NovelToon NovelToon
Terjerat Hasrat Tuan Muda

Terjerat Hasrat Tuan Muda

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / One Night Stand / Cinta Terlarang / Beda Usia / Teen School/College / Dark Romance
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: OctoMoon

Demi melunasi hutang ibunya, Nayara rela menjual keperawanannya pada pria asing di hotel mewah. Ia pikir semuanya berakhir malam itu—hingga pria itu kembali muncul sebagai kakak sahabatnya sendiri.

Alaric, Pewaris keluarga kaya yang dingin sekaligus berbahaya, langsung mengenali Nayara sebagai gadis yang pernah ia sentuh. Sejak saat itu, hidup Nayara berubah jadi permainan penuh ancaman godaan dan rahasia terlarang yang siap meledak kapan saja.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon OctoMoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 4 / THTM

Pagi itu matahari masuk lembut melalui jendela besar kamar Elara. Aroma roti panggang dan kopi hitam menyeruak dari dapur, menandakan pelayan rumah sudah sibuk sejak fajar.

Nayara membuka mata dengan perasaan canggung. Ia belum terbiasa dengan ranjang empuk, seprei wangi, dan ruangan luas seperti ini. Hatinya masih mengingat rumah kecilnya yang sempit, di mana suara ibunya batuk terdengar setiap malam.

“ Nayaraaaa, ayo sarapan!” suara riang dari luar pintu membuat Nayara tersadar. Sahabatnya berlari kecil masuk kamar, rambut panjangnya di kuncir sederhana. “Cepat, nanti kita telat ke sekolah!”

Nayara terkekeh kecil, berusaha menghapus sisa kantuk. “Aku tidak terbiasa bangun di tempat semewah ini.”

Elara menggenggam tangan Nayara. “Mulai sekarang, rumah ini juga rumahmu. Jangan sungkan lagi.”

Saat mereka berjalan ke ruang makan, Nayara sempat menoleh ke dapur. Ada keinginan kuat untuk ikut ibunya di sana, membantu menyiapkan piring. Tapi tiba-tiba nyonya rumah muncul dengan senyum hangat.

“Nayara, jangan ke dapur. Kamu duduk saja dengan Elara. Aku senang sekali Elara punya teman seperti kamu—baik dan pintar. Anggap saja kamu anak ketiga ku.”

Nayara tercekat, ragu menolak. “Tapi, Tante…”

“Tidak ada tapi-tapi,” sang nyonya menepuk pundaknya lembut. “Kamu bagian dari keluarga ini kalau sedang di sini.”

Akhirnya Nayara duduk di meja makan bersama Elara. Tapi perasaan canggung masih menempel.

Ia baru saja mengambil roti ketika menyadari sepasang mata memperhatikannya dari ujung meja. Kakak Elara duduk santai, jemarinya melingkari cangkir kopi.

Nayara buru-buru menunduk. Jantungnya berdegup lebih cepat, seolah tubuhnya memberi peringatan yang tak bisa ia pahami.

“Kenapa wajahmu memerah?” Elara menggoda sambil mengoleskan selai ke rotinya.

“Tidak… aku hanya kepanasan,” jawab Nayara cepat, membuat Elara tertawa.

Namun Nayara tahu, bukan udara pagi yang membuat pipinya panas. Melainkan tatapan lelaki itu—tatapan dingin yang menyimpan sesuatu, entah apa. Dan yang lebih menakutkan, tatapan itu terasa seolah mengunci dirinya.

Suasana sekolah pagi itu ramai. Suara bel tanda masuk hampir berbunyi, siswa-siswi berlarian di koridor, membawa buku dan tertawa riang.

Elara berjalan di samping Nayara sambil memeluk lengannya. “Aku senang sekali kamu menginap di rumahku. Aku jadi nggak kesepian.”

Nayara tersenyum kecil. “Aku yang harusnya berterima kasih. Rumahmu… hangat sekali. Aku hampir lupa kalau ibuku sibuk di dapur dan ayah bekerja di taman.”

Elara menoleh cepat, memegang tangan Nayara. “Jangan bilang begitu. Kamu sahabatku. Aku nggak peduli kamu anak siapa, buatku kamu… bagian dari hidupku.”

Perkataan itu membuat hati Nayara bergetar. Ada rasa syukur, tapi juga rasa takut. Karena ia tahu, suatu hari mungkin Elara akan marah jika rahasia itu terbongkar.

Bel berbunyi. Mereka masuk kelas, duduk bersebelahan seperti biasa. Guru biologi masuk dengan tumpukan buku tebal, menuliskan judul pelajaran hari itu di papan:

“Sistem Reproduksi Manusia.”

