Liana Antika , seorang gadis biasa, yang di jual ibu tiri nya . Ia harus bisa hamil dalam waktu satu bulan. Ia akhirnya menikah secara rahasia dengan Kenzo Wiratama—pewaris keluarga konglomerat yang dingin dan ambisius. Tujuannya satu, melahirkan seorang anak yang akan menjadi pewaris kekayaan Wiratama. agar Kenzo bisa memenuhi syarat warisan dari sang kakek. Di balik pernikahan kontrak itu, tersembunyi tekanan dari ibu tiri Liana, intrik keluarga besar Wiratama, dan rahasia masa lalu yang mengguncang.
Saat hubungan Liana dan Kenzo mulai meluruhkan tembok di antara mereka, waktu terus berjalan... Akankah Liana berhasil hamil dalam 30 hari? Ataukah justru cinta yang tumbuh di antara mereka menjadi taruhan terbesar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mira j, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 4
Suara tawa riang dari rumah Sandra siang itu begitu mencolok. Vika melonjak girang, menatap motor matic merah marun yang terparkir manis di halaman rumah mereka.
“Ma, beneran ini buat aku?” Vika hampir menangis saking senangnya.
Sandra mengangguk dan tersenyum puas. “Buat kamu, Nak. Kamu sebentar lagi lulus, Mama pengen kamu semangat dan lebih mandiri.”
Baru saja mereka masuk ke dalam rumah, suara nyinyir langsung menyambar dari balik pagar.
“Wih, rame amat. Beli motor baru, Bu Sandra?” Suara itu milik Bu Jumi, tetangga sebelah yang dikenal suka mencampuri urusan orang lain. Ia berdiri dengan tangan menyilang dan wajah sinis. “Uang dari mana? Katanya nggak kerja. Suami sakit-sakitan. Jangan-jangan nipu anak sendiri ya? Si Liana dikibulin?”
Sandra yang semula hendak menahan diri, kini menatap tajam wanita itu. Ia melangkah ke depan pagar, menatap Bu Jumi tepat di mata.
“Bu Jumi, saya capek dengar ocehan Ibu. Sekali lagi Ibu tuduh kami nipu anak sendiri, saya nggak segan melaporkan ibu ke polisi .Liana kerja halal di luar negeri, dan dia tahu kami merawat ayah nya. Motor ini hadiah dari dia buat adiknya!”
Bu Jumi terkejut, mulutnya membuka menahan amarah.
“Kami nggak minta-minta ke siapa-siapa, Bu. Kalau kami bisa senang, itu karena kerja keras anak saya. Jangan suka ribut kalau nggak tahu kebenarannya!”
Sandra segera menutup pintu pagar dengan keras, membuat Bu Jumi terdiam sesaat sebelum pergi sambil bergumam kesal.
Beberapa hari setelah kejadian itu, Sandra mulai menyebarkan kabar bahwa Liana kini bekerja di luar negeri sebagai tenaga profesional. Ia berbicara kepada tetangga saat belanja di warung, saat arisan, dan ketika menjemur pakaian.
“Alhamdulillah, Liana kerja di luar negeri. Gajinya cukup buat bantu kami di sini,” kata Sandra dengan bangga pada Ibu-ibu di warung. “Motor itu juga dari dia, katanya buat Vika biar nggak repot ke sekolah.”
Cerita itu cepat menyebar. Perlahan-lahan, rasa penasaran dan kecurigaan tetangga mulai berubah menjadi decak kagum. Banyak yang kemudian memuji kerja keras Liana dan bangga pada Sandra yang bisa membesarkan anak-anaknya dengan baik.
Sementara itu, di dalam rumah, Vika memeluk Sandra erat. “Ma, makasih udah belain aku.”
"Bu Sandra, saya dengar Liana kerja di luar negeri? Hebat ya, anak sekarang jarang yang mau berkorban seperti itu," ujar Bu Lilis sambil menyodorkan jajanan pasar saat mereka berpapasan.
Sandra tersenyum dengan wajah dibuat lelah namun penuh kebanggaan palsu. "Iya, Bu. Liana itu maksa banget pengen bantu saya dan ingin mengobati ayah nya. Dia bilang, biar saya gak terlalu capek kerja . Jadi ya kami ikhlaskan demi masa depannya juga."
Namun, dibalik semua pujian dan empati yang diterimanya, Sandra dan putrinya, Vika, sedang menikmati hidup dari uang hasil “penjualan” Liana secara diam-diam.
Di ruang tamu yang sejuk ber-AC, Sandra memandangi tumpukan uang tunai di meja. “Akhirnya kita bisa hidup enak ya ma”. Kata Vika.
“ Tentu saja nak , apalagi kalau Liana cepat hamil kita akan dapat bonus lagi “. Sahut Sandra .
