Alena Prameswari percaya bahwa cinta bisa mengubah segalanya.
Tapi setelah tiga tahun menikah dengan Arga Mahendra, ia sadar bahwa kesetiaan tak akan berarti bila hanya satu pihak yang berjuang.
Saat pengkhianatan terbongkar, Alena memilih pergi. Ia menerima proyek desain di Dubai... tempat baru, awal baru.
Tanpa disangka pertemuan profesional dengan seorang pangeran muda, Fadil Al-Rashid, membuka lembaran hidup yang tak pernah ia bayangkan.
Fadil bukan hanya pria miliarder yang memujanya dengan segala kemewahan,
tetapi juga sosok yang menghargai luka-luka kecil yang dulu diabaikan.
Namun cinta baru tak selalu mudah.
Ada jarak budaya, gengsi, dan masa lalu yang belum benar-benar selesai. Tapi kali ini, Alena tak lari. Ia berdiri untuk dirinya sendiri... dan untuk cinta yang lebih sehat.
Akankah akhirnya Alena bisa bahagia?
Kisah ini adalah journey untuk wanita yang tersakiti...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter — 9.
Indonesia.
Setelah kepergian Alena, hidup Arga justru terasa lebih ringan. Atau, begitulah yang ia kira pada awalnya.
Beberapa bulan pertama setelah perceraian itu ia merasa lega, bebas dari rutinitas yang selama ini membuatnya jenuh. Padahal, Alena tak pernah berbuat salah. Wanita itu selalu bersikap lembut, penuh perhatian, dan menghormatinya tanpa cela. Namun entah mengapa, ada kekosongan di hati Arga yang tak mampu dijelaskan. Ia hanya tahu satu hal, cintanya pada Alena perlahan memudar.
Hingga kemudian Nadine datang.
Wanita cerdas dan memesona itu hadir bagai udara segar di tengah penatnya rutinitas kantor, Nadine berbeda. Wanita itu penuh tawa, mudah bergaul, dan mampu membuat semua orang di sekitarnya merasa nyaman. Arga yang semula hanya mengagumi cara Nadine membawa diri, lama-kelamaan mulai menantikan kehadiran wanita itu setiap hari.
Ketika Alena sempat menanyakan hubungannya dengan Nadine, Arga menepisnya. Tapi ternyata pengaguman sederhana itu perlahan menumbuhkan benih yang lain, benih yang membuatnya lupa pada istri yang setia menunggunya di rumah.
Dan ketika Alena akhirnya menyerahkan surat cerai, Arga tidak berusaha menahannya. Ia hanya menatapnya sekali, bertanya satu hal lalu menandatangani berkas itu tanpa keberatan. Ia pikir, ia akan baik-baik saja.
Namun kini... berbulan-bulan setelahnya, kesunyian itu mulai menggigit. Rumahnya terasa terlalu sepi. Tidak ada lagi suara lembut Alena yang menyapanya di pagi hari, tidak ada aroma masakan yang biasa menyambutnya saat pulang.
Keheningan itu perlahan berubah menjadi perasaan kehilangan, perasaan yang selama ini ia abaikan.
“Mas, kok melamun?” suara Nadine memecah lamunannya, jemari lentiknya mengetuk pelan meja restoran tempat mereka sering makan malam. Bahkan, sejak Arga masih menjadi suami Alena.
Arga menarik napas panjang. “Aku mau ajukan cuti lama beberapa minggu lagi, ada yang harus aku urus.”
Tatapan Nadine seketika menajam. Ia tahu tanpa perlu bertanya, ke mana tujuan pria. Dubai, Tempat Alena kini tinggal. Ketakutan langsung merayap di dadanya. Selama ini, meski berhasil membuat Arga berpisah dari Alena, ia tak pernah benar-benar memiliki pria itu. Arga tidak pernah mengatakan bahwa pria itu mencintainya.
“Mas,” ucap Nadine hati-hati, suaranya nyaris bergetar, “Apa aku kurang di matamu?”
Kening Arga berkerut. “Maksudmu?”
“Aku selalu di sampingmu, Mas. Aku temani kamu di kantor, aku dengar semua keluhanmu. Dan kamu pun, sering perhatian ke aku. Kamu kasih aku kopi, makanan kecil… kamu buat aku nyaman meski aku karyawan baru. Saat aku sakit, kamu yang menemaniku sampai larut malam... padahal waktu itu, Alena sedang menunggumu di rumah. Aku pikir... semua itu karena kamu mencintaiku. Bukankah kamu bercerai dari Alena demi aku?”
