NovelToon NovelToon
Jejak Janda Di Jantung Duda

Jejak Janda Di Jantung Duda

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / Identitas Tersembunyi / Bullying dan Balas Dendam / Duda
Popularitas:275
Nilai: 5
Nama Author: Elena A

Elena hanya ingin menguji. Setelah terbuai kata-kata manis dari seorang duda bernama Rd. Arya Arsya yang memiliki nama asli Panji Asmara. Elena melancarkan ujian kesetiaan kecil, yaitu mengirim foto pribadinya yang tak jujur.

Namun, pengakuan tulusnya disambut dengan tindakan memblokir akun whattsaap, juga akun facebook Elena. Meskipun tindakan memblokir itu bagi Elena sia-sia karena ia tetap tahu setiap postingan dan komentar Panji di media sosial.

Bagi Panji Asmara, ketidakjujuran adalah alarm bahaya yang menyakitkan, karena dipicu oleh trauma masa lalunya yang ditinggalkan oleh istri yang menuduhnya berselingkuh dengan ibu mertua. Ia memilih Ratu Widaningsih Asmara, seorang janda anggun yang taktis dan dewasa, juga seorang dosen sebagai pelabuhan baru.

Mengetahui semua itu, luka Elena berubah menjadi bara dendam yang berkobar. Tapi apakah dendam akan terasa lebih manis dari cinta? Dan bisakah seorang janda meninggalkan jejak pembalasan di jantung duda yang traumatis?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elena A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Berakhir di Sebuah Dermaga Pribadi

"Tiga puluh detik dari sekarang, Elena! Jangan sampai aku harus mengotori halaman rumah cantik ini dengan otak bosmu!"

Suara Heru yang bergema dari speaker di luar vila terasa seperti pisau yang mengiris nyali Elena. Di layar monitor, dia bisa melihat Panji, pria yang tadinya begitu berkuasa, kini terkulai lemas di tangan Heru. Kepalanya tertunduk, perbannya yang putih di balik kemeja rumah sakit mulai kembali memerah.

"Elena, jangan!" Sari mencengkeram lengan Elena. "Kalau kamu keluar sekarang, semua pengorbanan Renat dan Budi sia-sia. Buku itu kunci segalanya!"

Elena menepis tangan Sari pelan, matanya tidak lepas dari sosok Panji  yang terlihat di layar. "Kalau aku hanya diam saja, dia akan mati sekarang, Kak. Dan aku nggak bisa hidup dengan rasa bersalah kayak gini."

Elena menarik napas panjang. Dia meraba saku jaketnya, memastikan kunci fisik dan buku sketch Renata masih  ada di sana. Pikirannya berputar liar. Dia butuh rencana baru, bukan sekadar menyerah.

"Kak Sari, apakah  ada pintu keluar yang  lain? Yang langsung ke arah belakang mobil mereka?" tanya Elena cepat.

"Ada jalan setapak lewat gudang alat, tapi itu curam dan menakutkan. Kenapa?"

"Aku butuh Kakak buat akses sistem suara keluar. Apakah bisa, Kak?"

Sari mengangguk mantap, jarinya mulai menari di atas keyboard. "Iya, Aku bisa bajak sistem speaker mereka lewat jaringan lokal vila ini."

"Oke. Dalam hitungan ke sepuluh, Kakak putar rekaman suara Renata yang ada di folder alibi pribadi. Buat suaranya seolah berasal dari dalam hutan di belakang mereka. Aku bakal keluar lewat pintu depan buat mengalihkan perhatian Heru."

Satu... dua... Elena melangkah ke pintu jati besar vila itu.

Sepuluh!

Tiba-tiba, suara lembut Renata bergema di seluruh halaman villa, memantul di antara pepohonan cisarua yang berkabut.

"Heru... Hentikan semuanya! Jangan tambah lagi dosamu pada Aa Panji..."

Heru tersentak gila. Dia langsung menoleh ke arah hutan gelap di belakangnya, senjatanya berayun panik. "Renata? Nggak mungkin! Bukankah kamu ada di luar negeri?"

Bersamaan dengan itu,  Elena menendang pintu depan hingga terbuka lebar. "Lepasin dia, Heru!"

