Jessy Sadewo memiliki segalanya: kecantikan mematikan, kekayaan berlimpah, dan nama yang ditakuti di kampus. Tapi satu hal yang tak bisa dia beli: Rayyan Albar. Pria jenius berotak encer dan berwajah sempurna itu membencinya. Bagi Rayyan, Jessy hanyalah perempuan sombong.
Namun, penolakan Rayyan justru menjadi bahan bakar obsesi Jessy. Dia mengejarnya tanpa malu, menggunakan kekuasaan, uang, dan segala daya pesonanya.
My Forbidden Ex-Boyfriend adalah kisah tentang cinta yang lahir dari kebencian, gairah yang tumbuh di tengah luka, dan pengorbanan yang harus dibayar mahal. Sebuah roman panas antara dua dunia yang bertolak belakang, di mana sentuhan bisa menyakitkan, ciuman bisa menjadi racun, dan cinta yang terlarang mungkin adalah satu-satunya hal yang mampu menyembuhkan — atau justru menghancurkan — mereka berdua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NonaLebah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 5
Kamarnya adalah sebuah kapsul kemewahan yang terisolasi dari dunia. Dinding berwarna blush pink dan putih gading, dipadukan dengan furnitur berlapis velvet dan kristal. Sebuah lampu gantung kristal memantulkan cahaya lembut, menciptakan kilauan di setiap sudut. Jessy bersandar di atas kasur king-size-nya yang empuk, selimut sutra terpelintir tidak karuan di kakinya.
Matanya yang biasanya bersinar dengan keyakinan, kini sayu dan menerawang. Pikirannya tidak pada koleksi boneka beruang mewah di rak, atau pada tas branded terbaru yang masih dalam boksnya di lantai. Pikirannya tertuju pada sebuah bayangan: sebuah motor beat hitam yang usap namun terawat, yang terparkir di antara puluhan motor lain di area parkir yang aspalnya retak.
"Jadi Rayyan itu miskin banget ya?" gumamnya lirih kepada dirinya sendiri, seolah mencoba memastikan sebuah fakta yang tidak masuk akal baginya. Jari-jarinya yang terawat meremas selimut sutra. Dia membayangkan harus naik motor itu, duduk di jok yang tipis, tubuhnya yang selalu dilindungi tabir surya mahal terpapar terik matahari dan debu jalanan. Dia membayangkan kehidupan tanpa sopir pribadi, tanpa shopping ke Paris, tanpa pesta di klub eksklusif.
Sebuah keraguan yang asing menyelinap ke dalam hatinya, dingin dan menusuk. Niatnya untuk mengejar Rayyan tiba-tiba terasa seperti rencana yang konyol. Untuk apa? "Nggak deh!" gumamnya lagi, lebih keras kali ini, seolah ingin meyakinkan dirinya sendiri. "Ya kali gue harus hidup susah sama dia."
Sejujurnya, Jessy bukanlah seorang yang serakah. Dia hanya terlahir dan dibesarkan dalam gelembung kemewahan yang tak pernah pecah. Cinta, baginya, seharusnya datang dengan kemudahan dan kemewahan, bukan dengan pengorbanan yang merendahkan. Memilih untuk tidak mendekati Rayyan bukanlah tentang ketamakan, tapi tentang insting bertahan hidup untuk tetap berada di zona nyamannya yang mewah.
"Udah ah, nggak jadi deketin," ocehnya pada akhirnya, suara yang penuh dengan keputusasaan yang egois. Dengan gerakan dramatis, dia menarik selimut sutra hingga menutupi kepalanya, berusaha mengubur bayangan pria tampan bermata dingin dan motor tuanya yang menjengkelkan dalam empuknya kasur mewah. Tidur adalah pelariannya.
Suasana kantin riuh dengan obrolan mahasiswa dan aroma berbagai makanan. Jessy duduk sendirian di meja yang biasanya menjadi takhtanya. Di depannya, sepiring pasta truffle dan segelas smoothie bowl yang mahal teronggok hampir utuh. Dia menyendok makanannya dengan malas, matanya kosong menatap ke luar jendela, melihat para mahasiswa berlalu-lalang tanpa benar-benar memerhatikannya.