Arga terdiam lama. Matanya menatap kosong ke arah jendela, memantulkan cahaya lampu malam. Dalam hening itu, bayangan wajah Alena terlintas begitu jelas. Tatapan dingin wanita itu tanpa air mata, kata perpisahan yang diucapkan dengan keteguhan yang menyakitkan saat Alena menyodorkan surat cerai.
Ia menutup mata sejenak, rasa sesak merambat di dadanya. Baru kali ini ia menyadari, rasa kehilangan itu bukan karena kebiasaan yang hilang, tapi karena cintanya pada Alena yang tak pernah benar-benar mati.
Ketika Arga membuka mata, pandangannya tenang namun tajam. “Nadine, aku yang salah. Aku membuatmu salah paham. Aku memang mengagumimu... kau membuat hari-hariku di kantor terasa berwarna. Tapi hanya sebatas itu, aku tidak pernah mencintaimu.”
Brak!
Nadine menggebrak meja dengan mata berkilat marah. “Lalu kenapa kau bercerai?! Kalau bukan karena aku, lalu karena siapa?!”
“Alena yang meminta cerai,” jawab Arga pelan, namun tegas. “Waktu itu aku terlalu sombong untuk menahannya. Tapi sekarang… aku sadar, aku kehilangan sesuatu yang tak tergantikan. Ternyata, aku masih mencintainya.”
Tubuh Nadine bergetar. Jemarinya mengepal, kuku hampir menembus kulit telapak tangannya. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan rasa marah bercampur penyesalan. Selama ini ia sudah berusaha sedekat mungkin dengan Arga, bahkan berencana merebut hatinya dengan cara apa pun tapi semua sia-sia.
Ia tidak pernah berhasil membuat pria itu benar-benar jatuh cinta padanya.
Dan sekarang, Arga mulai mencari jalan pulang... kepada cinta yang dulu ia buang begitu saja.
.
.
.
Dubai.
Hari berikutnya, hujan turun lagi. Kantor sepi, sebagian besar karyawan bekerja dari rumah. Hanya Alena yang masih di sana, menyelesaikan revisi desain terakhir.
Fadil datang dari ruangannya, ia duduk tak jauh dari Alena.
Suasana hening, hanya suara hujan yang mengetuk-ngetuk kaca.
“Kenapa kamu tidak pulang?” tanya Fadil.
Alena tersentak, ia tak menyangka Fadil ada disana. “Aku suka suasana kantor saat sepi, rasanya damai.”
“Damai atau sunyi?” tanya pria itu lagi.
Alena tersenyum kecil. “Keduanya.”
“Kamu tahu, aku kehilangan seseorang beberapa tahun lalu.” Tiba-tiba saja Fadil bercerita.
Alena menoleh pelan.
“Tunanganku, mengalami kecelakaan mobil. Aku... tidak sempat mengucap selamat tinggal padanya.”
Alena menatap pria itu lama. Ia tidak melihat kesedihan di wajah Fadil, hanya ketenangan yang lahir dari penerimaan.
“Dan... kamu?” tanya Fadil lembut.
“Aku kehilangan rumah tempatku bersandar,” jawab Alena jujur. “Bukan secara fisik, tapi tempat yang seharusnya membuatku merasa aman. Aku kehilangan seseorang yang pernah begitu penting, tapi dia... berhenti mencintaiku.“
Mereka terdiam cukup lama, hanya mendengarkan suara hujan yang begitu menenangkan.
“Lalu apa yang membuatmu tetap kuat?” tanya Fadil lagi.
“Mungkin karena aku percaya, setiap kehilangan akan diganti. Bukan dengan yang sama... tapi yang lebih baik.”
Fadil menatap wanita dengan mata indahnya itu dalam-dalam. “Kamu... salah satu orang paling berani yang pernah aku temui.”
“Aku hanya belajar lebih mencintai diriku sendiri, bukan berani.”
“Tidak, berani itu bukan soal tak takut. Tapi tetap melangkah... meski kita takut.” Fadil tersenyum lembut.
Dan di bawah hujan langka itu, Alena menatap Fadil bukan sebagai atasan... tapi sebagai seseorang yang mengerti dirinya, tanpa perlu banyak kata-kata.
Kaya Jailangkung aja, datang tak dijemput pulang tak diantar /Facepalm/
Karena dianggap Lady Diana sering melanggar aturan selama menjadi istrinya Pangeran Charles...