Vika yang sedang memainkan ponselnya mendengus kecil, “Gila ya, Ma. Orang-orang percaya Liana kerja di kantor luar negeri, padahal dia disuruh mengandung anak orang. Rahimnya disewa kayak mesin produksi ha..ha..”
Sandra tertawa pelan, suara tawanya kering dan dingin. “Yang penting kita untung, Vik. Hidup ini keras. Kalau kita nggak pintar memanfaatkan peluang, kita yang bakal dimanfaatin.”
“Kita jago banget bikin tetangga percaya,” ujar Vika sambil terkekeh. “Bu Jumi sampai minta anak nya dicariin kerja juga,pengen kayak Lian ha..ha …..dasar bodoh .”
Sandra menoleh ke arah Vika. “Biarin aja. kita nikmati uang Iki ,kita senang senang . Tapi ingat, jangan sampai Liana macam macam disana kalau tidak kita bakalan kena imbasnya.”
Di luar rumah, para tetangga masih sibuk memuji dan mendoakan keberhasilan Liana yang mereka anggap sebagai anak berbakti. Tak satupun dari mereka tahu bahwa Liana telah menjadi korban — rahimnya disewa secara paksa, demi uang yang kini dinikmati ibu tiri nya sendiri.
Namun langit tidak selamanya cerah. Satu rahasia saja yang terbongkar, dan semuanya bisa runtuh dalam sekejap.
*
*
*
Sinar matahari pagi menerobos masuk lewat celah tirai jendela. Liana menggeliat pelan, lalu membuka matanya perlahan. Namun, detik berikutnya tubuhnya menegang. Ia tersentak saat menyadari bahwa dirinya memeluk tubuh seorang pria—Kenzo.
Dengan cepat ia melepaskan pelukannya dan bangkit dari tempat tidur, membalut tubuhnya dengan selimut sambil mundur ke dinding. Nafasnya memburu, tapi bukan karena takut—melainkan marah. Marah pada nasib, pada ibunya, dan pada pria di depannya.
“Aku benci ini...” desis Liana lirih, tapi penuh emosi. “Aku benci aku dijual seperti barang... ..menjual rahimku …!”
Kenzo membuka matanya. Tatapannya dingin, tajam seperti bilah es. Ia bangkit perlahan, lalu berdiri menghadapi Liana dengan sikap kaku.
“Sudah terlambat untuk menyesal,” katanya datar. “Kontrak sudah di sepakati. Uang sudah dibayar. Dan kamu... kamu bagian dari kesepakatan.”
“Kesepakatan?!” Liana tertawa getir, matanya merah menahan amarah. “Kesepakatan macam apa yang melibatkan tubuh perempuan sebagai komoditas?! Apa kamu pikir aku rela?!”
Kenzo mendekat satu langkah. Wajahnya tetap tanpa ekspresi, namun suaranya terdengar tegas, tajam, dan menusuk.
“Jangan bersikap seakan-akan kamu korban murni di sini, Liana. Kamu tahu apa yang terjadi. Kamu bisa menolak sejak awal. Tapi kamu diam. Kamu ikut. Karena kamu butuh uang, kan?”
Wajah Liana pucat. Kata-kata itu seperti tamparan. Matanya menatap Kenzo dengan campuran marah dan sakit hati.
“Aku ikut karena dipaksa! Karena aku dijebak! Aku nggak punya pilihan, dan kamu tahu itu!”
Kenzo menyilangkan tangan, nafasnya berat. “Kalau begitu, jalani saja. Selesaikan peranmu. Setelah semua selesai, kamu bebas pergi. Dan kita tidak perlu saling melihat lagi.”
Liana menggigit bibirnya kuat-kuat, menahan air mata yang hendak jatuh. Ia membalikkan badan, melangkah cepat ke kamar mandi dan mengunci pintu.
Di balik pintu, tangisnya pecah. Ia sendirian. Dipaksa menjadi sesuatu yang tak pernah ia pilih.
Sementara di luar, Kenzo hanya berdiri diam. Tatapannya kosong ke arah tempat tidur, lalu ke arah pintu kamar mandi.
Dunia mereka baru saja dimulai—dengan luka, ketegangan, dan keheningan yang menyesakkan.
Kenzo ahirnya mandi di ruangan lain.setelah selesai ia segera kembali kekamar Liana.
Kenzo berdiri di depan pintu kamar mandi dengan wajah masam. Matanya sempat melirik jam di dinding—waktu terus berjalan, tapi Liana belum juga keluar. Ia menghela napas panjang, lalu mengetuk pintu cukup keras.
“Liana, sampai kapan kamu mau bersembunyi di dalam situ?” suaranya terdengar dingin dan tegas. “Keluar. Sekarang.”
Tak ada jawaban. Hanya keheningan.
Kenzo mengetuk sekali lagi, lebih keras. “Jangan bikin aku dobrak pintu ini.”
