Dilahirkan dari pasangan suami istri yang tak pernah menghendakinya, Rafael tumbuh bukan dalam pangkuan kasih orang tuanya, melainkan dalam asuhan Sang Nini yang menjadi satu-satunya pelita hidupnya.
Sementara itu, saudara kembarnya, Rafa, dibesarkan dalam limpahan cinta Bram dan Dina, ayah dan ibu yang menganggapnya sebagai satu-satunya putra sejati.
"Anak kita hanya satu. Walau mereka kembar, darah daging kita hanyalah Rafa," ucap Bram, nada suaranya dingin bagai angin gunung yang membekukan jiwa.
Tujuh belas tahun berlalu, Rafael tetap bernaung di bawah kasih sang nenek. Namun vidhi tak selalu menyulam benang luka di jalannya.
Sejak kanak, Rafael telah terbiasa mangalah dalam setiap perkara, Hingga suatu hari, kabar bak petir datang sang kakak, Rafa, akan menikahi wanita yang ia puja sepenuh hati namun kecelakaan besar terjadi yang mengharuskan Rafael mengantikan posisi sang kakak
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nurliana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
jatuh cinta pada kakak ipar
Rafael duduk di trotoar pinggir jalan. Ia membuka topinya, membiarkan angin malam menyapu rambutnya yang sedikit berantakan. Bayangan kejadian indah beberapa jam lalu masih memenuhi benaknya hampir saja, hanya sehelai jarak tipis lagi, ia bisa menyapa wanita yang sejak dulu memenuhi lembar-lembar diary hatinya. Andai takdir memberi sedikit ruang, Rafael tidak akan pernah menolak momen itu.
Langkah kaki terdengar mendekat. Farel muncul dengan dua gelas kopi hangat di tangannya. Senyum nakal tersungging di wajahnya.
“Apakah pilot terkenal dari London kini menjelma menjadi gelandangan?” canda Farel sambil mendekat.
Namun tawa itu mereda begitu ia melihat wajah Rafael. Empat tahun lamanya ia tidak pernah melihat senyum setulus itu, dan kini malam ini, ia menyaksikan senyum itu lagi. “Aku tidak sedang bermimpi, kan?” bisiknya pelan.
Rafael menoleh, menyadari keberadaan sahabatnya. Ia menerima kopi yang diberikan, lalu berkata lirih, “Kita akan beristirahat di mana malam ini?”
“Hotel dekat sini. Bintang lima, bisa kita jangkau dengan berjalan kaki. Ada restorannya juga. Besok pagi kita berangkat lagi, karena rumah sakit sudah menerima tamu VVIP,” jelas Farel.
" bermalam disini? Kau yakin sudah akan? "
farel menatap Rafael yang sedang rapuh " akan ku pastikan aman, tidak ada jangkauan yang bisa menemukan mu, "
" baiklah kapan takdir pernah berpihak pada ku? Selalu aku, aku seperti tokoh utama padahal aku hanya figuran " Rafael meneguk kopi nya,
" Sudahlah, harus berapa kali kau menyalahkan takdir, ini yang terbaik untuk kita, ayo istirahat " menatap Rafael yang berdiri dari duduk nya, seolah setuju dengan ucapan farel
Rafael hanya mengangguk sambil berjalan mendahului. “Kau bilang dekat sini, kan? Kenapa diam saja?”
Farel tersentak dari lamunannya, buru-buru mengikuti. “Baiklah, ayo.”
Hotel Penginapan Bintang Lima
“Masuklah duluan. Aku ada urusan sebentar,” ujar Rafael sambil mengecek ponselnya. Sebuah pesan dari Rafa baru saja masuk, memintanya untuk segera menelpon.
“Baik, kamar 455. Jangan sampai salah,” sahut Farel sambil masuk ke lift.
Rafael hanya tersenyum tipis. Ia melangkah ke lobi untuk melakukan panggilan pada sang kakak. Namun, takdir kembali mempermainkannya. Tepat di seberang jalan hotel, ia melihat Rafa berdiri bersama seorang wanita, wanita itu adalah Viola, pujaan hatinya. Mereka sedang menunggu jemputan, " apa yang sudah kau cek farel? takdir memang lebih senang melihat aku tersakiti, harusnya sejak awal aku mati saja, mungkin lebih baik " guma Rafael sambil berjalan sedikit ke depan
Panggilan tersambung. Rafa menerima telepon, dan secara naluriah menoleh ke arah Rafael. Ia melambaikan tangan dengan senyum hangat. Namun Rafael tak membalas. Pandangannya hanya tertuju pada Viola, yang berdiri anggun di samping kakaknya.
Mobil jemputan tiba. Viola melangkah masuk, namun sempat memberikan senyum lembut pada Rafa—senyum seorang putri untuk pangerannya. Sementara Rafael, hanya figuran yang berdiri di luar panggung kisah itu.
