HARGA SEBUAH KESETIAAN
100% diambil dari kisah nyata
Dewanga hanya ingin diterima. Setelah ditolak berkali-kali karena miskin, ia menikahi Tini—janda delapan tahun lebih tua—dengan harapan menemukan pelabuhan. Yang ia dapat adalah badai tanpa henti. Enam tahun pernikahan menjadi neraka: bentakan setiap hari, hinaan di meja makan, ancaman diusir dari rumah yang bukan miliknya.
Ia terperangkap. Ingin pergi, tapi Aini—putri kecilnya—adalah satu-satunya cahaya dalam kegelapan. Ketika cinta berubah menjadi penjara, dan kesetiaan menjadi racun, Dewanga harus memilih: bertahan hingga hancur, atau berani menyelamatkan dirinya dan anaknya.
Sebuah kisah yang memilukan tentang cinta yang salah, kesetiaan yang keliru, dan keberanian untuk memilih hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19: Cinta atau Kebutuhan?
Sebulan berlalu sejak kejadian di taman.
Dewanga semakin sering bertemu Tini—hampir setiap hari. Kadang di pasar malam, kadang di warung kopi, kadang hanya duduk di pinggir jalan sambil ngobrol kadang jalan jalan ke taman hinga tiap hari bertemu
hari berganti hari...
Dan perla
han, tanpa ia sadari, ia mulai... jatuh cinta.
Bukan cinta yang romantis seperti di film. Bukan cinta yang membuat jantung berdebar kencang setiap kali bertemu, dan bukan pula kisah cinta indah seperti di novel romansa pada umumnya
Tapi cinta yang lahir dari keputusasaan.
Cinta yang tumbuh karena Tini adalah satu-satunya orang yang mau menerimanya setelah berkali-kali ditolak.
"Dewanga," panggil Tini suatu sore saat mereka duduk di warung kopi pinggir jalan.
"Iya?"
"Lo serius kan sama gua?"
Dewanga menatapnya..karena tiba tiba dia kasar"Serius. Kenapa tiba-tiba nanya?"
Tini mengaduk tehnya pelan. "Gua cuma mau mastiin. Soalnya... gua udah pernah dikecewain cowok. Gua gak mau ngalamin lagi."
Dewanga meraih tangannya di atas meja. "Aku gak kayak Fiko. Aku serius sama kamu."
Tini tersenyum—senyum yang hangat, yang membuat Dewanga merasa... diterima.
Tapi sesaat kemudian, Eka datang dari arah toilet, tangannya basah—baru cuci tangan.
"Mama, boleh gak Eka minta es krim?" tanya Eka polos.
Tini langsung menggeleng. "Enggak. Nanti sakit."
"Tapi Eka pengen, Ma..."
"Udah bilang enggak ya enggak!"
Eka menunduk. Bibirnya manyun, matanya berkaca-kaca menahan tangis.
Dewanga merasa tidak tega. Ia mengeluarkan uang lima ribu dari sakunya. "Tini, gak papa. Aku beliin—"
"Lha buat apa juga beliin es krim? Baju blepotan, gua juga yang cape cuci baju, bukan lo!"
Nada Tini tajam—refleks, tanpa filter.
Dewanga terdiam.
Eka langsung kembali ke kursinya, duduk dengan kepala tertunduk. Tidak ada tangis. Tidak ada protes. Hanya... diam yang menyakitkan.
Tini sadar ia baru saja membentak lagi. Wajahnya sedikit melunak—meski tidak menyesal. "Ya udah sih, beliin. Tapi jangan sering-sering. Nanti manja."
Dewanga mengangguk pelan. Ia membeli es krim untuk Eka—gadis kecil itu tersenyum tipis, tapi senyum itu tidak sampai ke matanya.
Malam itu, Dewanga duduk sendirian di kamarnya.
Ia menatap foto lusuh ayahnya yang ditempel di dinding kayu retak. Wajah Pak Sentanu tersenyum lelah, tangan mengangkat cangkul—foto saat masih bekerja di sawah sebelum sakit.
"Ayah..." bisik Dewanga parau. "Apa yang harus aku lakukan?"
Hening.
Hanya suara jangkrik malam yang menjawab.
Dewanga menarik napas panjang. "Aku... aku suka sama Tini. Tapi kadang... kadang dia kasar. Kadang dia bentak aku tanpa alasan. Kadang dia jahat sama Eka."
Ia menutup mata.
"Tapi Ayah... dia satu-satunya yang mau nerima aku. Aku udah ditolak tiga kali. Aku cape, Yah. Aku cape sendirian."
Air mata mengalir perlahan.
"Mungkin... mungkin ini yang terbaik. Mungkin aku harus sabar. Mungkin dia cuma butuh waktu buat berubah. Semua orang punya masa lalu. Semua orang punya luka."
Dewanga membuka mata, menatap foto ayahnya dengan pandangan penuh harap—harap ayahnya bisa menjawab, bisa memberi tahu mana yang benar.
Tapi foto itu hanya diam.
Dan Dewanga memutuskan—dengan hati yang rapuh dan pikiran yang lelah—untuk tetap bertahan.
Karena cinta yang lahir dari keputusasaan... adalah cinta yang paling mudah tertipu.