Luna Arindya, pemanah profesional dari dunia modern, meninggal tragis dalam sebuah kompetisi internasional. Saat membuka mata, ia mendapati dirinya berada di dalam novel fantasi yang pernah ia baca—dan menempati tubuh Putri Keempat Kekaisaran Awan. Putri yang lemah, tak dianggap, hidupnya penuh penghinaan, dan dalam cerita asli berakhir tragis sebagai persembahan untuk Kaisar Kegelapan.
Kaisar Kegelapan—penguasa misterius yang jarang menampakkan diri—terkenal dingin, kejam, dan membenci semua wanita. Konon, tak satu pun wanita yang mendekatinya bisa bertahan hidup lebih dari tiga hari. Ia tak tertarik pada cinta, tak percaya pada kelembutan, dan menganggap wanita hanyalah sumber masalah.
Namun semua berubah ketika pengantin yang dikirim ke istananya bukan gadis lemah seperti yang ia bayangkan. Luna, dengan keberanian dan tatapan tajam khas seorang pemanah, menolak tunduk padanya. Alih-alih menangis atau memohon, gadis itu berani menantang, mengomentari, bahkan mengolok-olok
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 21 Pesan Rahasia Rui
Gua utara kini terasa semakin dalam dan menyesakkan. Bau darah yang melekat di dinding seolah meresap ke pori-pori kulit, membuat setiap napas menjadi beban. Namun Rui Zhi Han tetap tegak berdiri, memainkan perannya sebagai “tawanan” yang perlahan dilirik oleh pemimpin Sayap Hitam.
Hari-hari berikutnya, ia dipaksa ikut dalam berbagai rapat kecil. Mo Xian, dengan sayap hitam pekatnya, mulai mempercayainya. Dari balik sorot matanya yang tajam, Rui tahu: iblis ini bukan sekadar haus darah. Ia seorang strategis berbahaya, penuh perhitungan, dan berambisi besar.
Di antara para tawanan, bisikan mulai beredar.
“Perempuan itu berbeda…”
“Dia bisa bicara dengan Mo Xian, sementara kita hanya dianggap sampah.”
“Apa dia benar-benar rakyat biasa?”
Rui mendengar semua bisikan itu, tapi ia tidak pernah membantah. Ia justru sengaja membiarkan rumor tumbuh. Di dunia yang dipenuhi ketakutan, harapan bisa lahir dari kabut sekecil apa pun.
Suatu malam, saat ia sedang duduk menjaga tawanan, seorang pemuda yang dulu menaruh curiga kembali berbisik.
“Kau punya rencana, bukan? Katakan padaku… apa yang harus kami lakukan?”
Rui menatapnya lama, lalu tersenyum samar. “Jika aku punya rencana, yang bisa kulakukan sekarang hanya satu, bertahan hidup. Sisanya… akan datang pada waktunya.”
Pemuda itu menunduk. Kata-kata sederhana, tetapi di telinganya terdengar bagai sumpah.
Beberapa hari kemudian, Mo Xian kembali memanggil Rui. Aula gua dipenuhi prajurit Sayap Hitam yang berbaris. Api unggun hitam menjilat-jilat udara, memberi cahaya merah keunguan.
Mo Xian menatap Rui dengan sorot tajam. “Kau sudah menunjukkan kecerdikanmu, perempuan. Tapi aku ingin tahu, seberapa jauh kesetiaanmu padaku.”
Ia melambaikan tangannya, dan dua prajurit menyeret seorang tawanan laki-laki muda ke tengah ruangan. Tubuh pemuda itu penuh luka, tapi matanya masih menyala dengan sisa keberanian.
“Ini salah satu keturunan keluarga pengawal istana,” ujar Mo Xian. “Jika kau benar-benar ingin bersama kami, bunuh dia di depan semua orang.”
Ruangan hening. Semua menunggu.
Rui menatap pemuda itu. Dalam sepersekian detik, ia sudah membuat ratusan skenario di kepalanya. Jika ia menolak, ia akan dicurigai. Jika ia membunuh, ia akan menghancurkan dirinya sendiri.
Akhirnya, Rui melangkah maju. Ia mengangkat belati yang diberikan. Semua mata tertuju padanya.
Tapi alih-alih menusuk dada pemuda itu, Rui merobek kain di lengannya, menorehkan belati hingga darahnya menetes ke lantai.
“Aku sudah bersumpah,” suaranya dingin tapi tegas, “bahwa darahku hanya akan mengalir untuk Sayap Hitam. Kalau aku membunuh orang ini, aku hanya mengotori sumpahku. Lebih baik darahku sendiri menjadi bukti kesetiaan.”
Sejenak hening, lalu terdengar bisikan kekaguman. Bahkan prajurit yang keras pun terdiam.
Mo Xian menatapnya lama. Lalu ia tertawa terbahak. “Bagus! Perempuan ini bukan hanya berani, tapi juga pintar. Kalian dengar? Darahnya sendiri menjadi sumpahnya! Aku mengakuinya!”