Nita dan Della kemudian menghampiri, wajah mereka penuh dengan keheranan.
"Makan sendirian aja, Jes?" gerutu Nita, duduk di sebelahnya tanpa menunggu undangan. Biasanya, Jessy adalah pusat perhatian, dikelilingi oleh banyak orang.
Jessy hanya menghela napas, tidak langsung menjawab. Pandangannya masih menerawang.
"Bengong aja. Masih mikirin Rayyan?" tanya Della, langsung menebak dengan akurat sambil mengambil sepotong buah dari smoothie bowl Jessy tanpa permisi.
Pertanyaan itu memecah lamunannya. Jessy menoleh, wajahnya menunjukkan keraguan yang tidak biasa.
"Rayyan itu miskin banget ya?" tanyanya tiba-tiba, suaranya hampir seperti bisikan, meminta konfirmasi atas kesimpulan menyedihkannya semalam.
Della langsung terkekeh, suaranya nyaring dan sedikit menghina. "Iya lah, miskin. Makanya kuliah di sini pakai beasiswa. Kalau pake duit ortunya, mana sanggup."
Nita ikut menyambut, menyumbangkan gossipnya dengan semangat. "Saking miskinnya sampai ambil jobs jadi ASDOS lho. Bayangin, harus ngajar junior dan ngoreksi laporan demi dapet duit." Ucapannya diiringi gelengan kepala yang penuh dengan superiority.
Kata-kata mereka seperti paku yang memaku keraguannya. Dunia Rayyan yang asing dan keras semakin nyata baginya.
"Lagian lo nggapain ngejar-ngejar cowok modelan dia," sambung Della, dengan logika dunia mereka yang sederhana. "Nggak bakal bisa dia jajanin lo."
Kalimat terakhir itu menggantung di udara. "Nggak bakal bisa dia jajanin lo." Itu adalah hukum dasar dalam persepsi mereka tentang hubungan. Jessy memandangi piring makannya yang mahal, lalu membayangkan Rayyan yang mungkin hanya makan nasi rames di warung tenda.
Sebuah perasaan aneh menggelitik hatinya. Di balik semua kesombongan dan ketidakpeduliannya, ada sesuatu tentang Rayyan—keteguhannya, kecerdasannya yang memancar, ketampanannya yang alami—yang membuat kata-kata "miskin" terasa seperti penilaian yang terlalu dangkal. Tapi realita yang dijejalkan oleh sahabat-sahabatnya itu terlalu kuat untuk dilawan.
Dia menarik napas dalam, memaksakan senyum palsu. "Iya juga sih," gumannya, menyerah pada tekanan itu. Tapi di dalam hatinya, bayangan pria itu dan motornya yang tua tidak juga hilang; mereka hanya tertimbun sementara di bawah tumpukan keraguan dan ketakutan akan kehidupan yang tidak pernah dia pahami.
***
Sinar matahari siang menyelinap melalui jendela tinggi ruang kuliah, menerangi partikel debu yang berputar malas di udara. Suasana kelas Business Management yang biasanya riuh rendah hari ini penuh dengan suara gemerisik buku dan bisikan-bisikan penasaran. Jessy, Nita, dan Della sudah duduk di barisan tengah, sebuah taktik agar tidak terlalu mencolok namun tetap bisa melihat dengan jelas.
Namun, semua rencana untuk "tidak mencolok" itu runtuh berantakan saat pintu kelas terbuka dan seorang sosok akrab melangkah masuk dengan tenangnya.
Semua bisikan langsung menguap.
