Davian Meyers ditinggal oleh istrinya kabur yang mana baru saja melahirkan putrinya bernama Cassandra Meyers.
Sayangnya Cassandra kecil justru menolak semua orang, selalu menangis hingga tidak mau meminum susu sama sekali.
Sampai dimana Davian harus bersedih hati karena putri kecilnya masuk rumah sakit dengan diagnosa malnutrisi. Hatinya semakin hancur saat Cassandra kecil tetap menolak untuk menyusu. Lalu di rumah sakit Davian menemukan putrinya dalam gendongan seorang wanita asing. Dan mengejutkannya Cassandra menyusu dengan tenang dari wanita tersebut.
Akan tetapi, wanita tersebut tiba-tiba pergi.
Demi kelangsungan hidup putrinya, Davian mencari keberadaan wanita tersebut lalu menemukannya.
Tapi bagaimana jika wanita yang dicarinya adalah wanita gila yang dikurung oleh keluarganya? Akankah Davian tetap menerima wanita itu sebagai ibu susu putrinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 2. DEMAM TINGGI
Malam sudah larut. Jam dinding di kamar bayi menunjuk hampir pukul dua pagi, dan kursi goyang di sudut ruangan bergerak pelan karena dorongan tubuh Davian yang tertidur tanpa sadar. Lampu tidur berbentuk bulan sabit masih menyinari ruang dengan cahaya temaram, cukup untuk menyingkirkan gelap, tetapi juga menambahkan kesan hening yang dalam.
Di dadanya, Cassandra kecil tertidur. Wajahnya yang mungil tampak damai, napasnya naik turun, meski sisa isakan tangis masih melekat pada kelopak matanya yang bengkak. Davian memeluknya dalam posisi setengah sadar, tubuhnya yang kelelahan menyerah pada tidur singkat yang begitu rapuh. Ia merapatkan selimut bayi tebal yang menggulung di tubuh Cassandra kecil, tak ingin sampai putrinya itu kedinginan.
Namun kedamaian itu hanya bertahan sebentar.
Davian terbangun tiba-tiba, seolah ditarik oleh sesuatu yang tak kasat mata. Jantungnya berdetak kencang, dadanya terasa sesak. Ia menunduk untuk melihat putrinya, dan seketika darahnya seperti membeku.
Cassandra tidak lagi terlihat tenang. Tubuh mungilnya terasa lebih panas dari seharusnya. Panas yang menusuk kulit, bukan hangat normal seorang bayi, melainkan suhu yang menyalakan alarm ketakutan dalam benak seorang ayah.
"Cassie?" suara Davian tercekat, hampir tidak keluar. Ia menempelkan telapak tangannya ke dahi putrinya, dan panas itu membuatnya semakin panik. "Tuhan! kau demam!"
Tangannya bergetar. Napasnya tercekat. Semua ketenangan yang ia coba tanamkan sejak sore runtuh seketika.
Cassandra merengek pelan, lalu mulai menangis lagi tapi kali ini tangisan kecil, lemah, jauh berbeda dari tangis keras yang biasa ia keluarkan. Itu justru membuat Davian semakin takut.
Davian berdiri cepat, hampir menjatuhkan dirinya sendiri dari kursi goyang. Dengan langkah besar, ia keluar kamar dan berteriak memanggil.
"Emily?!"
Pengasuh muda itu berlari dari kamarnya, wajahnya masih setengah kantuk namun langsung pucat melihat ekspresi panik di wajah sang majikan.
"Sir?"
"Cassie panas. Sangat panas. Kita harus ke rumah sakit, sekarang." Suara Davian pecah, lebih merupakan perintah sekaligus permohonan.
Emily langsung mendekat, mengulurkan tangan untuk membantu. "Biar saya gendong Miss. Cassandra."
