Di hari ketika dunia runtuh oleh Virus X-Z, kota berubah menjadi neraka. Zombie berkeliaran, manusia bertahan mati-matian, dan pemerintahan hancur dalam hitungan jam.
Di tengah kekacauan itu, Raka, seorang pria yang seluruh hidupnya terasa biasa, tiba-tiba mendapatkan Zombie Hunter System—sebuah sistem misterius yang memungkinkannya melihat level setiap zombie, meningkatkan skill, dan meng-upgrade segala benda yang ia sentuh.
Saat menyelamatkan seorang wanita bernama Alya, keduanya terjebak dalam situasi hidup-mati yang memaksa mereka bekerja sama. Alya yang awalnya keras kepala perlahan melihat bahwa Raka bukan lagi “orang biasa”, tetapi harapan terakhir di dunia yang hancur.
Dengan sistemnya, Raka menemukan kendaraan butut yang bisa di-upgrade menjadi Bus Tempur Sistem:
Memperbesar ukuran hingga seperti bus lapis baja
Turret otomatis
Armor regeneratif
Mode penyimpanan seperti game
Dan fitur rahasia yang hanya aktif ketika Raka melindungi orang yang ia anggap “pasangan hidup”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyu Yudi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jeritan Dalam Gelap
Hujan semakin deras ketika langit malam menelan seluruh cahaya kota yang telah mati. Raka duduk di kursi depan mobil—yang kini telah menjadi kendaraan tempur mini—sementara mesin berdengung halus dengan sinar biru dari sistem yang terus aktif. Wiper bekerja keras, namun kabut dan percikan air tetap membuat pandangan berbayang.
Alya duduk di kursi penumpang, tubuhnya diselimuti jaket tipis yang masih basah. Ia memeluk lutut sambil menahan rasa dingin, dan juga rasa takut yang sejak tadi tak mau hilang.
“Barusan itu… zombie apa?” tanya Alya pelan. Suaranya bahkan bergetar.
Raka tidak langsung menjawab. Ia menatap kaca depan, memikirkan zombie raksasa tadi—yang hanya sempat terlihat beberapa detik di antara kabut—namun meninggalkan tekanan yang terasa jelas seperti ancaman yang belum selesai.
“Aku… belum tahu,” jawab Raka akhirnya. “Tapi yang jelas, bukan zombie biasa.”
Alya menggigit bibir. “Kalau mereka bisa berevolusi secepat itu… apa kita bisa bertahan?”
“Selama kita bergerak, bisa.” Raka menoleh, menatap matanya. “Selama aku ada di sini, kamu akan aman.”
Alya menunduk, wajahnya merah namun tetap tegang.
Di luar, suara hujan menyembur ke kaca seperti ribuan jarum air menabrak permukaan. Sesekali terdengar geraman samar dari kejauhan, namun kabut tebal membuat semua arah terdengar sama.
Raka memeriksa jam digital di dashboard—hasil upgrade Sistem Mobil memberikan banyak fitur tambahan termasuk waktu, radar mini, dan status kendaraan.
22:41
Masih terlalu dini untuk berhenti.
“Raka.”
Alya kembali memanggilnya.
“Hmm?”
“Aku… dengar suara lain barusan.”
Raka berhenti menggerakkan jarinya di layar sistem. “Suara apa?”
Alya memejamkan mata, berusaha memusatkan pendengaran.
“Kayak… suara orang berteriak. Jauh… tapi jelas.”
Raka langsung memperbesar tampilan radar. Hanya titik-titik merah yang menandakan zombie, bergerak lambat seperti selalu. Tidak ada tanda manusia.
“Arah mana?” tanya Raka.
Alya menunjuk ke kiri, ke arah gedung apartemen tinggi yang sebagian dindingnya ambruk.
“Dari sana.”
Raka menatap gedung itu. Gelap total, retak hampir di seluruh sisi, dan bagian lantai atas masih terbakar kecil—mungkin sisa kecelakaan beberapa jam yang lalu.