Rayyan Albar berdiri di depan kelas, tapi dia terlihat... berbeda. Sebuah kacamata bingkai hitam ramping menghiasi wajahnya, membuat garis rahangnya yang tegas terlihat lebih tajam dan matanya yang biasanya seperti genangan kegelapan kini terfokus dengan intensitas yang memikat. Dia mengenakan kaus abu-abu polos yang sederhana, namun justru menonjolkan bahunya yang bidang dan postur tubuhnya yang tegap. Penampilannya adalah perpaduan sempurna antara kecerdasan yang memukau dan ketampanan yang klasik.
"Selamat siang," suaranya, bariton yang tenang namun memotong jelas, menggema di ruangan yang mendadak hening. "Saya Rayyan Albar." Setiap mata tertancap padanya, terpana. "Saya diminta untuk menggantikan Pak Darmo mengajar kalkulus untuk pertemuan hari ini."
Jantung Jessy berdetak kencang, bagai sebuah mesin uap yang dipaksa bekerja melampaui batasnya. Darah berdesir deras di telinganya, memekakkan. Dia sudah bersumpah untuk menjauh, untuk melupakan pria miskin yang menyebalkan ini. Tapi di sini, sekarang, melihatnya berdiri penuh wibawa dengan papan tulis sebagai latarnya, kecerdasannya memancar begitu kuat—segala niatnya runtuh menjadi debu.
"Jes, dia miskin, dia miskin. Nggak cocok sama lo yang glamor ini," bentak hatinya, berusaha mati-matian mengingatkan dirinya sendiri. Tangannya mencengkram pulpen hingga buku jarinya memutih.
Tapi pertahanannya semakin rapuh ketika seorang mahasiswi dari barisan depan—dengan senyum manis dan tatapan berbinar—terus mengacungkan tangan, bertanya tentang soal-soal yang bahkan belum sepenuhnya dijelaskan. Jessy bisa melihat caranya memandang Rayyan; penuh kekaguman dan sesuatu yang lebih, sesuatu yang membuat dadanya sesak oleh emosi hijau yang tak diundang. Rasa cemburu itu menusuk, lebih tajam dari yang dia kira.
Kemudian, Rayyan menulis sebuah soal integral yang kompleks di papan tulis, huruf-hurufnya rapi dan elegan. Dia menoleh ke kelas, matanya yang dibingkai kaca itu menyapu ruangan.
"Ada yang bisa mengerjakan soal ini?" tanyanya, suaranya datar, menantang.
Sebelum otaknya sempat memproses, sebelum logika dan gengsinya sempat bersuara, tangan Jessy sudah teracung tinggi. Sebuah gerakan refleks, dipicu oleh amarah, kecemburuan, dan keinginan bodoh untuk menarik perhatian pria dingin itu.
"Jes?" desis Nita di sampingnya, heran.
"Lo bisa?" Della menatapnya seperti melihat alien.
Seketika itu juga Jessy tersadar. Dia melihat soal di papan tulis—sebuah kumpulan simbol dan angka yang tak bermakna baginya. Panik membekukan darahnya. "Bego banget gue," gerutunya dalam hati, mengutuk diri sendiri atas tindakan cerobohnya.
Tapi sudah terlambat. Rayyan telah melihatnya. Pandangan dinginnya tertuju padanya, sebuah alisnya terangkat hampir tak kasat mata.
"Silakan," ujarnya, suaranya tidak berubah, sambil menyerahkan spidol.
Dengan kaki yang terasa seperti jelly, Jessy berdiri. Setiap langkahnya menuju depan kelas terasa seperti berjalan menuju tiang gantungan. Pipinya memanas, wajahnya pastilah sudah pucat. Dia bisa merasakan tatapan penuh tanya dari Nita dan Della, serta bisikan-bisikan penasaran dari sekelilingnya. Di depannya, Rayyan berdiri dengan tenang, menunggu. Dia mengambil spidol dari tangan Rayyan, dan sentuhan singkat antara jari mereka terasa seperti sengatan listrik yang membuatnya semakin limbung.
Dia berdiri di hadapan papan tulis yang penuh dengan rumus, dengan spidol di tangan dan pikiran yang kosong melompong. Rayyan menatapnya, dan untuk sesaat, Jessy merasa seperti seekor kupu-kupu yang ditusuk oleh pin, terpajang dalam kebodohannya sendiri di hadapan pria yang justru ingin dia taklukkan.