Dengan enggan tapi sadar ia tidak bisa melakukan semuanya sendiri, Davian menyerahkan Cassandra ke pelukan Emily. Tubuh mungil itu tampak semakin rapuh dalam dekapan pengasuh, wajahnya merah, bibirnya kering.
"Cepat. Ikuti aku!" perintah Davian.
Davian berlari menuruni tangga besar rumahnya, langkahnya berat namun tergesa. Di luar, udara malam yang dingin menusuk, tapi ia tidak merasakan apa-apa selain rasa terbakar dari kepanikan.
Ia membuka pintu mobil hitamnya, melempar jas ke kursi belakang, lalu menyalakan mesin dengan tangan yang gemetar. Raungan mesin mobil itu pecah di halaman sunyi, cahaya lampu depan menyalakan jalan setapak.
"Masukkan dia ke kursi belakang, tetap gendong. Jangan lepaskan dia dari pelukanmu," perintah Davian kembali.
Emily mengangguk cepat, matanya penuh ketakutan, lalu masuk ke kursi belakang dengan Cassandra di pelukannya.
Davian menekan pedal gas, mobil meluncur kencang keluar dari gerbang rumah.
Jalanan Washington yang sepi di jam dini hari menjadi medan balap penuh ketegangan. Lampu lalu lintas ia terobos, rambu ia abaikan. Setiap detik terasa berharga, setiap hambatan terasa seperti ancaman.
Ia menoleh sejenak ke kaca spion, melihat Emily yang berusaha menenangkan bayi kecil itu dengan usapan lembut. Cassandra masih menangis, tangisan serak yang nyaris tidak memiliki tenaga.
Hati Davian mencengkeram. Ia ingin berteriak, ingin menukar apa pun agar putrinya sehat kembali.
"Bertahanlah, Cassie. Papa di sini. Kita ke rumah sakit sekarang, ya," gumamnya, suara parau di antara deru mesin.
Tangannya lalu meraih ponsel dari dashboard dengan gerakan cepat. Ia menekan nomor yang sudah tertanam di memorinya: Peter, asisten pribadinya.
Sambungan tersambung hanya dalam dua dering.
"Dav?" Suara Peter terdengar, jelas baru saja terbangun dari tidur.
"Peter, dengar aku baik-baik." Davian berusaha tetap fokus pada jalan, namun nada suaranya meninggi penuh kegentingan. "Cassandra sakit. Demam tinggi. Aku sedang dalam perjalanan ke rumah sakit. Aku butuh kau di sana sebelum aku tiba. Urus semua yang diperlukan. Tidak ada antrean. Tidak ada formalitas. Aku ingin dia segera diperiksa begitu kami sampai!"
Di ujung telepon, Peter terdiam sesaat, lalu suaranya berubah tegas, penuh kesiapan. "Oke, rumah sakit mana?"
"St. Mary’s. Sekarang. Kumohon, cepatlah." Suara Davian benar-benar panik saat ini.
"Dimengerti. Saya akan ke sana segera dan menghubungi dokter anak terbaik. Jangan khawatir, Dav. Kau harus tenang," ucap Peter tetap tenang.
"Bagaimana aku bisa tidak khawatir, Peter?! Putriku yang masih bayi demam tinggi!" Davian hampir berteriak, suara paniknya memecah keheningan.
Peter menarik napas, lalu berkata mantap, "Percayakan sisanya padaku. Fokus saja mengemudi. Aku tunggu kau di sana. Dan ingat tetaplah tenang," katanya.
Davian menutup telepon dengan tangan gemetar, lalu kembali mencengkeram kemudi. Matanya panas, bukan hanya karena kantuk, tetapi karena ketakutan yang menyesakkan dada.
Mobil melaju semakin cepat, meninggalkan jalanan kosong yang diselimuti lampu jalan pucat. Angin malam masuk lewat kaca jendela yang sedikit terbuka, tetapi tidak cukup untuk menyingkirkan rasa panas yang membakar kulit Cassandra di belakang sana.
