Aruna Mayswara terpaksa menerima pernikahan yang digelar dengan Jakson Mahendra-mantan kakak iparnya sendiri, lelaki yang sempat mengeyam status duda beranak satu itu bukan tandingan Aruna. Demi sang keponakan tercinta, Aruna harus menelan pahitnya berumah tangga dengan pria yang dijuluki diam-diam sebagai 'Pilot Galak' oleh Aruna dibelakang Kinanti-almarhumah kakak perempuannya. Lantas rumah tangga yang tidak dilandasi cinta, serta pertengkaran yang terus menerus. Bisakah bertahan, dan bagaimana mahligai rumah tangga itu akan berjalan jika hanya bertiangkan pengorbanan semata.
***
"Nyentuh kamu? Oh, yang bener aja. Aku nggak sudi seujung kuku pun. Kalo bukan karena Mentari, aku nggak mungkin harus kayak gini," tegas Jakson menatap tajam Aruna.
"Ya, udah bagus kayak gitu dong. Sekarang tulis surat kontrak nikah, tulis juga di sana perjanjian Mas Jakson nggak akan nyentuh tubuhku," ujar Aruna menggebu-gebu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhanvi Hrieya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 30. HASUTAN HANA PADA RAKA
"Hana!" seruan deep voice mengalun memanggil nama Hana dengan lantang.
Hana melongok ke belakang jantung Hana berdebar keras di saat pria yang sudah sangat lama ia rindukan tengah melangkah ke arahnya, walaupun mereka berkomunikasi intens beberapa bulan belakangan ini. Topik pembicaraan selalu saja mengarah pada Aruna lagi dan lagi, Raka pikir Hana akan membantunya untuk segera berbaikan dengan Aruna. Terkadang ia bertanya pada Hana bagaimana caranya agar nantinya Aruna benar-benar memaafkan keputusan Raka yang sepihak, mengingat meskipun Aruna masih membalas pesannya sang kekasih membalas jauh lebih lama terkadang hanya dibaca tanpa dibalas.
"Raka," panggil Hana lembut, "udah lama banget nggak liat kamu secara langsung. Makin ganteng aja."
Di telinga Raka itu terdengar sebatas basa-basi semata, Raka yang kini berdiri di depan Hana terlihat mengulas senyum sopan.
"Kamu bisa aja mujinya, Na," sahut Raka, "oh, iya. Kamu ke kampus bareng Aruna 'kan? Di mana Aruna?"
Senyum yang mengembang di bibir Hana langsung patah, kenapa di otak pria ini hanya ada Aruna. Kedua tangan Hana mengepal, ia mendesah kasar.
"Aku nggak tau di mana Aruna, karena belakang ini dia lebih banyak nggak bergaul denganku. Seperti yang sering aku omongin ke kamu, dia emang sibuk banget," jawab Hana pada akhirnya, kembali tersenyum lembut.
Raka terlihat kecewa mendengar jawaban Hana, ia menggeleng sekilas.
"Apakah dia menghindariku lagi," gumam Raka lirih.
"Kamu udah kirim chat atau telepon dia?" tanya Hana memastikan, dahinya berlipat.
"Udah dua-duanya tapi, ya itu. Nggak ada respon," jawab Raka jujur, "kupikir dia bareng kamu tadinya, karena ngehindarin aku makanya kamu selalu ngomong kalau Aruna sibuk."
"Sebenarnya ada yang pingin aku omongin secara pribadi sama kamu, Ka! Udah lama banget aku mau ngomong ini. Cuma aku tunggu waktu yang tepat, ini udah saatnya kamu harus tau. Kamu punya waktu hari ini 'kan," kata Hana terlihat serius.
"Ada apa dengan ekspresi wajahmu, kok rasanya bikin aku deg degan. Ini bukan berita buruk 'kan, ya?" Raka meringis, kedua matanya terlihat khawatir.
