HARGA SEBUAH KESETIAAN
100% diambil dari kisah nyata
Dewanga hanya ingin diterima. Setelah ditolak berkali-kali karena miskin, ia menikahi Tini—janda delapan tahun lebih tua—dengan harapan menemukan pelabuhan. Yang ia dapat adalah badai tanpa henti. Enam tahun pernikahan menjadi neraka: bentakan setiap hari, hinaan di meja makan, ancaman diusir dari rumah yang bukan miliknya.
Ia terperangkap. Ingin pergi, tapi Aini—putri kecilnya—adalah satu-satunya cahaya dalam kegelapan. Ketika cinta berubah menjadi penjara, dan kesetiaan menjadi racun, Dewanga harus memilih: bertahan hingga hancur, atau berani menyelamatkan dirinya dan anaknya.
Sebuah kisah yang memilukan tentang cinta yang salah, kesetiaan yang keliru, dan keberanian untuk memilih hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20: Keputusan yang Terburu-buru
Empat bulan berlalu sejak Dewanga dan Tini resmi pacaran.
Tidak ada yang berubah—Tini masih sering kasar, masih sering bentak, masih sering memperlakukan Eka dengan dingin memarahi nya dengan cara gak jelas...
Tapi Dewanga sudah terbiasa. Atau lebih tepatnya, ia memaksakan diri untuk terbiasa.
"Ini yang terbaik," bisiknya pada diri sendiri setiap kali ragu muncul. "Aku harus bersyukur ada yang menerima ku apa adanya, dia terbaik karena mau menerimaku apa adanya"
Suatu malam, mereka duduk di warung kopi yang sama—tempat biasa mereka ngobrol.
Tini bercerita tentang tetangganya yang baru menikah. .
"Enak ya, orang yang punya pasangan. Gak kesepian. Ada yang nemenin."
Dewanga menatapnya. Ada sesuatu dalam nada suara Tini—sesuatu yang terdengar seperti... sindiran halus.
"Tini... kamu mau aku... mau aku ngapain?" tanya Dewanga pelan.
Tini mengaduk tehnya, tidak menatap Dewanga. "Gua gak tau. Tapi... gua udah cape jadi janda. Orang-orang ngomongin gua terus. Eka juga butuh figur bapak."
Dewanga terdiam.
Lalu ia mengambil keputusan—keputusan yang lahir bukan dari cinta yang matang, tapi dari rasa kasihan, rasa takut kehilangan satu-satunya orang yang mau menerimanya ia sudah berpikir matang bahwa Tini adalah yang terbaik untuknya.
"Tini... aku mau lamar kamu."ucap dewangga dengan penuh keyakinan
Tini mendongak, matanya membulat. "Serius?"
"Serius. Aku tau aku belum punya banyak. Tapi aku akan bekerja keras. Aku akan tanggung jawab sama kamu dan Eka."
Tini tersenyum—senyum lebar yang Dewanga anggap sebagai kebahagiaan, tapi sebenarnya adalah senyum kemenangan.
"Lo yakin, Dewa?"
"Yakin."
"Gua gak mau lo nyesel nanti."
"Aku gak akan nyesel."
"gua janda anak satu dan gua lebih tua dari lo dan gua gak secantik yang lo harapin"ucap tini.
"aku menerimamu apa adanya.. aku gak mandang kamu cantik atau engga yang penting kamu bisa jadi istri yang baik buat aku, buat anak kita nanti, bagiku cinta gak mandang usia , justru aku bahagia ada yang mau Terima aku apa adanya" ucap dewangga
Tini meraih tangan Dewanga di atas meja. "Kalau gitu... iya. Gua mau."
Terlalu cepat.
Terlalu mudah.
Tidak ada keraguan. Tidak ada pertanyaan. Tidak ada waktu untuk berpikir.
Hanya "iya" yang keluar begitu saja—seolah ini sudah direncanakan sejak lama.
Malam itu, Dewanga pulang dengan perasaan campur aduk.
Bahagia? Tidak sepenuhnya.
Lega? Mungkin.
Takut? Sangat.
Ia duduk di pinggir gerobaknya yang sudah ditutup, menatap cincin murah yang ia beli siang tadi dengan uang hasil jualan seminggu—lima puluh ribu rupiah. Cincin emas tipis dengan batu kecil yang bahkan bukan berlian.
"Ini yang terbaik," bisiknya memaksa. "Aku gak akan sendirian lagi. Aku punya keluarga. Aku punya tujuan."
Tapi ada bisikan kecil di sudut hatinya—bisikan yang sudah muncul sejak pertama kali bertemu Tini, bisikan yang selalu ia abaikan:
Ini bukan cinta. Ini pelarian.
Dewanga menggeleng keras, mengusir pikiran itu.
"Aku mencintainya. Aku pasti mencintainya."
Tapi malam itu, saat ia berbaring di kasur tipis, menatap langit-langit yang retak, air mata mengalir tanpa suara.
Bukan air mata bahagia.
Tapi air mata seseorang yang tahu ia baru saja membuat kesalahan terbesar dalam hidupnya—namun terlalu takut untuk mengakuinya.
ia pun tertidur karena lelah seharian berjualan
bersambung