Heru kembali menoleh ke arah Elena, tapi konsentrasinya sudah pecah. Panji yang tadinya lemas, tiba-tiba sedikit tersadar karena suara Renata. Dengan sisa tenaga yang entah datang dari mana, Panji menyikut ulu hati Heru.

DOR!

Tembakan Heru meleset ke udara. Heru jatuh terjungkal, tapi dia masih memegang senjatanya. Sementara Elena berlari kencang, menerjang Heru sebelum pria itu bisa membidik lagi. Mereka bergumul di atas rumput yang basah oleh embun.

"Dasar perempuan sialan!" Heru meninju wajah Elena, tapi Elena tidak melepaskan cengkeramannya pada tangan Heru yang memegang pistol.

Tiba-tiba, sebuah mobil hitam lain menderu masuk ke halaman, cahayanya menyilaukan mata. Mobil itu menabrak mobil anak buah Heru hingga terpental. Pintu terbuka, dan Budi keluar dengan wajah penuh luka, memegang senapan laras panjang.

"Tiarap, Elena!" teriak Budi.

Elena berguling menjauh. Budi melepaskan tembakan peringatan ke arah anak buah Heru yang mulai keluar dari mobil-mobil lain. Suasana jadi kacau balau. Baku tembak pecah di tengah kabut pegunungan.

Elena merangkak ke arah Panji yang tergeletak di tanah. "Aa! Bangun, Aa! Kita harus pergi dari, Aa"

Panji membuka matanya sedikit, menatap Elena dengan pandangan kabur. "Dek Anin... suaramu... persis kayak  Renata..."

"Bukan, Aa, ini aku. Ayok, bangun, Aa!" Elena memapah Panji menuju mobil Budi di tengah hujan peluru.

Budi terus membalas tembakan, memberikan perlindungan. "Masuklah ke dalam mobil! Sekarang!"

Mereka berhasil masuk. Budi menginjak gas, memutar balik mobilnya dengan liar hingga kerikil berhamburan, meninggalkan halaman vila yang kini menjadi medan perang itu.

Di dalam mobil yang melaju kencang menuruni jalur puncak, napas Elena tersengal-sengal. Dia memeluk buku Renata seperti sedang memeluk nyawanya sendiri. Di sampingnya, Panji bersandar di bahunya, napasnya pendek-pendek.

"Budi, kita ke mau mana? Apakah ke rumah sakit lagi?" tanya Elena panik.

"Nggak bisa. Semua rumah sakit besar sudah dijaga orang-orang organisasi. Mereka sudah tahu kalau Panji diculik dari sana," jawab Budi sambil terus memantau kaca spion. "Kita harus ke tempat persembunyian kedua. Di sana ada dokter pribadi yang bisa kita percaya."

Panji tiba-tiba mencengkram tangan Elena. Suaranya sangat lemah, hampir seperti bisikan. "Di buku itu... ada halaman yang... yang harus dibakar..."

"Halaman yang mana, Aa?"

"Halaman... empat puluh empat...di sana ada sketsa wajah... orang ketiga..."

Elena segera membuka buku itu. Di halaman 44, dia melihat sketsa wajah seorang pria tua dengan tatapan matanya yang sangat tajam dan dingin. Di bawahnya, Renata menulis satu nama yang membuat Elena membeku.

"Bapak Handoyo."

Elena hampir menjatuhkan buku itu. "Nggak mungkin... Komisaris Handoyo? Dia yang membantu kita di konferensi pers! Dia yang membebaskanku dari polisi!"

Budi melirik dari spion, wajahnya menegang. “Seperti itulah permainannya, Elena. Dia membebaskanmu supaya kamu bisa membawanya pada kunci jaringan dan buku Renata. Dia bermain di dua kaki. Dia yang mempekerjakan Heru, dan dia juga yang pura-pura jadi pahlawan di depan media."

Elena merasa dunia seakan runtuh. Selama ini dia merasa punya sekutu, ternyata dia sedang menyerahkan lehernya ke algojo.

"Berarti... polisi yang mencari kita sekarang..."

"Semua di bawah kendali dia," potong Budi. "Kita sekarang benar-benar sendirian."