Hana mengigit bibir bawahnya, ekspresi wajahnya terlihat ragu. Beberapa mahasiswa-mahasiswi berlalu lalang di lorong kampus, keduanya berada di tingkat akhir tidak sesibuk para junior. Datang ke kampus sekadar mencari dosen pembimbing masing-masing, atau mencari teman untuk membicarakan tentang perkembangan skripsi masing-masing.
"Kita bicara di sana saja gimana." Hana menunjuk ke arah bangku lumayan jauh dari posisi mereka berdua berdiri saat ini.
Raka mengangguk, Hana lebih dahulu melangkah mendekati bangku diikuti oleh Raka dari belakang. Keduanya duduk saling berhadap-hadapan, Hana mendesah kasar ekspresinya sebisa mungkin terlihat serius hingga Raka merasa tegang.
"Han, kamu mau ngomongin apa?" tanya Raka, atensinya menatap lurus ke Hana.
"Ka! Sebelumnya aku mau minta maaf banget ke kamu. Aku nggak maksud buat nipu kamu, atau nyembunyiin ini dari kamu. Tapi, karena Aruna sahabatnya aku, aku nggak mungkin buat bikin hubungan kamu dan dia retak. Hanya saja sekarang udah saatnya kamu tau rahasia ini," tutur Hana, suaranya terdengar pelan dan ekspresinya semakin serius.
Pangkal hidung Raka mengerut, ada apa ini sebenarnya. Raka tidak paham, rahasia apa yang dimaksud oleh sahabat kekasihnya ini.
"Maksudnya kamu ap—"
"Aruna udah nikah, Ka," potong Hana cepat, "dia udah nikah lebih dari empat bulan, di saat kamu ke luar negeri dia malah nikah sama Kakak iparnya sendiri. Turun ranjang, bahkan saat ini dia hamil anak dari Mas Jakson. Aku sebenarnya nggak tega mau ngomong ini ke kamu tapi, aku ngerasa kamu segitu cintanya sama Aruna. Nggak tega aku liat kamu menderita seorang diri, Ka."
Untuk sepersekian detik Raka membeku lidahnya mendadak kelu, otaknya mencoba mencerna perkataan Hana, serasa disambar petir di siang bolong. Kekasihnya telah menikah dengan pria lain saat ia pergi berjuang di luar negeri, bahkan saat ini hamil anak dari pria lain.
Tawa Raka melambung membuat lawan bicara terkesiap, Raka tersenyum lebar setelah tawanya selesai.
"Mana kameranya? Apakah penyambutan aku kembali ke sini kalian berdua malah ngerencanain buat nge-prankku?" Raka celingak-celinguk mencari kamera yang diarahkan ke padanya secara diam-diam.
Kepala Hana menggeleng tegas, "Raka, aku nggak pernah nge-prank kamu. Apa yang barusan aku omongin ini fakta, dia emang udah jadi istri dari laki-laki lain. Dia ninggalin kamu gitu aja tanpa mikir perasaan kamu, karena Kakak iparnya jauh lebih segalanya daripada kamu. Maaf kalau perkataan aku terdengar kasar, aku nggak mau lagi berbohongin kamu. Aku ada bukti kalau dia udah nikah."
Hana langsung merogoh tasnya, mengeluarkan smartphone. Jari jemari Hana bermain di atas layar, foto pernikahan Aruna di simpan di galeri Hana. Beruntung saudara sepupunya yang ada di kampung mengabadikan foto pernikahan Jakson dan Aruna dan mengirimkan pada Hana, ia memperlihatkan ke arah Raka layar ponselnya.
Mata Raka terbelalak, ia meraih ponsel Hana. Ibu jarinya mengeser layar ke samping, ada beberapa foto di sana. Dada Raka terasa sesak, sekan berton-ton batu menghimpitnya. Raka bangkit dari posisi duduknya tanpa kata meninggalkan Hana seorang diri di sana.