Gedung itu terlihat seperti kuburan raksasa.
“Radar nggak menangkap tanda manusia,” gumam Raka.
Alya menatapnya dengan tatapan meminta. “Tapi aku dengar, Rak. Beneran.”
Raka menghela napas, memeriksa kembali senjata di pinggangnya. Ia tidak kesulitan membuat keputusan—nalurinya selalu sama: jika ada manusia yang masih hidup, ia tidak bisa meninggalkannya begitu saja.
Dan ia tahu Alya akan tersiksa kalau mereka pergi begitu saja.
“Baik.” Raka mematikan mesin. “Kita cek sebentar.”
Alya memegang lengannya. “Tapi bahaya…”
Raka tersenyum tipis. “Bahaya itu hobiku.”
Alya memukul bahunya pelan, tapi wajahnya tidak bisa menyembunyikan rasa lega.
Mereka turun dari kendaraan.
Hujan membuat jalan aspal memantulkan cahaya biru dari lampu mobil, menciptakan kesan seperti berjalan di dalam dunia lain. Udara bau apek dan darah. Di kejauhan, terdengar suara besi beradu—entah apa penyebabnya.
Begitu mendekati pintu depan apartemen, suara itu muncul lagi.
“Tolong…! Siapa pun… tolong aku…”
Alya terkejut. “Itu… suara perempuan.”
Raka mengangguk. “…Dan terdengar sangat dekat.”
Di dalam gedung yang gelap, suara itu menggema seakan berasal dari semua arah.
Raka mengeluarkan senter kecil yang terpasang pada pistolnya, lalu masuk perlahan.
Kondisi dalam gedung sangat kacau: furnitur hancur, kaca bertebaran, dan bercak darah di dinding. Tangga utama terlihat roboh di beberapa titik. Bau busuk menusuk hidung.
Alya terbatuk kecil.
“Kamu nggak apa-apa?” tanya Raka.
“Sedikit pusing, tapi aku kuat.”
Mereka berjalan menyusuri lorong lantai dasar. Lampu emergency masih berkedip lemah, warna merahnya membuat suasana seperti adegan film horor.
Suara lagi.
“Tolong… ada orang…?”
Alya langsung menengok ke salah satu pintu kamar yang terbuka sedikit.
“Dari sana!”
Raka memeriksa lantai depan pintu—tidak ada bekas seretan, tidak ada tanda zombie, tapi juga terlalu sepi.
Ia menempelkan jari di mulut, menyuruh Alya tetap diam.
Perlahan, Raka mendorong pintu.
Kamar itu gelap total. Bau busuk menusuk lebih kuat. Sesuatu terasa… salah.
Raka mengarahkan senter.
Di tengah kamar, seorang perempuan berusia 25–27 tahun duduk bersandar di dinding, tubuhnya gemetar, wajahnya pucat, dan kedua kaki terkena luka lebam parah.
Alya langsung bergerak.
“Dia masih hidup!”
“Jangan dulu,” gumam Raka.
Ia melangkah maju, senjata masih terangkat.
“Namamu siapa?” tanya Raka.
Perempuan itu menatapnya sambil menangis. “Li-Lina… Tolong aku… aku sudah terjebak… dari tadi pagi…”
Alya berjongkok mendekat, namun Raka mengangkat tangan menghentikannya.
“Ada yang aneh,” bisiknya.
Alya mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”
Raka menunduk, memperhatikan lantai di sekitar perempuan itu.
Tidak ada genangan darah.
Tidak ada percikan.
Tidak ada tanda tubuh yang diseret masuk.
Terlalu bersih… untuk orang yang kakinya lebam parah.
Suara lain terdengar.
Krek…
Krek…
Krek…
Raka mengangkat senjata seketika.
Alya menelan ludah. “Raka… itu suara apa?”
“Bukan suara manusia,” jawab Raka datar.
Dari bawah tempat tidur, muncul tangan pucat keabuan… lalu kepala zombie kecil dengan leher yang panjang dan mulut ternganga lebar, lebih besar dari ukuran wajahnya.