Mobil Budi berhenti di sebuah gudang tua di pinggiran kota Sumedang. Di sana, Sari sudah menunggu dengan perlengkapan medis. Mereka segera membawa Panji masuk.

Setelah kondisi Panji sedikit  tenang karena obat bius, Elena duduk di sudut gudang, menatap buku catatan Renata. Dia menyadari sesuatu yang aneh pada kunci fisik yang dia temukan di pabrik tekstil. Kunci itu punya ukiran halus yang kalau disatukan dengan sketsa di buku catatan Renata, akan membentuk sebuah pola koordinat.

"Budi, lihat ini," Elena menunjukkan pola itu. "Ini bukan cuma kunci server. Ini kunci akses ke brankas fisik."

Budi memeriksa pola itu dengan teliti. "Ini koordinat brankas di Bank Swiss cabang Bandung. Dan brankas itu atas nama... almarhum suamimu, Elena."

Elena terperangah. Atas nama almarhum suaminya? Apa hubungannya dengan konspirasi Asmara Cafe?

"Suamimu dulu adalah auditor independen yang disewa Renata secara diam-diam," jelas Budi pelan. "Dia dibunuh karena dia menemukan bukti kalau Asmara Cafe bukan cuma cafe biasa, tapi mesin pencuci uang untuk Proyek Garuda milik Handoyo."

Elena menangis sesenggukan. Selama ini dia pikir suaminya meninggal karena kecelakaan  kerja di Kalimantan, ternyata suaminya adalah pahlawan yang mencoba mengungkap kebenaran ini.

Tiba-tiba, suara helikopter terdengar di atas gudang. Cahaya lampu sorot raksasa menembus atap-atap seng yang berlubang.

"Perhatian, perhatian! Ini dari pihak kepolisian! Nona Elena Anindya Putri, Nona sudah terkepung! Serahkan diri Nona dan kembalikan aset Asmara Cafe yang Nona curi!"

Suara itu datang dari megafon helikopter. Tapi Elena tahu, itu bukan polisi biasa. Itu adalah unit taktis swasta milik Handoyo yang menyamar.

Budi mengambil senjatanya lagi. "Mereka ternyata cepat sekali. Elena, ambil kunci itu dan lari lewat terowongan bawah tanah. Aku akan tahan mereka di sini!"

"Nggak, Budi! Kita nggak bisa ninggalin kamu lagi!"

"Lari, Elena! Bawa Panji! Ini adalah satu-satunya cara!"

Elena menarik napas, memapah Panji yang masih setengah sadar masuk ke lubang pelarian. Di belakangnya, dia mendengar pintu depan gudang diledakkan.

Elena dan Panji merangkak di terowongan gelap yang sempit. Di ujung terowongan, Elena melihat cahaya. Dia pikir itu jalan keluar ke jalan raya, tapi saat dia sampai di sana, dia malah berakhir di sebuah dermaga pribadi yang terisolasi.

Di sana, sudah menunggu sebuah kapal yacht mewah. Dan di dek kapal, berdiri seorang pria tua dengan setelan jas rapi, memegang segelas wine.

"Selamat malam, Nona Elena. Terima kasih sudah mengantarkan Panji dan kuncinya padaku," ujar pria itu sambil tersenyum ramah.

Bukankah itu Bapak Handoyo? Di sampingnya sudah berdiri Ratu Widaningsih Asmara yang entah bagaimana sudah bebas, wajahnya penuh memar tapi tersenyum penuh kemenangan.

"Kamu pikir kamu bisa lari dari kami, Elena?" Ratu melangkah maju, memegang sebuah dokumen. "Kamu baru saja mengantarkan diri ke tempat eksekusimu. Dan coba kamu tebak apa? Media besok akan memberitakan bahwa kamu mencoba melarikan diri ke luar negeri dengan membawa bosmu sebagai sandera, dan kapal ini... kapal ini akan meledak di tengah laut karena kebocoran bahan bakar. Seru, bukan?"

Handoyo memberi isyarat pada anak buahnya yang bersenjata lengkap untuk mengepung Elena dan Panji di ujung dermaga. Elena menatap laut lepas di belakangnya, lalu menatap Panji yang pingsan di pelukannya. Kini ia tidak punya tempat untuk  berlari lagi.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!