Seketika itu juga, seluruh keberanian Jessy menguap, digantikan oleh rasa panik yang membeku. Dia berdiri kaku di depan papan tulis hijau yang luas, seolah-olah menghadapi teka-teki paling rumit dalam hidupnya. Spidol hitam di tangannya bergetar pelan, meninggalkan jejak gemetar yang nyaris tak kasat mata di udara. Tapi tidak ada satu pun coretan yang berani dia tuangkan. Simbol-simbol integral dan turunan di papan tulis itu bagai bahasa asing dari planet lain, tak bermakna dan menakutkan.
Diamnya berlangsung lama, terlalu lama. Tiga menit terasa seperti tiga jam. Bisikan-bisikan mulaí bermunculan di belakangnya, diselingi tawa kecil yang dipendam. Pipi Jessy terbakar, rasa malu yang begitu familiar akhirnya menyeruak mengalahkan segala arogansinya.
Kemudian, sebuah bayangan menghampiri.
Rayyan bergerak dengan tenang, mendekatinya tanpa terburu-buru. Wangnya, bau sabun mandi sederhana yang bersih dan sedikit aroma kertas, menggantikan wangi parfum mahal yang biasanya mengepung Jessy. Dia mengambil spidol merah dari rak papan tulis, dan tubuhnya sekarang begitu dekat, bahunya hampir menyentuh bahu Jessy.
"Dengarkan," bisiknya, suara rendahnya yang bariton hanya untuknya, menususuk langsung ke telinga. Lalu, dengan gerakan percaya diri yang memukau, jari-jari panjangnya yang kokoh mulai menari di atas papan tulis. Spidol merahnya menari, melahirkan angka, huruf, dan simbol dalam sebuah alur logika yang sempurna.
"Integral ini bisa disederhanakan dengan substitusi trigonometri," ujarnya, suaranya jernih dan terukur, setiap kata diucapkan dengan presisi yang memikat. "Lihat di sini, kita misalkan x \= 2 sin theta, maka dx \= 2 cos theta d theta."
Tapi Jessy tidak mendengarkan penjelasannya. Tidak sama sekali. Telinganya menangkap suaranya yang dalam dan tenang, tapi otaknya menolak memproses makna matematis di baliknya. Matanya, bagaikan terhipnotis, menelusuri setiap garis di wajah Rayyan. Cara alis hitamnya yang tebas berkerat ketika berkonsentrasi, bagaimana lensa kacanya memperbesar sedikit kilau di matanya yang seperti dark coffee, dan gerakan bibirnya yang membentuk setiap kata dengan jelas.
"Sumpah, dia ganteng banget," gumam hatinya, sebuah pengakuan polos yang tak terbendung. Segala niat untuk menjauh, segala peringatan tentang kemiskinannya, menguap ditelan oleh pesona memikat yang dipancarkan pria ini dalam keadaan paling naturalnya: sedang berbagi pengetahuan.
Rayyan berhenti, menoleh padanya. "Jelas?" tanyanya, matanya yang tajam tertuju padanya, seolah bisa melihat langsung ke dalam kekosongan di kepalanya.
"Hah?" Jessy terkejut, terlempar dari lamunannya. Matanya berkedip-kedip cepat.
"Nggak merhatiin ya?" ujar Rayyan, suaranya datar, tapi ada nada teguran halus yang terdengar jelas, seperti guru yang kecewa pada muridnya yang bandel.
"Bukan. Cuma... Bingung..." jawab Jessy asal, berusaha menyelamatkan sisa-sisa harga dirinya yang sudah compang-camping.
"Karena nggak merhatiin!" balas Rayyan, tegas. Kali ini, nada dinginnya tak bisa disangkal.
"Merhatiin kok," sanggah Jessy, berusaha membela diri. Tapi dalam hati, sebuah pengakuan jujur terucap, "Merhatiin kamu." Dia memperhatikan setiap detailnya, bukan pelajarannya.
