NovelToon NovelToon
Suami Masa Depan

Suami Masa Depan

Status: sedang berlangsung
Genre:Tunangan Sejak Bayi / Aliansi Pernikahan / Percintaan Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Romansa
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: Tsantika

Aruna murid SMA yang sudah dijodohkan oleh ayahnya dengan Raden Bagaskara.

Di sekolah Aruna dan Bagas bertemu sebagai murid dan guru.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tsantika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sabotase Perasaan

Langkah kaki Aruna terdengar lantang di lantai marmer kantor ayahnya. Ia membuka pintu tanpa mengetuk, lalu langsung masuk ke dalam.

Ruangan itu luas dan elegan, penuh aroma kopi, kayu, dan… kenangan. Matanya tertumbuk pada satu sudut meja—bingkai foto tua yang menampilkan mendiang Mama berdiri di samping Pak Agam. Senyum Mama selalu menenangkan, sayangnya sekarang malah bikin Aruna makin ingin protes.

Belum sempat ia mengatur napas, pintu terbuka dari arah dalam.

Pak Agam masuk sambil membawa map. “Wah, tumben anak Papa datang tanpa WhatsApp dulu.”

Aruna menyilangkan tangan. “Papa pasti sudah tahu kenapa aku ke sini.”

Pak Agam menaruh map ke mejanya, lalu duduk. “Hmmm… wajah kamu kayak habis makan bayam mentah. Ada masalah?”

Aruna menatap ayahnya tajam. “Papa tau Bagas jadi guru di sekolahku?”

Pak Agam mengangguk perlahan. “Dapat kabar dari Pak Pratama. Tapi katanya Bagas cuma bantu-bantu... bukan guru tetap.”

“‘Cuma bantu-bantu’? Ayah, dia ngasih PR, terus hukum aku!”

Pak Agam mencoba menahan senyum. “Mungkin itu caranya menunjukkan kasih sayang.”

Aruna memutar mata. “Kasih sayang pake ancaman nilai nol?”

Pak Agam menaikkan alis. “Kamu yang nggak ngerjain PR, kan?”

Aruna mengerang. “Papa... jangan alihkan topik. Aku yakin Papa sekongkol sama dia. Ini semua konspirasi agar aku dan Bagas jadi makin dekat, ya kan?”

Pak Agam tertawa kecil. “Wah, Papa bukan penulis drama Korea, Aruna. Tapi kalau kamu merasa terganggu, kenapa nggak bicara langsung ke Bagas?”

“Aku nggak mau,” jawab Aruna cepat. “Dia sok tahu, sok tenang, sok... charming gitu. Ih, nyebelin!”

Pak Agam mengamati putrinya, bibirnya membentuk senyum penuh makna. “Tapi kamu mikirin dia terus?”

Aruna terdiam. Matanya menyipit. “Itu bukan poinnya.”

Pak Agam bersandar ke kursinya. “Ya sudah. Kalau kamu nggak mau tanya, anggap saja semesta sedang berkonspirasi biar kamu lebih sering ketemu dia.”

Aruna berdiri dengan kesal. “Ayah, semesta bisa kasih aku snack gratis aja dulu, jangan jodoh!”

Pak Agam tertawa keras.

“Besok aku bawa PR paling lengkap, terus aku kasih nilai diriku sendiri.”

Pak Agam menatap Aruna penuh harap. “Kamu tuh harus kasih Bagas kesempatan. Coba deh, makan malam berdua, misalnya.”

Aruna tertawa, tawa sinis yang khas miliknya. “Makan malam berdua? Papa pikir ini drama FTV?”

Pak Agam menyeringai. “Ya kalau jadi FTV, rating-nya pasti tinggi. Judulnya ‘Tersandung PR, Tersandung Cinta’.”

Aruna memutar bola matanya sampai nyaris balik ke masa lalu. “No, thanks. Makan malam berdua itu jebakan. Nanti tiba-tiba ada lilin di tengah meja dan musik klasik. Terus ada yang bilang ‘Aku suka kamu sejak kamu tidak mengumpulkan buku PR’.”

Pak Agam tertawa geli. “Aruna… kamu makin pintar dramanya.”

“Aku belajar dari yang terbaik,” jawab Aruna sambil menunjuk ayahnya. “Master of jodoh-jodohan dan konspirasi sup ayam.”

Pak Agam berdiri sambil mengambil jasnya. “Ya udah, kalau nggak mau makan malam, minimal jangan benci dulu. Siapa tahu Bagas itu… ya, lumayan.”

“Lumayan menyebalkan,” potong Aruna.

Pak Agam membuka pintu ruangannya. “Yuk, pulang bareng Papa?”

Aruna mengangguk cepat. “Mending pulang bareng Papa daripada pulang dijemput guru killer yang ngaku-ngaku tunangan.”