Ruangan langsung penuh bisik-bisik. Beberapa siswa terkekeh, ada yang menutupi wajah dengan buku.

Elara menepuk lengan Nayara. “Ini pasti seru.”

Nayara tersenyum kaku, mencoba fokus pada buku di depannya. Tapi entah kenapa, pikirannya melayang pada tatapan lelaki tadi pagi—tatapan kakak Elara yang seakan tahu sesuatu tentang dirinya.

Sementara itu, jauh dari kelas, di mobil hitam yang terparkir tak jauh dari sekolah, Alaric bersandar di kursinya. Tangannya memainkan sebuah kunci mobil, matanya menatap ke arah gedung sekolah.

Senyum tipis muncul di bibirnya. “Sahabat adikku… ternyata kau di sini, Nayara.”

Ia tidak terburu-buru. Tapi satu hal sudah jelas di benaknya: gadis itu tidak akan bisa lari darinya.

———

Jam sekolah usai lebih cepat hari itu. Elara menggandeng tangan Nayara keluar dari kelas. “Ayo, Kak Alaric pasti sudah jemput. Kita pulang bareng.”

Nayara tertegun sejenak. “Kak… Alaric?” Ia menelan ludah. Nama itu asing di telinga, tapi dadanya langsung terasa sesak mendengar nama itu disebut.

Benar saja. Begitu sampai di gerbang sekolah, sebuah mobil hitam mengilap sudah terparkir. Dari dalam, seorang pria berjas sederhana tapi terlihat berkelas keluar. Wajahnya teduh, tapi sorot matanya tajam, seolah bisa menembus apa pun.

Alaric membuka pintu mobil untuk adiknya dengan sikap lembut, senyum kecil di wajahnya.

Nayara merasa jantungnya berhenti berdetak. Tatapan itu. Senyum itu. Suara itu.

Ia mengenalnya. Lelaki inilah—yang malam itu merenggut segalanya darinya.

Namun, Alaric hanya tersenyum seakan tak terjadi apa-apa. “Terima kasih sudah menemani adikku,” ucapnya, nadanya tenang tapi sarat makna.

Nayara menunduk cepat, tidak berani menatap balik. “Sama-sama, Kak.” Suaranya bergetar, hampir tidak terdengar.

Elara tidak menyadari ketegangan di antara keduanya. Ia langsung masuk ke mobil, masih bercerita panjang lebar tentang kejadian di kelas.

Nayara melangkah pelan ke kursi belakang. Tapi ketika ia hendak masuk, tangan Alaric menahan pintu, tubuhnya sedikit condong ke arahnya.

“Senang akhirnya tahu namamu,” bisiknya pelan, cukup untuk didengar Nayara. “Nayara.”

Gadis itu membeku. Sekujur tubuhnya merinding. Ia tidak berani menoleh, hanya buru-buru masuk ke mobil.

Alaric menutup pintu dengan tenang, lalu beranjak ke kursi pengemudi. Senyumnya samar, tapi matanya menyimpan bara.

Mobil melaju pelan meninggalkan sekolah, dengan Elara terus berceloteh riang. Hanya Nayara yang terdiam kaku di kursi belakang, mencoba menahan gemetar yang tidak bisa ia hentikan.

Sore itu, rumah besar keluarga Alaric terasa lebih hidup dari biasanya. Lampu-lampu kristal sudah menyala, aroma masakan memenuhi udara.

Nayara berjalan gelisah di samping Elara. Sejak tadi, ia ingin sekali menghindar, tapi Elara dengan polosnya berkata:

“Aku sudah bilang Mama-Papa kalau malam ini kita makan sama-sama. Mereka senang banget kamu mau ikut. Jangan nolak ya, Ra…”

Nayara hanya bisa mengangguk pelan, menahan degup jantungnya yang makin kencang.

Di ruang makan, meja panjang sudah tertata rapi. Orangtua Elara duduk di ujung meja, menyambut dengan hangat.

“Nayara, terima kasih sudah menemani anak kami. Anggap saja rumah ini rumahmu juga,” kata Nyonya besar dengan senyum lembut.

Ucapan itu membuat Nayara makin gugup. Ia menunduk sopan. “Terima kasih, Tante…”

Elara menarik kursi tepat di sampingnya. “Duduk di sini aja, Ra. Biar kita bisa bareng-bareng.”

Nayara baru hendak duduk ketika tatapannya bertemu dengan Alaric—duduk di seberang, tepat di hadapannya. Senyum tipis pria itu seolah menertawakan keresahan Nayara.

