Sungguh berat beban hidup yang di jalani Sri Qonita, karena harus membesarkan anak tanpa suami. Ia tidak menyangka, suaminya yang bernama Widodo pamit ingin mencari kerja tetapi tidak pernah pulang. Selama 5 tahun Sri jatuh bangun untuk membesarkan anaknya. Hingga suatu ketika, Sri tidak sanggup lagi hidup di desa karena kerja kerasnya semakin tidak cukup untuk biaya hidup. Sri memutuskan mengajak anaknya bekerja di Jakarta.
Namun, betapa hancur berkeping-keping hati Sri ketika bekerja di salah satu rumah seorang pengusaha. Pengusaha tersebut adalah suaminya sendiri. Widodo suami yang ia tunggu-tunggu sudah menikah lagi bahkan sudah mempunyai anak.
"Kamu tega Mas membiarkan darah dagingmu kelaparan selama 5 tahun, tapi kamu menggait wanita kaya demi kebahagiaan kamu sendiri"
"Bukan begitu Sri, maafkan aku"
Nahlo, apa alasan Widodo sampai menikah lagi? Apakah yang akan terjadi dengan rumah tangga mereka? Kita ikuti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
"Bun, kata Om Pras, beliau ingin menjadi Ayahku, menurut Bunda bagaimana?" Polos Laras sembari tiduran di pangkuan Sri.
Sri terkejut, rupanya Pras sudah bicara dengan Laras dulu sebelum dengannya. "Laras, tidak semudah itu sayang..." Sri menunduk mengusap-usap kepala putrinya.
"Memang kenapa Bunda" Laras nampak kecewa padahal berharap sang bunda mau menerima Pras.
"Kamu belum mengerti sayang, Bunda harus berpikir dulu. Sebaiknya Laras mandi gih" Sri mengalihkan.
"Iya Bun" Laras bangun dari pangkuan Sri lalu ambil handuk.
Sri menatap kegiatan putrinya hingga masuk ke kamar. "Maafkan Bunda sayang..." batin Sri, ia harus berpikir matang-matang sebelum menerima Pras. Pras memang baik, tapi jika ia menerima cintanya siap-siap dimusuhi Belinda. Padahal ia masih mengobati luka hatinya yang belum sembuh.
*************
Pagi hari di tempat yang berbeda, semenjak kepergian Widodo, Ara menjadi pemurung, sering menangis, marah-marah dan sudah tiga hari tidak mau sekolah.
"Ayo sayang... kalau tidak mau sekolah mau jadi apa kamu?" Sally kesal juga sudah membujuk setiap hari tapi sia-sia.
"Ara mau Papa, kalau Papa pulang aku baru mau sekolah" jawabnya sembari menangis dan menghentak-hentakkan kakinya ke lantai.
"Ara, kita kan sudah mencari Papa kemana-mana, tapi kalau belum ketemu, bisa apa" Sally benar-benar setres memikirkan putrinya yang semakin menguji kesabarannya.
"Papa nggak mungkin pergi kalau tidak dimarahi Mama" protes Ara, karena sebelum papanya pergi sering mendengar Sally marah-marah.
"Sally, sebaiknya kamu cari suamimu ke Gunungkidul saja" titah mommy tidak tega melihat cucunya menangis terus.
"Ke Gunungkidul?" Sally menoleh mommy cepat, selama menikah dengan Widodo belum pernah tahu kediaman mertua.
"Iya, siapa tahu kan Widodo pulang ke sana" mommy memberi saran lebih baik mencari ke sana berharap Widodo hanya kangen kampung halaman karena selama menikah dengan Widodo ia tidak pernah pulang.
"Tapi aku takut bu Parti tidak mau menerima kehadiran aku, Mom" Sally ingat terakhir Parti datang ke sini ia cueki. Bahkan ongkos pulang pun tidak Sally beri.
"Mommy yakin tidak Sal" mommy tahu Parti sangat menyayangi Sally.
"Baik Mom" Sally tidak ada salahnya mencoba. Ia juga sangat merindukan suaminya. Tidak ada Widodo kini merasa kakinya hilang sebelah. Omset bengkel terus menurun, Ara juga lama-lama setres karena kangen papanya.
Seandainya Sally tahu bagaimana penderitaan Sri dan Laras dulu, tanpa dia sadari jika saat ini ia sudah mulai merasakan apa yang dulu Sri rasakan.
"Sekarang kita cari Papa ke rumah Mbah Uti, tapi kalau tidak ketemu, Ara tidak boleh sedih" Sally mengajak berbicara Ara, ia tidak memberi harapan dulu khawatir putrinya kecewa.
Setelah Ara mengangguk, Sally bergegas mencari dokumen milik Widodo di lemari. Setelah menemukan yang dia cari, tidak mau membuang waktu lagi menyiapkan baju beberapa potong. Miliknya dan milik Ara hanya jadi satu koper.
"Mommy, aku pamit ya, doakan bertemu Mas Widodo" kata Sally ketika sudah mau berangkat.
"Iya" Mommy berpesan jika sudah sampai Gunungkidul agar memberi kabar.