Setiap kali suara rengekan putrinya terdengar, dada Davian serasa diremas. Ia menoleh cepat, dan pemandangan bayi kecil itu yang tergolek lemah membuatnya hampir kehilangan kendali atas kemudi.
"Papa di sini, Cassie. Bertahan, Sayang. Kita hampir sampai," ucap Davian.
Kata-kata itu ia ulang berkali-kali, lebih untuk menenangkan dirinya sendiri daripada bayi yang mungkin tidak mengerti.
Jalan menuju rumah sakit terasa begitu panjang, meski dalam kenyataan hanya butuh belasan menit. Setiap lampu merah ia terobos, setiap kendaraan lain ia klakson hingga memberi jalan.
Akhirnya, bangunan besar St. Mary’s Hospital muncul di ujung jalan, lampunya terang, simbol palang merah di depan pintu darurat tampak menyala seperti harapan di tengah malam yang kelam.
Davian menghentikan mobil dengan rem mendadak di depan pintu darurat. Ia berlari keluar, pintu mobil terbanting keras.
Emily keluar dari kursi belakang, menggendong Cassandra dengan hati-hati, wajahnya panik.
"Cepat! Serahkan padaku," Davian meraih putrinya, kembali mendekap tubuh mungil itu di dadanya. Panas dari kulit Cassandra langsung menyalakan kembali rasa takutnya.
Pintu darurat terbuka, dan di sana Peter sudah menunggu, mengenakan pakaian tebal karena udara yang cukup dingin, wajahnya serius. Di belakangnya, dua perawat mendorong ranjang bayi kecil, bersiap menerima pasien darurat.
"Cepat, Dav,” ucap Peter. "Mereka sudah siap."
Davian menyerahkan Cassandra dengan hati-hati pada perawat, meski hatinya menjerit ingin tetap memeluk. Ia mengikuti langkah mereka yang bergegas masuk ke ruang darurat, tak peduli lagi pada segala aturan.
Koridor rumah sakit yang dingin dipenuhi cahaya putih. Suara roda ranjang berderit, langkah tergesa para perawat berpadu dengan detak jantung Davian yang seperti ingin meledak.
"Dia demam tinggi," ujar salah satu perawat sambil memeriksa suhu. "39,8 derajat. Segera siapkan ruangan dan dokter anak jaga."
Angka itu membuat Davian terhuyung. Hampir empat puluh derajat. Ia menelan ludah, tangannya mengepal, matanya tidak lepas dari tubuh kecil yang dibaringkan di ranjang bayi.
"Cassie, bertahanlah, Baby," ucap Davian seperti doa yang terbang ke langit berharap doa itu terkabul.
Peter menepuk bahu Davian, mencoba menyalurkan ketenangan. "Dia akan baik-baik saja. Dokter terbaik sudah dalam perjalanan."
Namun bagi Davian, kata-kata itu nyaris tak terdengar. Yang ia rasakan hanyalah rasa takut yang menggulung, rasa bersalah yang menusuk, dan cinta besar yang membuatnya tak sanggup membayangkan kehilangan.
Malam itu, di rumah sakit yang dingin, dimulailah pertarungan pertama seorang ayah tunggal untuk menjaga hidup anaknya, sebuah pertarungan yang baru akan dimulai.
Casie mungkin anaknya Davian dengan Olivia?,,dan mungkin ini semua permainan Raymond?
kau yang berjanji kau yang mengingkari
kalo sampe Raymond tau wahh abis citra mu piann, di sebar ke sosial media dengan judul
" PEMBISNIS MUDA DAVIAN MAYER, MENJADI MENYEBABKAN SEORANG WANITA BERNAMA OLIVIA MORGAN BUNUH DIRI " tambah bumbu pelecehan dll wahh habis karir 🤣🤣🤣
bisa diskusi baik² bisa di omongin baik² , suka banget ngambil keputusan saat emosi