Islana Anurandha mendapati dirinya terbangun di sebuah mansion besar dan cincin di jemarinya.
Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan untuk keluar dari rumah istana terkutuk ini. “Apa yang sebenarnya kamu mau dari aku?”
“Sederhana. Pernikahan.”
Matanya berbinar bahagia saat mengatakannya. Seolah-olah dia sudah lama mengenalku. Seakan-akan dia menunggu ini sejak lama.
“Kalau aku menolak?” Aku bertanya dengan jantung berdebar kencang.
Mata Kai tidak berkedip sama sekali. Dia mencari-cari jawaban dari mataku. “Orang-orang terdekatmu akan mendapat hukuman jika kamu menolak pernikahan ini.”
Islana berada di persimpangan jalan, apakah dia akan melakukan pernikahan dgn iblis yg menculiknya demi hidup keluarganya atau dia melindungi harga dirinya dgn lari dari cengkraman pria bernama Kai Itu?
CHAPTER 04
Chapter 04
Omar menaruh handphone-nya di depan tanganku. “Saat makan sore nanti kamu bisa balikin. Tapi ingat jangan saat Kai ada. Aku akan turun ke bawah buat pastiin Kai nggak tau kamu sedang menelepon.”
Omar berdiri dan dengan cepat menutup pintu. Aku menatap handphone milik dia dan sekarang tanpa pikir panjang mengusap layar dan ketika sudah masuk ke layar utama, aku langsung menekan nomor pertama yang aku ingat.
Nomor Tiyana.
Entah kenapa aku tidak teringat dengan nomor Kirana sama sekali. Tapi aku hanya berharap adik kecilku ini akan mengangkat nomor tidak dikenal untuk pertama kali dalam hidupnya.
Setelah beberapa kali mencoba akhirnya telepon diangkat. Napasku menjadi lega tanpa aku sadari.
“Halo, Tiyana,” aku berkata dengan suara sekecil mungkin karena dinding di rumah ini bisa saja dipenuhi dengan alat sadap.
Ya, aku kenapa bisa lupa tentang alat sadap. Semua mafia punya alat seperti itu.
“Haloooo...” Tiyana terdengar acuh.
“Tiya, ini Kakak.”
“Kakak? Kakak yang mana?”
Oh Tuhanku. Bisa-bisanya adikku yang cantik jelita nan tidak peduli ini menambah tingkat stress-ku menjadi dua puluh kali lipat!
“Ini Kak Isla, Tiya, aku nggak punya banyak waktu. Aku cuman mau kasih tau kalau aku diculik oleh mafia, oke, memang ini terdengar sangat nggak masuk akal dan bahkan lucu, tapi nggak adikku yang manis, ini sama sekali nggak lucu. Ada laki-laki yang culik kakak kamu dan sekarang kamu harus panggil polisi oke?!”
Setelah bicara panjang lebar dan dengan napas tergesa-gesa seperti dikejar kereta api shinkansen, yang aku dapatkan hanya suara tawa adikku yang sekali lagi tanpa beban hidup di dunia remajanya.
“Eh, penipu, kamu memang mirip suaranya kaya Kakak saya, tapi bukan berarti aku anak bodoh. Kamu mau nipu uang berapa banyak sih? Ha?”
“Tiya! Ini Kakak, tolong perhatiin baik-baik, aku kakak kamu, bukan penipu. Ini bukan waktu yang tepat buat bercanda!”
“Eh situ yang bercanda! Jangan pernah lagi telpon ke nomor ini!”
Panggilan terputus dan dengan mulut terbuka aku ingin membanting telpon milik Omar itu. Tapi aku berhasil menarik napas dan menghembuskannya dan berteriak dengan menutup wajahku dengan bantal.
Pintu diketuk dari luar. Dengan cepat aku memasukkan handphone itu di balik selimut. Untung saja pintu terbuka setelah itu selesai dilakukan, karena yang membuka pintu itu adalah Yang Mulia Raja Mafia Kairav Arumbay.
Kami bertatapan. Aku sama sekali tidak bisa membaca ekspresi wajahnya. Dia hanya diam di tepi pintu dan dengan wajah serius dan tangannya yang berada di saku celana.
“Aku mau istirahat,” kataku.
“Kamu nggak seperti sedang ingin beristirahat.”
Memangnya siapa dia? Pembaca wajah? “Aku butuh waktu sendiri.”
Kai berjalan mendekati tempat tidur. Melihat sekeliling ruangan. “Apa kamu suka kamar ini? Aku tahu kamu suka warna putih. Harusnya kamar ini sesuai dengan kesukaan kamu.”
Aku melipat tangan. “Dari mana kamu tau aku suka warna putih?”
“Aku tau semuanya tentang kamu, cantik.”
Aku memutar bola mataku.
Kai tersenyum kecil. “Dan itu, salah satunya, kamu suka memutar bola mata kalau kamu nggak setuju dengan perkataan lawan bicara kamu.”