"Iya Mommy, Ara salim Oma dulu" titah Sally menoleh Ara di sebelahnya.
"Ara juga berangkat Oma, doakan aku bertemu Papa ya" Ara sekarang nampak sumringah.
"Kalian hati-hati ya" Oma mencium kedua pipi cucunya bergantian. Berjalan menggunakan tongkat mengantar mereka sampai teras.
Sally berangkat diantar supir ke bandara, sepanjang jalan ekpresi anak itu sangat bahagia karena yakin sebentar lagi akan bertemu sang papa. Namun, Sally justru khawatir jika Widodo tidak pulang ke kampung betapa kecewanya Ara.
Mobil pun tiba di bandara, tidak lama kemudian setelah check in pesawat yang akan ditumpangi Sally pun tiba. Sally berjalan tergesa-gesa menuntun Ara masuk ke dalam pesawat.
Tiga jam kemudian taksi yang mengantar Sally ke tujuan sudah tiba lalu turun. Di pinggir jalan kecil, yakni jalanan desa ia clingak clinguk berdiri. Sally menunggu orang yang lewat hendak bertanya di mana rumah mertuanya.
Hingga datang rombongan mak-mak yang pulang kondangan. "Eh, siapa tuh Mbakyu" mereka kaget karena wanita itu bukan penduduk sini bahkan pakaiannya sangat mewah.
"Sepertinya dia tamu salah satu warga, mari kita lanjut jalan" ibu paling depan melangkah diikuti yang lain. Diam berdiri menonton orang sungguh tidak pantas menurut mereka, hingga akhirnya mereka melintas di depan Sally.
"Permisi Bu" ucap Sally lembut, senyumnya semanis madu. 10 ibu-ibu itu tidak percaya jika Sally wanita pemarah.
"Ada yang bisa saya bantu Mbak?" Si ibu paling depan mendekati Sally.
"Maaf, saya mengganggu, kediaman ibu Parti di sebelah mana ya, Bu?" Tanya Sally dengan seribu kelembutan, dan keramahan. Wanita itu mungkin mempunyai dua kepribadian.
"Oh, tidak jauh kok di belakang rumah ini" si ibu memberi petunjuk jalan yang bisa dilalui menuju rumah bu Parti. Rumah Parti tidak bisa dilihat karena terhalang rumah-rumah di pinggir jalan. Salah satunya rumah Sri yang sudah beberapa bulan ia tinggalkan.
"Terima kasih, Bu" Sally pun akhirnya pergi.
"Hebat ya, Mbah Parti didatangi orang seperti model" ucap mereka masih memandangi Sally.
"Bu Parti itu sepertinya punya rahasia deh" salah satu ibu curiga. Karena Parti sering ke Jakarta, dan ketika pulang uangnya banyak. "Jangan-jangan Widodo nikah lagi" Imbuhnya.
"Hus, tidak boleh gosip. Ayo-ayo pulang"
"Astagfirullah... lupa" pungkas si ibu lalu melanjutkan perjalanan pulang.
Sementara itu Sally, terpaksa melepas sepatu High heels karena akses jalanan menuju rumah Parti sangat sempit dan sulit dilalui.
"Mama... Ara nggak bisa jalan" Ara terus merengek membuat Sally tambah pusing. Terpaksa ia menggendong Ara padahal harus menarik koper rodanya pun nyangkut nyangkut di batu-batu kecil.
Dengan perjalanan yang lumayan lama walaupun sebenarnya sangat dekat, Sally tiba di depan rumah limasan tempo dulu, tetapi tidak terawat. Dinding kiri dan kanan menggunakan bilik bambu yang sudah menghitam. Sementara bagian depan full gepyok yang terbuat dari kayu.
"Turun sayang, sepertinya ini rumahnya" Sally berjongkok menurunkan Ara, kemudian membersihkan kakinya yang putih itu dari tanah sambil meringis merasakan perih karena telapaknya menginjak batu-batu tajam. Terpaksa ia menggunakan High heels kembali daripada menginjak lantai teras yang kotor itu dan akhirnya infeksi.
"Tapi kok sepi banget Ma, mana kotor lagi rumahnya. Masa rumah Papa seperti ini" kata Ara dengan mimik wajah jijik ketika menatap lantai tegel yang seumur hidup tidak di pel.
"Namanya juga di kampung sayang" Sally menasehati putrinya. Walaupun sebenarnya dia pun tidak akan betah tinggal di tempat seperti itu walaupun hanya sehari.
"Jadi begini keadaan Mas Widodo" batin Sally geleng-geleng kepala, tidak menyangka suaminya yang tampan itu ternyata orang miskin.
"Yuk, kita masuk saja" Sally memegang pundak Ara kemudian mengetuk pintu.
Tok tok tok.
...~Bersambung~...
hrse libur kerja selesaikan dng cepat tes DNA mlh pilih kantor di utamakan.
dr sini dah klihatan pras gk nganggap penting urusan kluarga. dia gk family man.
kasian sri dua kali nikah salah pilih suami terus.