Bel pergantian kelas akhirnya berbunyi, menyelamatkannya dari situasi memalukan itu. Suara riuh mahasiswa yang berdiri dan membereskan barang memecah ketegangan. Rayyan tak berlama-lama. Dengan gerakan cepat, dia mengembalikan spidolnya, mengangguk singkat pada kelas, dan berbalik pergi dengan langkahnya yang pasti, meninggalkan Jessy yang masih berdiri terpaku di depan papan tulis yang penuh coretan sempurna, hatinya bergejolak antara malu, kagum, dan sebuah ketertarikan yang semakin menjadi-jadi, tak peduli seberapa keras dia berusaha melawannya.
***
Matahari sore mulai merendah, mengecat langit Jakarta dengan warna jingga dan ungu. Area parkir kampus yang tadinya ramai kini mulai sepi, hanya tersisa beberapa kendaraan yang tertinggal. Jessy Sadewo berjalan dengan langkah pasti menuju bagian parkir mobil mewah, tas branded terayun di pundaknya.
Tiba-tiba, langkahnya terhenti.
Matanya, yang tadinya hanya menyapu permukaan, tertumbuk pada sebuah pemandangan yang membuatnya terpana. Di sisi lain area parkir, di bagian kendaraan roda dua yang sederhana, berdiri seorang pria dengan postur tegap yang tak asing lagi.
Rayyan.
Dia sedang berdiri di samping motornya yang tua namun terawat, helm usang masih terpasang di kepalanya. Tangannya yang ramping namun berotot sedang mengeluarkan uang dari dompetnya yang sederhana untuk membayar petugas parkir. Gerakannya efisien, tanpa embel-embel, persis seperti caranya menghadapi segala sesuatu dalam hidup.
Jessy berdiri tersembunyi di balik pintu mobil mewahnya, memperhatikan dari kejauhan. Bahkan dengan helm yang menutupi sebagian besar wajahnya, garis rahang Rayyan yang tegas dan postur tubuhnya yang atletis tetap terlihat jelas. Dalam diam, Jessy tak bisa menyangkal daya tariknya.
"Kok lo ganteng banget sih," gumamnya lirih, hampir tak terdengar. Sebuah pengakuan jujur yang terpaksa keluar dari bibirnya.
Tapi kemudian dia menggeleng, seolah menyadari sesuatu yang lebih penting. "Tapi ganteng aja nggak cukup, Jes," bantahnya pada diri sendiri, mencoba menepis daya pikat fisik yang begitu kuat.
Dia terus mengamati saat Rayyan menyelesaikan pembayaran, memasukkan dompetnya, dan dengan lancar menaiki motornya. Mesin menderum rendah, dan dalam sekejap, pria itu melaju menghilang di antara lalu lintas Jakarta yang mulai padat, meninggalkan jejak debu dan bayangan yang terus menghantui pikiran Jessy.
Pemandangan dari dalam mobil mewah Jessy terasa sangat berbeda. Interior yang senyap dan ber-AC kontras dengan suara bising kota di luar. Bau kulit jok mobil yang mahal memenuhi hidungnya, menggantikan aroma bensin dan aspal panas yang mungkin masih tercium di sekitar Rayyan.
Sesampainya di rumah, kemewahan langsung menyambutnya. Villa megah di kawasan elite Jakarta itu berdiri anggun dengan taman yang tertata rapi. Di dalam, suasana tenang dan mewah langsung terasa.
Jessy menemukan kedua orang tuanya sedang bersantai di ruang keluarga yang luas. Adi Sadewo, dengan kacamata bacanya, duduk di sofa leather empuk sambil membaca laporan bisnis di tabletnya. Lina, ibunya, dengan gaun santai yang tetap elegan, asyik menonton drama Korea di TV layar lebar yang seolah menjadi karya seni di dinding marmer.