Aku mengigit bibirku sambil menahan diri untuk tidak memutar bola mataku di depannya lagi.
“Di rumah ini kita punya tradisi makan sore bersama. Biasanya aku makan bersama Omar dan yang lainnya tapi karena kamu sudah ada di sini sekarang, sudah saatnya aku melakukannya sama kamu.”
“Apa aku bakal di seret pergi ke meja makan kalau menolak?”
“Nggak akan ada yang berani menyentuh kamu di rumah ini. Kamu nggak perlu khawatir.”
Aku mengamati wajahnya. “Kecuali kamu, kamu bisa menyentuhku sebagai orang tertinggi di sini kan?”
Kai duduk di atas tempat tidur. “Aku nggak akan melakukan apapun yang membuat kamu terluka.”
Aku menatap wajahnya yang begitu tampan. Seperti dalam mimpi aku bisa berhadapan dengan pria sensual dan setampan dia. Entah kenapa jantungku tetap tidak bisa berbohong melihat wajahnya dan betapa bagus bahu dan tubuhnya.
Aku menutup mataku untuk bisa berpikir jernih, tapi sayangnya aku tidak bisa melakukannya semenjak bangun tidur di kamar ini. “Kamu ingin aku jadi istri kamu.”
“Apa sekarang kamu mulai menerima status kamu?”
“Aku nggak bilang aku menerima, yang aku ingin katakan adalah semua harus ada alasan di balik ini. Karena aku bisa jadi gila kalau nggak tau apa-apa tentang semua ini.”
Kai berdiri dan mengulurkan tangan. “Kamu lari sebelum aku menjelaskan semuanya tadi siang. Sekarang, apa kamu siap bekerja sama?”
Tangan itu seperti tangan ‘iblis’. Yang siap menjadikan aku mangsa atau korban karena setuju dengan perkataannya. Tapi aku ingin segera berakhir. Dan semua itu bisa terjadi jika aku berusaha menjaga sikap di depan pria ini.
Aku mengulurkan tangan padanya dan hal pertama yang aku dapatkan adalah senyuman seribu arti darinya.
***
Kali ini acara makan sore dilakukan di taman rumah istana neraka ini yang tepat berada di sebelah sebuah danau. Pria benar-benar kaya karena punya rumah dengan danau pribadi. Seperti tadi siang, belasan makanan berada di depan kami.
“Apa aku harus menunggu sampai semua ini habis, baru kamu mau menceritakan alasan spektakuler kamu atas penculikan seorang mahasiswi?”
Kai tergelak. Matanya berbinar. “Kamu punya sifat humor yang cukup mengagetkan, cantik.”
“Itu bukan humor, bapak penculik,” ujarku sambil memegang garpu dan pisau di masing-masing tangan.
“Oke, kalau begitu aku akan mulai menceritakan kisah yang berlangsung sejak lama,” ujar Kai lalu memerintahkan semua orang buat menjauh dari gazebo kami dan setelah semua pelayan dan penjaga pribadinya menjauh dan tidak bisa mendengar kami, dia mulai bercerita. “ayahmu dan ayahku bersahabat.”
Pisau di tangan kiriku jatuh ke piring.
“Kamu sepertinya lebih pintar bercanda dari aku,” aku menahan diri untuk tidak memutar bola mata di depannya lagi. “bisa-bisanya kamu bercerita lelucon di sore hari mendung seperti ini.”
Rahang Kai mengeras. “Aku nggak bercanda, Islana.”
Setelah melihatnya terdiam untuk cukup lama, aku berusaha menjaga sikap untuk tidak melempar garpu ke arahnya. “Kamu bilang ayah kita bersahabat, tapi ayahku sudah lama meninggal dan aku tidak pernah mendengar ayahku punya seorang sahabat dengan pekerjaan menyeramkan seperti kamu.”
“Mereka berteman sejak remaja, kamu nggak tau karena memang ayah kamu menutupi semuanya sampai ayahmu meninggal.”
Aku masih tidak percaya apa yang dia katakan. “Jadi ayahku bersahabat dengan para mafia, ehm, cerita yang sangat mengagetkan.”
“Kamu nggak percaya.” Kai mengatakan kesimpulannya.
“Tentu aja, gimana bisa aku percaya semua ini? Lagipula apa hubungannya ayah kita berdua dengan pernikahan fantasi ini?”
Kai berdiri dan menundukkan badannya di sampingku. “Karena ayahku berjanji untuk menikahkan kita berdua sejak kamu lahir.”
Setelah mendengar itu aku hanya bisa terdiam dan membisu. Aku ingin menyangkal tapi sayangnya ayahku sudah tiada. Aku tidak tahu dengan siapa aku harus bertanya hingga aku sampai ke kamarku dan mengurung diri dengan fakta yang mencengangkan itu.