnya menegang sesaat lalu melebur. Tangannya bergerak ke belakang leher Axel, menarik pria itu semakin dekat. Ciuman mereka semakin panas, lidah yang saling mencari, nafas yang kian berat.
“Mmhh … kamu terlalu mendominasi,” bisik Elena di sela ciuman.
Axel menyeringai, bibirnya masih menyentuh bibir Elena. “Kamu suka, kan?”
Elena terkekeh, napasnya tere'ngah. “Kalau aku nggak suka, aku udah dorong kamu dari tadi.”
Axel menunduk lagi, kali ini bibirnya berpindah ke leher Elena. Wanita itu memejamkan mata, kepalanya terangkat sedikit memberi jalan. Suara kecil lolos dari tenggorokannya, antara gugup dan kenik'matan.
“Jangan terlalu lembut. Aku nggak butuh kelembutan malam ini,” ucap Elena dengan nada bergetar tapi tegas.
Axel berhenti sebentar, lalu menatapnya dalam. “Kamu benar-benar keras kepala. Aku sudah berulang kali mengingatkan kamu, dan aku juga sudah katakan kalau aku bukan pria yang kau cari. Tapi, karena kau yang membawa aku ke permainan ini, aku akan layani!"
Elena tersenyum miring. “Kamu yang pilih ikut aku ke sini. Kamu juga yang mau ikut permainanku. Jadi, buktikan kalau kamu bukan modal tampang.”
Perlahan, Axel mendorong bahu Elena hingga ia kembali rebah di ranjang. Tubuh pria itu menindih, namun tetap menyisakan ruang cukup agar Elena bisa menatap wajahnya.
“Kamu sadar nggak, kamu lagi main api. Jangan salahkan aku jika nanti terbakar!” bisik Axel.
Elena meraih pipi pria itu, ibu jarinya mengusap rahang kokoh itu. “Aku udah terbakar sejak lama. Jadi biarin aku terbakar lebih panas malam ini.”
Suasana kamar dipenuhi desa'han, bisikan, dan suara gesekan kain. Alkohol dalam tubuh Elena membuatnya semakin berani, lidahnya lebih jujur daripada pikirannya.
“Kamu… lebih tampan dari suamiku,” gumam Elena di sela ciuman.
Axel mengangkat wajahnya sedikit, menatap Elena dengan tatapan menusuk. “Jangan sebut dia di hadapanku malam ini. Saat ini yang ada hanya aku dan kamu!"
Elena terkekeh pelan, meski ada air mata tipis di sudut matanya. “Takut kalah, ya? Buktikan kalau kamu lebih hebat dari suamiku!"
Axel membungkam bibir Elena lagi dengan ciuman, kali ini begitu dalam hingga Elena terpaksa menggenggam erat punggung pria itu.
“Aku bukan buat dibandingin. Aku di sini … karena kamu sendiri yang minta aku,” ucap Axel lirih ketika akhirnya menarik diri.
Elena mengangguk kecil, napasnya tersengal. “Iya ... aku yang minta. Jadi jangan berhenti sampai aku lupa semuanya, Axel.”
Malam itu bergulir panjang. Mereka saling bicara di sela keintiman, saling melempar godaan, saling membuka luka dengan cara yang aneh, lewat ciuman, sentuhan, dan desahan. Elena tertawa, menangis, lalu tertawa lagi. Axel hanya menatapnya dengan campuran kagum dan heran.
“Kenapa kamu lihat aku kayak gitu?” tanya Elena dengan suara parau ketika akhirnya mereka berbaring berdampingan, napas masih memburu.
Axel mengusap rambut wanita itu, jemarinya lembut menyisir helai-helainya. “Karena kamu bukan tipe orang yang seharusnya ada di tempat kayak tadi. Klub, hotel, mabuk … semua ini aku yakin bukan diri kamu.”
Elena menoleh, menatapnya sambil tersenyum samar. “Kamu nggak kenal aku. Jadi jangan sok tahu.”
Axel balas menatap, suaranya rendah. “Mungkin aku belum kenal kamu. Tapi aku tahu satu hal. Kamu bukan wanita yang bisa aku anggap main-main.”
Elena menggigit bibirnya, lalu tertawa pelan. “Sayang sekali, aku justru ngajak kamu main-main.”
Axel menghela napas berat, lalu menarik tubuh Elena lagi ke pelukannya. “Kamu pikir gampang keluar dari mainan yang kamu mulai?”
Elena tidak menjawab. Ia hanya menutup mata, membiarkan dirinya hanyut dalam kehangatan tubuh pria itu. Dia membenamkan kepalanya ke dada Axel. Malam berlanjut hingga keduanya terlelap.
Pagi hari datang dengan cahaya matahari yang menembus tirai. Elena menggeliat, kepalanya berat karena alkohol. Tangan kanannya bergerak mencari sesuatu di samping, dan terhenti ketika menyentuh kulit hangat.
Matanya terbuka. Axel masih di sana, terlelap dengan wajah damai. Elena menatapnya lama, dadanya terasa sesak.
“Ya Tuhan … apa yang udah aku lakuin?” tanya Elena pada dirinya sendiri.
Panik mulai merayap. Ia duduk perlahan, menatap sekeliling kamar. Seprai kusut, bajunya tergeletak di lantai, clutch kecilnya di meja. Semua bukti nyata malam yang tak bisa ia hapus begitu saja.
Tangannya gemetar saat ia meraih gaun, memakainya terburu-buru. Rambutnya berantakan, wajahnya pucat. Ia melangkah ke meja, meraih dompet, lalu menarik beberapa lembar uang. Satu juta rupiah.
Elena menatap uang itu sejenak. Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. “Kalau aku anggap ini transaksi … mungkin aku bisa lebih tenang,” gumam Elena getir.
Ia meletakkan uang itu di atas meja, tepat di samping asbak kecil tempat Axel tadi merokok.
Menoleh sekali lagi, Elena memandang wajah pria itu. Ada sesuatu di dadanya yang berteriak untuk tetap tinggal, tapi ia menggeleng kuat-kuat.
"Dia hanya lelaki teman tidur satu malam, aku tak boleh terbawa suasana. Besok pasti semua telah dia lupakan. Dan tak mungkin juga dia ingat siapa wanita yang telah dia layani," ucap Elena bermonolog pada dirinya sendiri.
Dengan hati-hati, ia membuka pintu kamar, melangkah keluar ke lorong hotel yang sunyi.
Begitu pintu menutup di belakangnya, Elena berhenti sebentar. Air matanya jatuh lagi, ia buru-buru menghapusnya dengan telapak tangan.
"Aku tak boleh merasa bersalah begini. Bukankah Mas Aldi dan Lisa melakukan hal yang lebih dari yang aku lakukan. Entah apa yang telah mereka perbuat di belakangku," ucap Elena pada dirinya sendiri.
Lalu ia berjalan cepat, meninggalkan hotel, meninggalkan Axel, meninggalkan malam yang akan menghantuinya entah sampai kapan.
semoga elena kuat melihat perbuatan mereka ber2