Uang miliaran di rekening. Tanah luas. Tiga ratus pintu kontrakan.
Anjani punya segalanya—kecuali harga diri di mata suaminya dan keluarganya.
Hari ulang tahunnya dilupakan. Status WhatsApp menyakitkan menyambutnya: suaminya disuapi wanita lain. Dan adik iparnya dengan bangga menyebut perempuan itu "calon kakak ipar".
Cukup.
"Aku akan tunjukkan siapa aku sebenarnya. Bukan demi mereka. Tapi demi harga diriku sendiri."
Dan saat semua rahasia terbongkar, siapa yang akan menyesal?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 19
“Saya hanya manusia biasa, Bu. Yang kebetulan diberi kesempatan untuk tobat,” ucap Jamal sambil tetap fokus menyetir.
Anjani menatap ke luar jendela, diam sejenak. Dalam hati ia bergumam, “Nggak penting siapa Bang Jamal sebenarnya. Yang penting, dia bisa aku andalkan.”
“Untung saja saya buru-buru bawa anak saya ke rumah sakit. Kalau nggak, bisa gawat,” ucap Jamal tiba-tiba, seolah ingin mengganti topik.
Anjani mendengus pelan. Ia tahu Jamal sedang menghindari pertanyaan.
“Makanya, kalau anak sakit itu jangan ditunda-tunda. Harus langsung diperiksa. Saya nggak mau dengar hal kayak gitu lagi, Pak,” tegurnya.
“Baik, Bu,” jawab Jamal singkat, patuh.
“Sekarang gimana kondisi anak Bapak?” tanya Anjani, nada suaranya mulai melunak.
“Udah mendingan, Bu. Masih diinfus. Tapi kata dokter, tinggal pantau aja,” jawab Jamal.
“Syukurlah. Lain kali jangan tunggu parah baru ke rumah sakit, ya.”
“Iya, Bu. Saya salah kemarin,” ucap Jamal pelan.
Mobil melaju pelan di jalan tol. Hening sesaat mengisi ruang.
“Terima kasih sudah lindungi saya tadi, Pak Jamal,” ucap Anjani kemudian.
“Saya cuma ngelakuin kewajiban, Bu,” jawab Jamal pelan.
...................
Lusi memandangi ponselnya dengan wajah berbinar. Pesan masuk membuatnya tersenyum senang. Beberapa detik kemudian, ponselnya berdering. Nama "Robert" muncul di layar.
“Gue udah lakuin tugas gue. Gila, dia jago berantem ya,” ucap Robert langsung.
“Iya, makanya gue nyuruh lu. Gue tahu lu bisa handle,” jawab Lusi sambil menyeringai puas.
“Sekarang lunasin pembayarannya,” desak Robert.
Lusi memicingkan mata. “Tunggu dulu, kok nggak ada beritanya di media?”
Robert tertawa pendek. “Astaga, kita ini profesional. Kita kerja rapi. Kalau sampai terendus media, terus diinvestigasi, lu juga bisa keikut. Lu lupa siapa dalangnya?”
Lusi terdiam, lalu mendesis pelan. “Lu nggak bohong, kan, sama gue?”
“Kalau nggak percaya, ayo kita cek bareng ke dasar jurang. Siapa tahu arwah dia udah gentayangan dan manggil-manggil nama lu,” kata Robert sinis.
Lusi bergidik. Wajahnya berubah tegang. “Enggak… Gue enggak mau. Jangan ngomong yang aneh-aneh!”
Robert terdiam sejenak. “Ya udah, sekarang transfer. Urusan kita selesai sampai di sini.”
Dengan tangan gemetar, Lusi membuka aplikasi mobile banking. Ia mengetik nominal sesuai kesepakatan. Setelah beberapa detik, notifikasi transfer berhasil muncul.
“Udah gue transfer,” ucap Lusi pelan.
“Bagus. Jangan hubungi gue lagi,” ucap Robert, lalu menutup telepon tanpa menunggu jawaban.
Lusi memandang sebuah mobil honda HR-v dan foto wanita yang mukanya sudah rusak
“Ahirnya mampus juga kau,” gumam Lusi pelan sambil tersenyum puas.
Baru saja ia meletakkan ponsel, tiba-tiba bunyi dering kembali terdengar. Nama "Dani" muncul di layar. Ia mengangkatnya cepat.
“Ya, Bang. Ada apa?” tanya Lusi santai.
“Aula itu nggak diizinkan dipakai,” ucap Dani langsung.
Lusi mengerutkan kening. “Kok gitu sih, Bang? Kenapa tiba-tiba?”
“Video kamu yang menghina si Anjani udah sampai ke Pak Menteri. Beliau marah besar. Sekarang kamu nggak boleh lagi pakai aula itu. Kamu juga masuk blacklist, nggak boleh masuk ke kantor kementerian,” jelas Dani dengan suara tegang.
Lusi membelalak. “Kok bisa gitu? Nggak adil banget! Padahal udah jelas-jelas aku yang didorong sama si Anjani. Kenapa aku yang kena sanksi?”
“Anjani itu ternyata mitranya Pak Menteri. Jadi lebih baik kamu nggak usah macam-macam lagi sama dia,” ucap Dani mengingatkan.
Lusi menggertakkan giginya. “Terus nasib abang sendiri gimana?”
“Aku… aku dipindahkan ke Jambi,” jawab Dani pelan, terdengar kecewa.
Lusi langsung bangkit dari tempat duduknya. “Apa?! Anjani bener-bener pembawa sial!”