Alya menjerit kecil. “APA ITU!?”
Zombie itu merayap cepat ke arah mereka—bukan merangkak seperti zombie biasa, tapi seperti laba-laba, dengan kecepatan yang tak wajar.
Raka langsung menendangnya keras.
BRAKK!
Zombie itu terpental ke dinding.
Namun dari arah lemari, dua lengan lagi muncul… lalu satu lagi dari ventilasi udara.
Alya bergetar. “Mereka… mengumpet?”
Raka mengencangkan rahangnya. “Ini bukan jebakan manusia. Ini… jebakan zombie.”
Perempuan bernama Lina menunduk, dan suara patah terdengar dari tubuhnya.
KRAAAK.
Ia mendongak.
Matanya berubah putih seluruhnya.
Mulutnya robek perlahan.
Lehernya memanjang seperti karet.
Dan seluruh tulang rusuknya bergerak menggeliat.
Alya mundur. “Raka… dia—dia berubah!?”
Raka mendorong Alya ke belakangnya. “Ke pintu. Sekarang.”
Zombie “Lina” menjerit panjang, frekuensinya tinggi dan memekakkan telinga.
Dalam sekejap, seluruh dinding kamar bergetar.
Teriakan itu memanggil zombie lain.
Lorong luar langsung terdengar gaduh:
Langkah-langkah cepat…
Gerakan merayap…
Dan geraman kecil yang bercampur satu sama lain.
Alya panik. “Raka, mereka datang dari semua arah!”
Raka tidak panik. “Kita keluar.”
Zombie-laba-laba yang tadi terpental sudah berdiri, merayap ke dinding dengan gerakan cepat. Raka menembaknya tepat di kepala—pelurunya langsung menembus.
Namun dua zombie kecil lain sudah melompat dari ventilasi udara.
Raka menangkap Alya, menariknya keluar kamar.
“LARI!”
Mereka berdua berlari melalui lorong, melewati pintu-pintu yang kini bergetar karena sesuatu di baliknya berusaha keluar.
Suara langkah-langkah di atas plafon juga terdengar—zombie jenis baru itu bisa memanjat seperti hewan.
Alya menjerit melihat satu zombie melompat dari langit-langit.
Raka menariknya ke samping, menendang zombie itu hingga jatuh ke lantai, lalu menembaknya tanpa menoleh.
Mereka nyaris tiba di pintu keluar, namun…
BOOOM!
Pintu besi itu tertutup sendiri dengan keras.
Dari dalam, terdengar suara sistem mekanik—pintu otomatis rusak akibat listrik sisa gedung.
“Kita terjebak!” Alya panik.
Raka memukul pintu—tidak bergerak.
Zombie-zombie kecil mulai bermunculan di ujung lorong. Jumlah mereka belasan… lalu puluhan.
Alya memeluk lengan Raka. “Raka… apa kita bisa keluar?”
Raka menyeringai tipis.
Seolah ketakutan adalah bahan bakarnya, bukan penghalang.
“Tentu bisa.”
Ia melepaskan sarung tangan taktis dari tangannya. Di bawahnya, gelang System miliknya menyala.
Alya terbelalak. “Raka… kamu mau pakai kemampuan itu?”
“Kalau bukan sekarang… kapan lagi?”
Raka menepuk kepala Alya pelan. “Pegangan.”
Alya langsung memeluk pinggangnya dari belakang.
Raka mengangkat tangan kanan.
[SYSTEM – MODE PERTAHANAN AKTIF]
Kilatan biru langsung menyebar seperti arus listrik ke seluruh tubuh Raka.
Zombie-zombie itu berhenti sejenak, seolah menyadari sesuatu yang jauh lebih berbahaya berdiri di ujung lorong.
Raka menatap mereka tanpa berkedip.
“Kalian mau main? Ayo.”
Lorong itu berubah biru.
Dan babak baru dari mimpi buruk mereka dimulai.
—BERSAMBUNG KE BAB 12—
semangat thor