Beberapa detik kemudian, terdengar bunyi klik dari dalam. Pintu kamar mandi terbuka perlahan. Liana berdiri di ambang pintu, tubuhnya masih dibalut erat oleh selimut yang tadi ia bawa. Wajahnya pucat, matanya sembab, tapi sorot matanya tetap menunjukkan keberanian.
Kenzo menatapnya tanpa ekspresi. “Berapa lama kamu mau terus bersikap seperti korban?apa kamu pikir semua ini mudah buatku?”
Liana menggigit bibirnya, hatinya terasa dicekam ketakutan, tapi ia berusaha tetap tegak. “Aku cuma butuh waktu… untuk menerima semuanya,” bisiknya lirih.
Kenzo mendekat satu langkah, tapi tak menyentuhnya. “Waktu? Dunia ini nggak punya banyak waktu untuk orang yang lemah. Aku sudah cukup bersabar.”
Liana hanya diam. Ia melangkah perlahan melewati Kenzo, menuju tempat tidur, lalu duduk di ujung ranjang dengan kepala tertunduk.
Kenzo menatapnya sejenak, kemudian berjalan ke arah jendela. Ia membuka tirai lebar-lebar, membiarkan cahaya matahari memenuhi ruangan.
“Mulai sekarang, kamu tinggal di sini. Dan kita akan jalani semua ini seperti yang sudah disepakati. Kalau kamu nggak sanggup, katakan dari sekarang. Tapi kamu tau resikonya kan ?.”
Liana mengangkat wajahnya pelan, menatap punggung Kenzo yang tegap di hadapannya. Dalam diam, ia tahu... hidupnya tak akan pernah sama lagi.
Kenzo menatap Liana dengan dahi mengernyit, ekspresi bingung tergambar jelas di wajahnya.
"Kenapa kamu masih membungkus tubuhmu dengan selimut, hah?" katanya ketus. "Ganti baju. Aku nggak suka wanita jorok."
Liana menunduk, menggigit bibir bawahnya dengan gugup. Ia melirik Kenzo sekilas, lalu menjawab lirih, hampir seperti bisikan, “Aku... aku nggak punya baju.”
Kenzo terdiam sejenak. Matanya menyipit penuh curiga. “Nggak mungkin,” gumamnya. “Claudia bilang semua sudah disiapkan.”
Ia segera berjalan menuju lemari besar di sudut kamar. Dengan gerakan kasar, ia menarik pintu lemari terbuka. Namun, yang terlihat justru membuatnya melongo sejenak—isi lemari itu penuh dengan gaun malam mewah, lingerie, dan pakaian dalam berenda yang lebih cocok dipakai untuk menggoda, bukan untuk berpakaian layak sehari-hari.
“Ini apaan…” desisnya dengan nada kesal.
Liana memandangi isi lemari dari jauh, pipinya memerah malu. Kenzo menoleh ke arahnya dengan ekspresi frustasi.
“Claudia sialan,” gumamnya pelan tapi tajam. Ia mengusap wajahnya dengan telapak tangan, menahan emosi.
Lalu ia berkata ketus, “Tunggu sini. Aku ambilkan pakaian yang layak.”
Tanpa menunggu jawaban, Kenzo keluar kamar dengan langkah cepat. Liana masih duduk di tepi ranjang, menggenggam erat selimut di tubuhnya, perasaanya campur aduk.
Kenzo kembali dengan langkah cepat, di tangannya tergenggam kaus abu-abu longgar dan celana pendek olahraga miliknya. Ia melemparkan pakaian itu ke arah tempat tidur, membuat Liana sedikit terlonjak kaget.
“Pakai ini dulu. Aku nggak mau lihat kamu keluyuran pakai selimut kayak orang gila,” ucap Kenzo dingin.
Liana mengangguk pelan, memeluk pakaian itu erat-erat. Ia menunduk, merasa malu sekaligus tak berdaya.ia segera masuk Mengganti bajunya di kamar mandi .
Tanpa banyak bicara lagi, Kenzo mengeluarkan ponselnya dan menelepon seseorang. “Bawa beberapa pakaian wanita ke kamar saya. Ukurannya… kecil. Sekarang.”
Setelah menutup telepon, tatapannya tajam, namun tak sekejam sebelumnya. Ia lalu duduk di sofa dan mengambil tablet di meja, pura-pura membaca sesuatu meski sesekali matanya melirik ke arah pintu kamar mandi.
Beberapa menit kemudian, ketukan terdengar di pintu. Seorang staf perempuan masuk dengan beberapa kantong belanja dari butik ternama. Ia meletakkannya di atas meja kecil, lalu pergi tanpa bicara.
Liana keluar dari kamar mandi menggunakan baju yang diberikan Kenzo pada nya. Ini hanya awal, pikirnya. Awal dari kenyataan pahit yang harus dihadapi.