"Jes, sini duduk," ujar Lina memanggil, matanya berbinar melihat putrinya pulang. Dia melonggarkan space di sofa empuknya. "Gimana kuliah hari ini?"
Jessy melemparkan tas mahalnya ke sofa lain dan menjatuhkan diri dengan dramatis di sebelah ibunya. "Biasa aja, Mi. Sama aja kayak kemaren-kemaren," jawabnya dengan suara datar, menghindari kontak mata. Topik kuliah adalah topik yang paling dia hindari.
"Nilainya juga biasa-biasa aja kali, kayak kemaren. Nggak ada perkembangan," sindir Adi tanpa mengangkat pandangannya dari tablet. Suara baritannya tenang namun penuh otoritas. "Fokus kuliah dong, Jes. Kamu udah mau semester akhir. Masa depan jangan dianggap main-main."
"Iya, Pi..." jawab Jessy dengan suara malas, mata nya memandang sinar lampu kristal di langit-langit.
"Kalau perlu," lanjut Adi, akhirnya menurunkan tabletnya dan menatap putrinya dengan serius, "Papi akan suruh dosennya ngajar private langsung ke kamu. Biar nilaimu bisa ketolong."
Private?
Kata itu menggantung di udara, dan tiba-tiba, seperti bola lampu yang menyala di atas kepala Jessy, sebuah ide brilian muncul. Ekspresi malasnya langsung berganti dengan semangat yang tiba-tiba. Senyum licik dan penuh kemenangan mulai mengembang di bibirnya.
"Boleh, Pi!" serunya, duduk lebih tegak. "Tapi aku mau yang ngajar private itu Rayyan." Tatapannya langsung pada ayahnya, penuh keyakinan. "Kayaknya dia jago disemua mata kuliah yang Jessy nggak bisa." Nama Rayyan sengaja dia ucapkan dengan semudah mungkin, seolah itu adalah permintaan yang wajar.
Lina, yang selama ini diam, langsung menangkap gelagat tidak beres. Ibunya mengernyit, matanya yang tajam memandangi Jessy dengan penuh selidik. "Kamu mau private sama Rayyan karena mau belajar, atau cuma mau PDKT aja sama dia?" tebak Lina dengan suara lembut namun menusuk.
Jessy tidak goyah. Dia sudah menyiapkan jawabannya. Dengan wajah paling polos yang bisa dia buat, dia menjawab, "Mami harus tau. Kalau kita belajar dengan guru yang menyenangkan, otak kita bisa lebih cepat menangkap pelajarannya." Alasan itu terdengar masuk akal, meski sinar di matanya mengatakan sesuatu yang lain.
Adi Sadewo mendengus, menilai situasi ini. Dia tahu ulah putrinya, tapi dia juga melihat ini sebagai kesempatan untuk mendongkrak nilai Jessy. Ada bargaining chip di sini.
"Oke," ujarnya akhirnya, mengalah. "Papi akan suruh Rayyan ngajar private kamu." Jessy hampir bersorak kegirangan, tapi kata-kata selanjutnya dari ayahnya meredakan euphoria-nya. "Tapi," lanjut Adi, suaranya tegas seperti baja, "ini kesempatan terakhir. Kalau nilai kamu masih jeblok juga, Papi bakal kirim kamu keluar negeri. Lanjut aja kuliah kamu disana."
Ancaman itu menggantung berat di ruangan mewah itu. Tapi bagi Jessy, itu sama sekali tidak menakutkan. Satu-satunya hal yang ada di pikirannya adalah: dia akhirnya memiliki jalur resmi untuk mendekati Rayyan. Sebuah senyum kemenangan yang tak terbendung akhirnya merekah di wajah cantiknya. Permainan ini baru saja naik ke level yang sama sekali baru.
jangan cuma bisa nyalahin orang aja, Elu juga salah cuma jadi penonton, Ndak malah bantuin ibunya.
buat emaknya Rayyan luluh donk thorrrrr
ceritamu emang secandu ini yaa kak ..
kudu di pites ini si ibu Maryam