Hana tersenyum sinis, sekarang sudah tidak ada lagi kesempatan untuk Aruna. Ia akan maju sepenuhnya, menghibur Raka dan menjadikan Raka sebagai kekasihnya.
...***...
Aruna yang terlihat baru saja kembali dari TK mengantarkan Mentari ke sekolah, dan mengurus surat kepindahan Mentari. Ia pulang kembali ke rumah, langkah kakinya berhenti mendadak di saat ia mengenali punggung lebar yang kini membelakangi Aruna serta motor ninja merah metalik yang terparkir di depan gerbang rumahnya. Ia lupa dengan Raka untuk sesaat, jantung Aruna berdebar keras.
'Tidak! Jangan mundur Aruna. Sudah saatnya melepaskan Raka, dia berhak mendapatkan sosok wanita yang jauh lebih baik segala-galanya dibandingkan kamu.' Aruna membulatkan tekadnya untuk menyelesaikan semua masalahnya.
"Raka!" seru Aruna di saat ia berdiri di belakang Raka.
Tubuh Raka membeku di saat indera dengarnya kembali bisa mendengar suara pujian hati secara langsung, Raka membalikkan badan ke arah Aruna. Mereka berdua saling berhadapan, ada kerinduan di mata Raka untuk Aruna.
"Kamu baru sampai?" tanya Aruna, ekspresi wajahnya terlihat santai.
Raka hanya mengangguk tanpa suara, Aruna melangkah kembali mendekati gerbang. Tangannya bergerak membuka kunci gembok gerbang, didorongnya ke samping.
"Ayo masuk dulu, kita bicara di teras rumahku. Ada yang mau aku omongin sama kamu," sambung Aruna tegas.
Ia melangkah lebih dahulu menuju bangku rotan di teras rumah, Raka sudah lama tidak datang ke sini. Perasan hampa menelusup di dadanya, bohong kalau Raka tidak merasa ketakutan saat ini. Dia sudah lama berpacaran dengan Aruna tiga tahun lebih, tahun ini adalah tahun keempat mereka. Rasanya tidak mungkin Aruna berpaling, bahkan turun ranjang. Raka tidak sadar saat ia duduk di kursi, Aruna mendesah kasar ia kelelahan.
"Ka! Sebenarnya ak—"
"Aduh! Aku lupa lagi. Maaf, Na! Ada yang ketinggalan di rumah. Tadinya itu harus aku bawa ke sini, nanti malam aku ke sini lagi nemuin kamu ya." Raka langsung memotong pembicaraan Aruna, tanpa pamit melangkah terburu-buru ke arah motornya.
Aruna terkesiap bibirnya terbuka namun, suaranya tertahan di kerongkongan. Melihat Raka telah mengendari motor menjauh dari pekarangan rumah Aruna, kenapa Raka terlihat panik seperti itu. Pria itu bahkan tidak mendengarkan dulu apa yang Aruna bicarakan.
"Ka! Maafin, aku," gumam Aruna lirih.
Wajahnya sedih, pria itu sangat baik. Selama mereka berpacaran Raka tidak pernah memaksa apapun pada Aruna, ia tahu Aruna trauma dengan sentuhan yang berlebihan. Saat ingin menggenggam tangan Aruna saja ia akan minta izin terlebih dahulu, tidak banyak menuntut. Pada akhirnya kisah mereka berdua harus kandas, pria mana yang mau menerima keadaan Aruna. Sudah hamil di usia remaja, malah menjadi janda dalam waktu dekat dengan dua anak. Anak yang sudah harus masuk sekolah, dan anak yang mungkin akan dilahirkan dalam waktu beberapa bulan kedepan. Raka seharusnya Aruna lepaskan, masa depan Raka sangat bagus. Berbeda dengan Aruna, mimpi indahnya untuk bersama Raka benar-benar tidak akan pernah terjadi.
Bersambung....