Di kehidupan sebelumnya, Nayla hidup dalam belenggu Adrian.
Tak ada kebebasan. Tak ada kebahagiaan.
Ia dipaksa menggugurkan kandungannya, lalu dipaksa mendonorkan ginjalnya kepada saudari kembarnya sendiri—Kayla.
Ia meninggal di atas meja operasi, bersimbah darah, dengan mata terbuka penuh penyesalan.
Namun takdir memberinya kesempatan kedua.
Di kehidupan ini, Nayla bersumpah: ia tidak akan jatuh di lubang yang sama.
Ia akan membuka topeng dua manusia berhati busuk—mantan kekasih dan saudari tercintanya.
Namun kali ini... apakah ia bisa menang?
Atau akan ada harga baru yang harus ia bayar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julie0813, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30: Dirawat di Rumah Sakit
Berbanding terbalik dengan kemampuan memasaknya yang mengerikan, Nayla justru memiliki skill menyetir yang luar biasa—bahkan bisa dibilang setara dengan kemampuannya menguasai medan perang dalam dunia game.
Keterampilan menyetir ini... sebenarnya adalah sesuatu yang ia bawa dari kehidupan sebelumnya.
Berkat keahlian mengemudinya, Nayla berhasil membawa Adrian ke rumah sakit dalam waktu singkat.
Sesampainya di sana, Nayla dengan sigap membantu menopang tubuh Adrian dan membawanya masuk.
Namun setelah itu, Adrian meminta Nayla untuk menunggunya di ruang tunggu sementara ia sendiri masuk ke ruang dokter untuk diperiksa.
Beberapa saat kemudian, saat Adrian keluar, Nayla terkejut melihat dokter telah mengaturkan kamar rawat VIP khusus untuknya.
Nayla langsung melongo. “Serius separah itu?” pikirnya panik, lalu buru-buru menghampiri sang dokter.
“Dok, gimana kondisinya?”
“Keracunan makanan yang cukup parah. Kami perlu melakukan tindakan segera—termasuk induksi muntah dan pencucian lambung. Tapi karena penyebab pastinya cukup kompleks, pasien perlu menjalani observasi dan penanganan lebih lanjut,” jelas sang dokter dengan tenang namun tegas.
Beberapa saat kemudian, Adrian telah dipindahkan ke kamar rawat tunggal.
Sebelum pergi, dokter itu menoleh ke arah Nayla dan menambahkan, “Maaf kalau saya lancang, tapi bagaimanapun penyebab keracunan ini berasal dari kamu. Kamu harus bertanggung jawab dan merawatnya dengan baik.”
Ia lalu memberitahu beberapa hal penting yang harus diperhatikan selama masa perawatan.
Dan sebelum benar-benar pergi, sang dokter kembali melirik Nayla dengan tatapan penuh penilaian dan menekankan sekali lagi, “Jaga dia baik-baik.”
Dengan wajah murung, Nayla melangkah masuk ke kamar pasien. Saat itulah ia melihat Adrian duduk bersandar di ranjang sambil menatap sebuah apel di tangannya.
“kupas kulitnya.” katanya datar sambil menyodorkan apel ke arah Nayla.
“Eh? Apel dari mana? Bukannya dia baru aja masuk kamar?” Nayla bertanya-tanya dalam hati.
“Dari suster. Mungkin karena aku ganteng,” jawab Adrian santai, seolah itu hal biasa.
“Oh.” Nayla sama sekali tidak terpengaruh, bahkan hampir tertawa.
...
“Udah aku kupasin,” kata Nayla sambil meletakkan pisau buah.
“Kamu yang makan. Ambilin aku segelas air,” ujar Adrian yang kini kembali rebahan di ranjang, entah sedang memikirkan apa.
“Kamu nyuruh aku kupas apel, bukannya kamu yang mau makan?” Nayla mengernyit. Ia merasa dirinya benar-benar sedang dikerjain.
“Bodoh. Dokter udah bilang aku nggak boleh makan dulu, apa kamu nggak dengar? Gimana sih cara kamu merawat pasien yang udah kamu racunin?” Adrian memelototinya, lalu menambahkan,
“Dan satu lagi… aku nggak makan makanan dari perempuan lain.”
Nayla sempat tertegun, lalu diam-diam mulai menggigit apel yang tadi ia kupas.
Adrian memandangi reaksinya, merasa sedikit kecewa—tidak ada perlawanan, tidak ada ekspresi lucu seperti biasanya, terlalu tenang... membosankan.
Saat itulah, ponselnya tiba-tiba berdering. Adrian mengangkatnya.
"Halo? Bos. Dugaan Anda benar. Pria yang kita bawa waktu itu ternyata memang tidak sendirian. Tapi…" suara di seberang terdengar ragu.
Mendengar itu saja, Adrian sudah bisa menebak. Orang satu lagi itu, sepertinya bukan perampok biasa.
“Siapa orang satunya lagi? Katakan,” suara Adrian berubah dingin dan penuh tekanan, seperti kabut malam yang menusuk tulang.
“Menurut pengakuan pria itu… Nona Nayla sendiri yang bilang ingin ke tempat itu untuk mencari Rayyan. Tapi saat itu, Nona Nayla sudah dalam keadaan tidak sadar, sepertinya terkena obat. Apakah ini bagian dari rencana Rayyan atau bukan, kami masih menyelidiki. Tapi menurut rekaman CCTV hotel terdekat, Rayyan memang muncul di pagi hari dan sempat memeriksa rekaman kamera sekitar.”
“Rayyan… Kau sendiri yang menantangku lebih dulu,” suara rendah Adrian mengandung nada brutal yang tertahan, seperti badai yang belum dilepas.
“Bos? Tadi Anda bilang apa?” suara dari seberang tidak menangkap kalimat terakhirnya dengan jelas.
Tentu saja, Nayla pun tidak mendengarnya sama sekali.