Sorakan meledak. Rui menunduk sedikit, menyembunyikan senyum tipis. Sekali lagi, ia selamat, dan kini ia semakin dalam menancapkan pengaruhnya.
Sementara itu, di istana kegelapan, suasana semakin menegang. Kaisar Wang Tian Ze duduk di singgasananya, wajahnya tak terbaca. Namun semua tahu, setiap detik ia menahan diri dari keinginan menghancurkan gua utara demi menarik kembali permaisurinya.
Lan Mei berdiri di sisi aula. “Yang Mulia… jika anda terus menahan amarah seperti ini, istana bisa runtuh sebelum perang dimulai.”
Jun Hao menambahkan dengan hati-hati, “Permaisuri pasti punya rencana. Tapi jika—”
“Tidak ada jika.” Suara Kaisar tajam, membelah udara. “Dia akan kembali. Dia harus kembali.”
Tetua istana berusaha berbicara, tapi Wang Tian Ze hanya mengangkat tangannya. Aura hitam di tubuhnya bergetar, membuat semua orang membungkuk.
Di sisi lain, menteri licik Liang De menyempilkan senyum sinis. Ia sudah mengirim utusan bayangan, menyuap prajurit Sayap Hitam agar mencari kesempatan membunuh Rui. Jika berhasil, istana akan kehilangan cahaya barunya, dan putrinya bisa masuk mengambil tempat.
“Permaisuri putih… mari kita lihat berapa lama kau bisa bertahan.” pikir Mentri Liang De dalam hati.
Malam berikutnya, Rui dipanggil untuk ikut dalam rapat perang. Ia duduk di barisan belakang, mendengarkan Mo Xian menjelaskan strategi menyerang kota kecil di perbatasan.
“Kita tidak akan menghancurkan semuanya,” kata Mo Xian. “Biarkan sebagian hidup. Biarkan mereka menyebarkan ketakutan. Itulah senjata terkuat kita.”
Rui menyipitkan mata. Strategi itu cerdas lebih berbahaya daripada sekadar membunuh.
Ia tahu, jika dibiarkan, Sayap Hitam akan terus menanamkan kebencian pada Kaisar di hati rakyat.
Setelah rapat, Rui diam-diam mencuri potongan peta yang ditinggalkan prajurit. Ia tahu, dengan peta itu, ia bisa mengirim pesan rahasia ke Jun Hao atau bahkan langsung ke Kaisar. Tapi masalahnya bagaimana cara mengirim tanpa diketahui?
"Aku tidak bisa menggunakan kekuatan ku saat ini apa lagi berkomunikasi dengan Yu Zhi, itu akan membuat auraku keluar" ujar Rui dalam hati
Jawabannya datang dari pemuda tawanan yang dulu berbisik padanya. Ia menawarkan diri.
“Aku bisa kabur saat patroli lengah. Aku akan membawa pesanmu.”
Rui menatapnya lama, lalu akhirnya menyerahkan gulungan kecil berisi peta dan catatan strateginya. “Kalau kau tertangkap, katakan aku memaksamu. Jangan sebut namaku.”
Pemuda itu mengangguk, lalu pergi dengan tekad bulat. Rui hanya bisa berdoa agar ia berhasil.
Beberapa hari kemudian, pemuda itu berhasil mencapai perbatasan, meski tubuhnya penuh luka. Pasukan kegelapan segera membawanya ke istana.
Di depan Kaisar, ia berlutut, menyerahkan gulungan kecil. Wang Tian Ze membuka dan membaca cepat. Matanya menyala merah, bukan karena amarah, tapi karena kekaguman.
Tulisan itu jelas tulisan Rui. Peta detail, kode rahasia, dan analisis musuh semuanya ada.
“Dia… bahkan di sarang musuh masih berpikir seperti jenderal.” desis Kaisar kagum dan juga khawatir
Jun Hao mendekat, wajahnya serius. “Yang Mulia, ini bukti kuat. Dengan informasi ini, kita bisa menghancurkan Sayap Hitam sekali serang.”
Namun Kaisar menggenggam gulungan erat. “Tidak. Jika aku menyerang sekarang, dia akan terjebak di dalam. Aku tidak akan mengorbankannya.”
Semua pejabat terdiam. Mereka tahu, keputusan Kaisar bukan sekadar soal strategi. Itu soal hati, sang permaisuri sedang ada di kandang musuh. walau sangat mudah bagi kaisar Wang Tian Ze untuk menghancurkan sayap hitam, tapi ia tidak mau mengambil resiko.
Di balik semua itu, Liang De mendapat kabar bahwa pesan Rui sampai dengan selamat. Ia menggertakkan gigi, murka.
“Perempuan itu benar-benar licik!” serunya pada utusan bayangan.
Ia lalu mengirim perintah baru: “Bocorkan pada Mo Xian siapa sebenarnya perempuan itu. Katakan bahwa dia bukan rakyat biasa, melainkan Permaisuri Kaisar sendiri. Biar mereka yang menghabisinya.”
Utusan itu pergi membawa racun baru ke permainan yang sudah berbahaya.
bersambung