Sepanjang makan, Elara sibuk bercerita tentang sekolah, nilai ulangan, hingga rencana piknik kelas. Ayah-ibunya mendengarkan dengan bangga. Sesekali, mereka juga menanyakan kabar Nayara, seakan benar-benar menganggapnya bagian dari keluarga.

Namun, bagi Nayara, setiap suapan terasa seperti batu yang sulit ditelan. Karena di seberangnya, Alaric terus menatapnya tanpa henti. Tatapan itu—tajam, menekan, dan penuh arti.

Beberapa kali Nayara mencoba menunduk, bahkan pura-pura batuk, tapi tetap saja ia bisa merasakan mata pria itu menusuk dirinya.

Sampai akhirnya, saat Nyonya besar menuangkan sup ke mangkuknya, Alaric berkata santai:

“Jadi ini sahabat yang sering kamu ceritakan, Elara?”

“Iya, Kak. Namanya Nayara. Pintar banget, kalau nggak ada dia aku udah nggak naik kelas,” jawab Elara sambil terkekeh.

Alaric meneguk airnya pelan. “Nayara.” Ia menyebut nama itu dengan nada yang membuat Nayara nyaris tersedak. “Nama yang indah.”

Elara tidak curiga sama sekali, hanya tersenyum senang karena kakaknya akhirnya ramah pada sahabatnya.

Tapi bagi Nayara, kata-kata itu terasa seperti belenggu yang menjerat lehernya. Ia tahu, ini baru permulaan.

Makan malam selesai. Elara menggandeng tangan Nayara menuju kamarnya dengan riang.

“Ayo, kita belajar sebentar, habis itu nonton film. Kak Alaric biasanya sibuk, jadi jangan peduliin dia.”

Nayara hanya tersenyum kaku, mencoba menenangkan dirinya. Namun, di dalam hati, ia terus berdoa agar bisa cepat pulang.

Di lorong panjang menuju kamar, Elara berlari duluan sambil membawa buku. “Aku ambil camilan dulu di dapur ya, tunggu di depan kamar!” serunya sebelum menghilang ke arah lain.

Nayara berdiri sendiri di lorong yang sepi. Hanya lampu dinding yang temaram menerangi.

Tiba-tiba, ada suara langkah pelan di belakangnya.

Nayara menoleh—dan jantungnya langsung berhenti berdetak.

Alaric berdiri di sana. Tenang. Tatapannya tajam menelusuri wajah Nayara, bibirnya melengkung dengan senyum samar.

“Kita bertemu lagi… lebih dekat kali ini,” ucapnya pelan.

Nayara mundur satu langkah, punggungnya hampir menempel ke dinding. “T-tolong jangan dekat-dekat…” bisiknya, suaranya gemetar.

Alaric mendekat tanpa tergesa, mencondongkan tubuhnya. “Kau bisa pura-pura di meja makan tadi. Tapi di sini… tidak ada yang bisa kau sembunyikan.”

Nayara menggigit bibir, matanya berair. “Aku mohon… jangan katakan apa-apa pada Elara… atau orangtua ku…”

Senyum Alaric melebar, tatapannya semakin intens. “Oh, jadi kau juga takut mereka tahu? Menarik.”

Ia berhenti hanya sejengkal dari wajah Nayara, cukup dekat untuk membuat gadis itu gemetar hebat. “Tenang saja. Rahasiamu aman… selama kau menuruti keinginanku.”

Langkah kaki Elara terdengar mendekat, riang dan ringan. Alaric mundur setengah langkah, kembali berdiri santai seolah tidak terjadi apa-apa.

Sesaat kemudian Elara muncul dengan camilan di tangan. “Ra! Kak! Kalian ngapain di sini?”

Alaric hanya tersenyum. “Tidak apa-apa. Aku hanya menyapa sahabatmu.”

Elara terkekeh, tidak menyadari apa pun, lalu menarik Nayara masuk ke kamar.

Pintu tertutup. Nayara menutup wajah dengan kedua tangannya. Dadanya sesak, napasnya tidak teratur. Ia tahu satu hal: hidupnya tidak akan pernah sama lagi setelah malam ini.

Sementara di luar kamar, Alaric berjalan santai ke kamarnya sendiri. Bibirnya masih melengkung.

“Permainan baru saja dimulai…” gumamnya.

1
Suki
Ngagetin!
OctoMoon: hehehe😊 Makasih yah kak karna sudah berkunjung di karya ku✨😊
total 1 replies
mr.browniie
Penuh makna
OctoMoon: Terimakasih kak karna sudah berkunjung✨😊
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!