“Ya siapa tahu nanti dijemput suami, bukan guru.”

Aruna menunjuk ayahnya dengan tatapan curiga. “Tuh, kan! Ngomongnya makin meresahkan.”

Pak Agam tertawa dan merangkul putrinya keluar kantor. Di belakang mereka, sekertaris hanya bisa menggeleng kecil sambil tersenyum.

Dua orang itu memang seperti sahabat karib… dengan satu topik yang selalu bikin ribut: Bagas.

Aruna dan Pak Agam tiba di rumah saat matahari sore mulai turun perlahan. Baru saja mereka melepas sepatu di teras, Bi Rani muncul dari dalam dengan wajah antusias.

“Non Aruna! Tadi ada kiriman bunga buat Non!” serunya penuh semangat.

Aruna menyipitkan mata. “Bunga?”

Bi Rani mengangguk heboh. “Iya, gede, wangi, kaya yang suka dikirim di film-film itu.”

Pak Agam menyeringai. “Wah, wah. Pasti dari seseorang yang merindu.”

Aruna berjalan cepat ke arah ruang tamu, dan benar saja—seikat bunga segar dalam vas elegan berdiri di atas meja. Mawar putih dan baby’s breath, dengan kartu kecil di sisinya. Ia ambil kartu itu dan membacanya cepat.

“Sorry if I was too harsh. Get well soon – Bagas”

Aruna mendesah keras. “Great. Now he speaks English too.”

Pak Agam datang menyusul, berdiri di tangga sambil memeluk map kerjanya.

“Wah... romantis juga ternyata si Bagas. Kangen, kirim bunga. Dulu Papa cuma bisa kirim mie ayam waktu kangen Mama.”

Aruna menoleh, ekspresinya campuran kesal dan panik. “Ini bukan romantis. Ini sabotase emosional. Dia udah nyamar jadi guru, sekarang nyamar jadi florist!”

Pak Agam tertawa. “Kamu harusnya bilang terima kasih, bukan marah-marah terus.”

Aruna menatap bunga itu lagi. “Terima kasih… untuk tekanan darah yang naik sejak kamu muncul.”

Pak Agam melangkah naik sambil bersiul kecil. “Jangan lupa, yang keras kepala itu kadang paling cepat jatuh cinta.”

Aruna memeluk bantal sofa. “Kalau aku jatuh, tolong pastikan ada trampolin. Supaya bisa mental balik jauuuuh dari dia.”

Bi Rani tertawa kecil dari dapur. “Non, bunganya mau ditaruh di kamar?”

Aruna melambaikan tangan. “Terserah, Bi. Mau ditaruh di garasi juga boleh.”

Tapi saat ia kembali menatap bunga itu… ia nggak bisa bohong. Harumnya enak. Bunganya cantik. Dan… ugh, kenapa hatinya sedikit bergetar?

Sedikit aja.

Aruna memelototi bunga itu selama lima menit penuh.

Lalu… menghela napas. Dalam.

Dengan langkah malas tapi pasti, ia mengangkat vas bunga itu dan membawanya ke kamar.

Ditaruhnya di atas meja dekat jendela, tempat cahaya sore menyinari kelopaknya dengan manis. Mawar putih dan baby’s breath. Kombinasi yang hanya pernah ia sebut sekali — itupun saat mengobrol dengan teman lesnya dua tahun lalu.

“Bagaimana dia bisa tahu…” gumam Aruna pelan.

Ia meraih ponselnya. Membuka chat.

Aruna

[Bunga-nya… bagus.

Thanks.]

Bagas membaca pesannya. Tidak langsung membalas.

Belum sempat Aruna meletakkan ponselnya, notifikasi baru muncul.

Aruna

[Tapi jangan GR.

Bunga itu gak mengubah apapun.]

Aruna meletakkan ponsel di bantal, lalu berguling ke sisi kasur. Wajahnya menghadap bunga itu.

Ia menatapnya sejenak, lalu berkata lirih, “Bahkan kalau kamu tahu bunga favoritku, bukan berarti kamu tahu aku…”

Ponselnya bergetar pelan. Satu pesan masuk dari Bagas.

Bagas

[Aku gak niat mengubah apa-apa.

Cuma pengen kamu tahu… aku dengar.]

Aruna menatap layar itu lama. Sangat lama.

Lalu, buru-buru mematikan ponselnya dan menutupi kepala dengan bantal.

“Ugh, kenapa dia harus pakai kalimat kayak di novel?!”

1
sweet_ice_cream
love your story, thor! Keep it up ❤️
🔍conan
Baca ceritamu bikin nagih thor, update aja terus dong!
Beerus
Buku ini benar-benar menghibur, aku sangat menantikan bab selanjutnya, tetap semangat ya author! ❤️
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!