Lima tahun cinta Shannara dan Sergio hancur karena penolakan lamaran dan kesalah pahaman fatal. Bertahun-tahun kemudian, takdir mempertemukan mereka kembali di atas kapal pesiar. Sebuah insiden tak terduga memaksa mereka berhubungan kembali. Masalahnya, Sergio kini sudah beristri, namun hatinya masih mencintai Shannara. Pertemuan di tengah laut lepas ini menguji batas janji pernikahan, cinta lama, dan dilema antara masa lalu dan kenyataan pahit.
Kisah tentang kesempatan kedua, cinta terlarang, dan perjuangan melawan takdir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RYN♉, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB : Tatapan Seorang Istri
Shannara memaksa kakinya melangkah maju dari balik rak pakaian, bergerak ke area di mana keramaian menyambut Karina. Ia berdiri tegak, memaksakan ekspresi netral di wajahnya, seperti topeng yang sangat tipis.
Karina, didampingi Monica, berjalan menuju kursi riasnya. Ia tampak bersinar, mengenakan celana panjang putih dan blus sutra berwarna pastel. Rambutnya diikat kuda santai, dan ia menyapa kru dengan senyum yang tulus.
"Pagi semua! Maaf terlambat sedikit," sapa Karina ramah.
Monica menunjuk ke arah Shannara. "Karina, ini Shannara. Dia sudah menunggu dan sudah familiar dengan checklist-nya."
Karina menoleh ke Shannara, dan untuk kedua kalinya, mata mereka bertemu. Kali ini, Shannara siap. Ia tidak panik, tetapi ia merasakan setiap saraf di tubuhnya menegang.
"Ah, Shannara. Selamat pagi," sapa Karina, senyumnya tetap hangat dan tidak mengandung kecurigaan sedikit pun. "Terima kasih sudah datang pagi-pagi. Monica bilang kamu langsung bisa bekerja?"
"Selamat pagi, Karina. Iya, bisa" Shannara menjawab singkat, suaranya sedikit lebih rendah dari biasanya. Ia berusaha menjaga kontak mata, tetapi hanya dalam durasi yang sangat singkat.
"Baiklah. Kamu bisa siapkan look pertama, ya? Yang adegan taman," pinta Karina, sambil duduk di kursi riasnya.
Shannara mengangguk, segera bergerak menuju rak. Tugas ini adalah pelariannya. Ia harus fokus pada tekstur kain, pada resleting, pada setiap detail kecil, agar pikirannya tidak melayang pada Sergio.
Saat Shannara mengeluarkan gaun berenda warna krem dan mencocokkannya dengan high heels kulit, Karina mulai berbicara dengan Monica. Shannara mendengarkan tanpa sengaja, setiap kata terasa seperti tusukan jarum.
"Tadi pagi Sergio mengantarku, Mon," kata Karina, nadanya penuh kasih sayang. "Dia tumben banget mau repot-repot ke sini jam segini. Dia bilang aku kelihatan pucat."
"Ya ampun, romantisnya! Biasanya Bapak itu nggak mau repot," Monica terkekeh.
Tangan Shannara yang memegang hanger terasa basah. Keringat dingin muncul di telapak tangannya. Ia menelan ludah, menunduk, berpura-pura fokus pada lipatan gaun yang tak perlu dilipat.
Ini cuma kerjaan, batinnya. Fokus. Jangan bodoh.
"Shannara, bisa bantu aku pasang mic-nya?" suara Karina lagi-lagi memanggilnya kembali ke kenyataan.
Saat Shannara bergerak di belakang Karina, memasang transmitter di pinggang wanita itu, Karina menoleh sedikit.
"Kamu terlihat familiar, Shannara," ujar Karina tiba-tiba, suaranya pelan dan penuh pertimbangan.
Detik itu juga jantung Shannara meloncat. Tangannya hampir gemetar.
"Familiar?" Shannara berhasil mengeluarkan satu kata, mencoba menjaga nadanya tetap biasa.
Karina menatapnya lurus melalui pantulan cermin rias. Tatapan itu tidak menghakimi, tetapi serius, seolah dia sedang mencoba mengingat sesuatu.
"Aku ingat," ujar Karina tiba-tiba, matanya sedikit menyipit. "Aku ingat di mana aku melihatmu."
Jantung Shannara sampai berdetak tak karuan.
Lalu senyum kecil muncul di bibirnya. "Ya Aku inget Kita pernah ketemu di Ocean Plaza, kan? Beberapa minggu lalu. Aku mau masuk, kamu mau keluar." Ia tertawa pelan. "Aku ingat wajahmu karena cantik. Aku jarang inget wajah orang, loh."
Shannara ikut tersenyum tipis, berusaha ikut mengalir. "Oh iya ... kayaknya emang pernah ketemu."
"Tuh kan, aku nggak salah," kata Karina sambil kembali ke cerminnya. Tapi nada suaranya berubah lebih lembut, tapi dalam. "Kamu lulusan Orion Institute, kan? Jurusan Hubungan Internasional?"
Shannara hampir menjatuhkan clip mic yang dipegangnya. "I-iya, betul," jawabnya gugup.
"Sayang banget loh. Dengan gelar HI, kerja jadi asisten artis?" Karina menatapnya dari cermin, bukan menuduh tapi tajam. "Aku denger kamu juga sempet kerja di kapal pesiar?"
Shannara merasa ketakutannya memuncak. Apakah ini ujian? Apakah Karina tahu tentang hubungannya dengan Sergio di kampus?
Ia menelan ludah, mencoba mencari napas. "Iya, dulu sempet. Tapi sekarang lagi nganggur. Temenku, Lisa, nawarin kerjaan ini. Jadi ya … aku coba aja."
"Oh begitu." Karina mengangguk, lalu menambahkan dengan nada seolah biasa aja, tapi cukup untuk membuat dada Shannara menegang lagi. "Kamu tau nggak, suamiku juga lulusan Orion. Jurusan Manajemen Bisnis."
Shannara berhenti sejenak, lalu pura-pura baru tahu. "Oh iya? Wah, kecil banget ya dunia ini."
Karina tertawa ringan. "Iya, banget."
Begitu selesai memasang mic, Shannara buru-buru mundur dan berpura-pura sibuk lagi. Tapi keringat di punggungnya seolah tidak mau berhenti.
Sepanjang pagi, ia bekerja cepat dan rapi. Tidak banyak bicara, tidak banyak menatap. Ia pastikan semua outfit siap, sepatu bersih, aksesoris tersusun. Tapi pikirannya tidak pernah benar-benar tenang.
Saat jeda istirahat makan siang, Shannara duduk sendirian di sudut, menjauhi keramaian, menggigit roti yang dibawanya. Ia membuka ponsel, dan melihat ada pesan baru dari Davin.
> "Perkembangan kasus Tuan Aldi sangat baik. Kita akan meminta penangguhan penahanan segera. Nyonya Amira sudah dipindahkan ke VVIP. Semua biaya ditanggung penuh."
Perasaan yang datang seperti dua sisi koin: satu lega, satu lagi memuakkan. Keluarganya terbantu, tapi ia tahu siapa yang membayar semuanya. Ia tahu dari mana uang itu datang.
Dan semakin lama ia menatap pesan itu, semakin kuat rasa bersalah yang menjeratnya. Seolah setiap kebaikan yang diterima keluarganya ... adalah hutang yang ditulis dengan darahnya sendiri.