“Udah, Lus. Mending kamu fokus aja sama rencana pernikahan kamu. Jangan tambah masalah baru. Aku mau kerja lagi, ya,” ucap Dani menutup percakapan.
Lusi menatap layar ponselnya kosong. Senyumnya tadi berubah jadi geram. Rahangnya mengeras, tangan mengepal.
.......
Lusi menatap layar ponselnya sejenak, lalu menekan nama kontak "Riki".
“Hallo, ada apa sih?” suara Riki terdengar dari seberang.
“Aula kementerian nggak bisa dipakai, Ri,” keluh Lusi.
“Oh, ya udah. Kita nikahnya di rumah kamu aja, gimana?” jawab Riki santai.
Lusi langsung mengernyit. “Ya nggak bisa dong! Apartemen aku kan sempit!”
Riki terdengar heran. “Loh, gimana sih? Rumah kamu kan luas. Masa sekarang malah jadi apartemen?”
Lusi terdiam sejenak. Ia menutup mulutnya—baru sadar sudah keceplosan. Dulu, rumah mewah yang ia tunjukkan ke Riki dan keluarganya sebenarnya rumah pamannya.
“Aku pokoknya nggak mau di rumah. Maunya di hotel atau aula, gitu!” Lusi berusaha mengalihkan.
“Kalau gitu mending di rumah aku aja. Atau di aula balai RW, ada tuh dekat rumah. Bisa disewa murah,” usul Riki.
“Ya ampun, Ri! Aku ini wanita karier dan berpendidikan. Masa iya nikah di balai RW? Enggak banget! Pokoknya aku maunya tempat yang pantas!” Lusi mulai naik nada.
Riki menghela napas panjang. “Lus, aku bener-bener nggak ada dananya. Waktu nikah sama Anjani aja, aku cukupin di kampung. Meriah, murah, dan nggak ribet.”
“Jangan banding-bandingin aku sama wanita kampungan itu!” bentak Lusi.
“Aku nggak maksud gitu. Tapi kamu juga minta mas kawin yang besar banget. Aku udah bingung, Lus. Tolong ngerti juga.”
“Itu urusan kamu, bukan urusan aku. Kamu yang harus penuhin semuanya! Kalau enggak, aku laporin kamu ke atasan!” Lusi mengancam dengan nada tinggi.
Belum sempat Riki membalas, sambungan telepon sudah diputus oleh Lusi.
Di seberang, Riki menatap layar ponselnya dengan wajah bingung dan frustasi.
Rasanya Riki ingin membanting ponselnya saat itu juga. Emosi menumpuk di dada, kepalanya berat menahan tekanan.
Sejak Anjani pergi, hidupnya seperti dihantam badai tanpa jeda. Ayahnya makin jarang pulang, entah sibuk apa. Nina dan Nani hampir setiap minggu minta uang—katanya buat kebutuhan, tapi Riki tahu itu hanya alasan. Belum lagi pengeluaran rumah yang makin membengkak.
“Astaga… pinjam uang dari mana lagi aku coba? Waktu nikah sama Anjani, aku pengangguran. Tapi entah kenapa semua terasa mudah. Sekarang aku hampir jadi kepala cabang malah serba susah,” gumam Riki sambil mengusap wajahnya frustasi. “Nikah di hotel? Aduh, berapa puluh juta lagi harus aku keluarin?”
Ia menatap ponselnya. Jari-jarinya membuka riwayat chat. Namanya—Anjani. Ditekan pelan. Muncul percakapan lama.
Riki termenung.
Baru sekarang dia sadar. Dulu, Anjani yang selalu duluan menyapa. “Udah makan belum?”, “Kamu pulang jam berapa?”, “Lagi di mana?” Begitu terus, tanpa bosan. Dan dia—Riki—hanya membalas singkat atau malah tak membalas sama sekali.
Ia menggulirkan layar, lalu berpindah ke percakapannya dengan Lusi.
Dulu hangat dan manis. Kata-kata Lusi dulu lembut, penuh perhatian. Tapi kini? Isinya penuh ancaman. “Kalau nggak diturutin, gue laporin!” atau “Transfer sekarang juga! Jangan banyak alasan!”
Riki menutup mata sejenak. Dadanya sesak.
Sementara itu, Anjani baru saja sampai di kontrakannya. Ia membuka pintu pelan, menaruh tas di sofa, lalu duduk sambil menarik napas panjang.
Ponselnya bergetar. Beberapa pesan masuk.
Ada pesan dari Rina, juga beberapa panggilan tak terjawab dan pesan dari Riki. Anjani hanya melirik pesan dari Riki sekilas, lalu mengabaikannya.
Ia membuka pesan dari Rina.
"Ni, lusa ada agenda ke Lampung. Kamu diharapkan ikut."Begitu isi pesannya.
Anjani terdiam sebentar. “Kalau ke Lampung berarti aku pulang kampung... ya sudahlah, sekalian aku bisa ketemu Bang Reno,” gumamnya lirih.
Ia lalu membalas pesan Rina dengan singkat, "Ok… aku mau."
Setelah itu, ia bersandar. Matanya menerawang ke langit-langit.
pilih siapa yaa.. ikutan bingung 😆😆
Si Riki sama Ibunya biar nyaho.. wanita yg di elu-elu kan taunya adalah simpenen bapak/suami mereka 😜😜😜😆
Lanjuuttt kakakkkk....
Ditunggu kehancuran mantan suami Anjani...