Ia adalah Echo bernama Jae, idol pria berwajah mirip dengan jake Enhypen. Leni terlempar kedua itu dan mencari jalan untuk pulang. Namun jika ia pulang ia tak akan bertemu si Echo dingin yang telah berhasil membuat ia jatuh cinta
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sabana01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Respon ditengah Malam
Leni duduk di tepi kasur king size yang terlalu empuk, di kamar yang terlalu mewah untuk seseorang yang terbiasa tidur di kasur tipis dekat kulkas minuman dingin minimarket. Rumah itu sunyi sekali—sunyi yang membuat telinganya berdengung, mengingatkan pada suara kipas angin minimarket yang selalu berputar tanpa lelah.
Ia menatap layar ponsel. Menunggu balasan Jae terasa lebih menegangkan daripada saat ia dikejar di gang sempit tadi. Dua menit terasa seperti dua jam.
Ponselnya bergetar.
Jantung Leni langsung naik ke tenggorokan. Ia membuka pesan itu cepat—lalu gemas setengah mati membaca isinya.
[Lee Jae-Yoon]:
Tujuh jam. Besok pagi, pukul 04.30 KST. Gang di belakang Toko Musik Starfield, Gangnam-gu.
Datang sendirian. Jangan coba-coba hubungi siapa pun di sini.
Dan… simpan ancaman konyolmu. Aku tahu kau tidak akan melakukannya. Kau hanya ingin kembali.
Leni mendengus kesal. Ucapannya memang menyebalkan—tapi setidaknya ia membalas. Setidaknya dia tahu bahwa Leni ini adalah Leni yang asli.
Ia menatap jam digital di dinding: 21.30.
Masih tujuh jam lagi. Tidak boleh tidur. Tidak boleh lengah.
Ia mandi dulu, mencoba menenangkan tubuhnya. Air hangat jatuh deras di kulitnya, membuatnya merasa seperti sedang mandi di hotel bintang lima. Tapi meski tubuhnya hangat, hatinya tetap gelisah. Ia kangen bau kopi instan, kangen suara plastik kresek, kangen dunia yang tidak sempurna tapi familiar.
Usai mandi, ia membuka lemari Kim Leni. Isinya seperti butik besar. Tapi ia justru mengambil hoodie gelap, jeans biasa, dan sneakers yang paling tidak mencolok. Ia butuh menyamar—dan butuh merasa dirinya sendiri.
Di sisa waktu yang ada, ia memeriksa buku harian Kim Leni lagi. Ada tulisan yang membuatnya berhenti membaca sebentar.
2 Agustus.
Jae menatapku lagi hari ini. Aku bertanya kenapa dia mirip Jake. Dia cuma tertawa dingin dan bilang, “Jake hanya mimpi indahmu, Kim Leni.”
Aku benci dia. Tapi… entah kenapa, aku tertarik. Seperti dia menyimpan sesuatu. Seperti hanya dia yang bisa melihat aku yang asli.
Leni menutup buku itu cepat. Obsesi Kim Leni terasa begitu nyata—dan jujur saja, cukup merinding.
Saat ia membuka laci meja rias, matanya menangkap sesuatu yang mengkilat: kartu akses berwarna perak. Ada logo J-Cosmetic di pojok.
Leni mengambilnya. Ia tidak tahu kapan kartu itu akan berguna, tapi ia yakin ia harus menyimpannya.
Waktu berjalan lambat. Saat jam menunjukkan 04.00, tubuh Leni menegang. Ini saatnya.
Ia mengenakan seragam minimarketnya di balik hoodie—seolah itu identitas yang tidak ingin ia tinggalkan. Ia membawa ponsel, kartu akses, dan sedikit uang tunai.
Pelan-pelan, ia membuka pintu kamar. Rumah besar itu gelap, hanya lampu sensor yang menyala redup. Leni berjalan sepelan mungkin, hingga hampir tidak terdengar.
Ia hampir sampai di pintu utama ketika sebuah suara membuatnya tersentak.
“Agassi… mau ke mana Anda?”
Sekretaris Choi.
Wanita itu duduk di sofa, berbalut selimut tipis, matanya tajam seperti burung hantu. Jelas ia tidak tidur semalaman.
“A-aku haus… mau ambil air,” kata Leni gugup, mencoba terdengar formal.
Tatapan Sekretaris Choi turun ke sepatu dan hoodie gelap Leni.
“Dapur bukan di arah sana. Dan… mengapa Anda berpakaian seperti itu?”
Leni panik. Ia tak bisa melawan. Tak bisa kabur begitu saja. Satu-satunya jalan adalah…
Berakting seperti Kim Leni.
Leni mendongak, meniru ekspresi sombong yang ia lihat berkali-kali dari catatan harian.
“Aku bosan di kamar. Mau keluar sebentar. Kenapa? Harus lapor padamu dulu, Sekretaris Choi?”
Wanita itu terpaku, jelas tak menyangka perubahan sikap itu.
“B-bukan begitu, Agassi. Tapi Paman Kang—”
“Aku bilang cuma keluar sebentar! Jangan mengekangku seperti tahanan!”
Leni langsung berbalik, tidak memberi waktu wanita itu untuk merespons. Ia berjalan cepat menuju pintu samping, membuka kunci, dan melangkah keluar.
Udara dingin menusuk hidung dan pipinya, membuat napasnya keluar dalam uap tipis. Ia tidak menoleh ke belakang. Tidak sekarang.
Ia berlari menyeberangi halaman luas, dan saat sampai di gerbang, penjaga yang mengenalnya sebagai “Kim Leni” langsung ragu, tapi akhirnya membuka pintu setelah Leni bilang ingin jalan pagi.
Begitu gerbang tertutup di belakangnya, Leni baru berani menarik napas panjang.
Jalanan Cheongdam-dong masih sepi. Lampu jalan masih menyala. Udara subuh masih berat dan dingin.
Leni memasukkan tangannya ke kantong hoodie.
Ia berjalan cepat.
Ke gang belakang Toko Musik Starfield.
Ke Lee Jae-Yoon.
Ke satu-satunya orang yang bisa membawanya pulang.
Atau… ke seseorang yang akan menjerumuskannya lebih dalam.