Begitu mobil pergi, Rafa menyeberang jalan. Ia berlari kecil, lalu memeluk adiknya erat-erat. “Rafael…”
Rafael terdiam sejenak, kemudian membalas pelukan itu. Kehangatan yang lama ia rindukan, bagai syal di musim dingin, membalut luka dalam diam. “Kakak… apa kabarmu?” Hanya itu yang sanggup ia ucapkan setelah empat tahun, sebab ribuan pesan singkat tidak pernah sebanding dengan menatap langsung.
“Aku baik. Tapi… ada apa ini?” Rafa menatapnya tajam, namun masih dengan senyum tipis. “Bukankah kau selalu menolak untuk datang ke sini? Bahkan kalau bumi runtuh pun kau lebih memilih mati di tempat lain daripada menginjakkan kaki di sini?”
Rafael tersenyum samar. “Aku ada keadaan darurat. Baru saja mendarat, jadi aku memilih hotel dekat bandara. Kakak sendiri, sedang apa…?”
Rafa sedikit salah tingkah, tapi akhirnya berkata dengan suara bergetar, “Lamaranku diterima. Semua berkatmu. Cincin yang kau pilih… Viola sangat menyukainya. Dan… cincin itu pas sekali di jarinya.” setelah berkata buruk tentang Rafael kepada viola, di depan Rafael kini Rafa kembali menjadi seorang kakak,
Jika mereka berdua saling tahu perasaan mereka, mungkin tak hanya luka, tetapi nyawa juga bisa melayang, saudara kembar ini menyukai satu wanita, beda nya hanya yang satu berjuang untuk mendapatkan hati sang wanita dengan cara mempersiapkan diri untuk masa depan, dan yang satu nya mendapatkan dukungan dari keluarga,
Seketika dada Rafael sesak. Haruskah ia merasa senang atau hancur? Ia hanya mampu menenangkan dirinya. Aku sudah biasa berada di badai. Ini hanya angin kecil, aku pasti bisa melewatinya, raut wajah nya begitu khawatir, tidak bisa dijelaskan, seperti sangat tidak senang dan ada amarah yang membara, namun ia menahan nya
“Iya, kak. Semua wanita memang menyukai cincin itu. Dan… mana mungkin kakak iparku tidak menyukainya,” jawab Rafael, senyum getir terukir di wajahnya.
" Tapi kenapa ukuran nya sangat pas? padahal kau dan viola belum pernah bertemu kan? " menatap sang adik,
Rafael tiga kali menarik nafas nya, berusaha menenangkannya diri, " ya kebetulan saja mungkin kak, karena haya ukuran itu yang tersisa " alasan, beribu alasan Rafael berikan demi menutupi perasaan nya,
Rafa terdiam, lalu tersenyum lembut. Dari kecil, hanya Rafael yang bisa memaksanya tersenyum seperti itu " ya bisa jadi, aku senang kau bisa sukses seperti sekarang "
Rafael sudah tidak bisa menahan emosi nya " kak, aku masuk kedalam, rekan ku sudah menunggu " lagi dan lagi hanya alasan
“Tunggu dulu, jam berapa penerbangan mu besok pagi?” tanya Rafa pelan. “Aku ingin mempertemukanmu dengan Viola. Beberapa hari lalu dia sempat menanyakan keadaanmu.” pikiran Rafa mulai kembali jernih, tidak ada gunanya merasa iri dengan adik nya,
Rafael menatapnya lama, ia Manarik Nafas nya, kebahagiaan seperti Pelangi tak pernah menetap. Ia hanya datang sebentar setelah hujan, lalu pergi meninggalkan langit. Begitu pula kebahagiaan ini, yang sedang Rafael rasakan
“Tak perlu, kak. Bilang saja pada kakak iparku bahwa aku baik-baik saja. Dan… selamat, karena lamarannya telah kau terima malam ini.” Rafael mengakhiri pembicaraan dengan senyuman getir, sekaligus menutup kisah cinta pertamanya yang telah selesai sebelum benar-benar dimulai.
...🌻🌻🌻...
Bandara – Pagi Hari
“Penerbangan 0078 siap berangkat pukul 05.30. Tamu VVIP sudah naik ke pesawat. Kapten Rafael dan Wakil Kapten Farel memimpin penerbangan pagi ini. Selamat bertugas, selamat terbang.”
Suara petugas bandara bergema. Rafael menatap langit dari jendela ruang tunggu. Dari sekian banyak tempat, mengapa harus bandara yang selalu menjadi panggung pertemuannya dengan takdir? Apakah pena semesta kali ini menuliskan kebahagiaan… atau justru badai yang lebih besar?
Jangan lupa beri bintang lima dan komen ya teman-teman
Bersambung...........
Hai teman-teman, yuk bantu like, komen dan masukkan cerita aku kedalam favorit kalian, ini karya pertama aku dalam menulis, mohon bantuan nya ya teman-teman terimakasih.......
btw aku mampir Thor /Smile/