Arumi menikah dengan pria yang tidak pernah memberikan cinta dan kasih sayang padanya, pria yang selalu merasa tak pernah cukup memiliki dirinya. Kesepian dan kesunyian adalah hal biasa bagi Arumi selama satu tahun pernikahannya.
Raka— suami Arumi itu hanya menganggap pernikahan mereka hanya sekedar formalitas semata dan bersifat sementara. Hal ini semakin membuat Arumi menjadi seorang istri yang kesepian dan tidak pernah bahagia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi_Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23 : Rahim Sumber Kehinaan
Arumi merasa sakit dan tercekat saat mendengar perkataan suaminya sendiri, dia menautkan jari-jarinya lalu menyentuh perutnya sendiri. Bahkan rahim yang seharusnya menjadi tempat kehidupan bagi seseorang, kini menjadi sumber kehinaan di mata suaminya.
Arumi tak mampu membalas perkataan Raka yang terus saya mengingatkan dirinya bahwa ia hanyalah seseorang yang dipungut dari panti asuhan. Raka baru saja menunjukkan kualitas diri Arumi di matanya selama ini.
Arumi kembali melirik Raka yang tidak merasa bersalah sama sekali pada dirinya, ia bahkan tidak meminta maaf setelah melontarkan perkataan menyedihkan tersebut.
“Apa aku sehina itu di mata kamu?” Arumi bertanya dengan nada yang hampir berbisik, suaranya seakan ditelan oleh semua furniture mahal di kamar tersebut.
Raka menarik dan menghembuskan nafasnya dengan kasar lalu mengalihkan pandangannya dari ponsel yang dia pegang saat ini.
“Aku tidak menghinamu, kenapa kamu akhir-akhir ini sangat sensitif hah? Aku hanya mengingatkan kalau kau tidak bisa menjadi seorang ibu, Arum. Anak yang akan lahir dari rahimmu nanti pastinya akan dihina oleh orang lain karena kamu yang tidak memiliki asal-usul sama sekali. Aku bicara fakta, bukan penghinaan sama sekali, tolong bedakan itu,” tegas Raka yang tidak pernah mau disalahkan.
“Secara tidak langsung, kau menghina aku, Raka. Kau mengatakan bahwa aku tidak pantas menjadi seorang ibu karena aku hanyalah anak yatim piatu. Aku tidak pantas menjadi seorang istri yang mendampingi pria berkelas sepertimu. Itu maksud perkataanmu kan, aku ini tidak bodoh, Raka.” Arumi mengambil posisi duduk lalu turun dari ranjang.
Ia berjalan ke kamar mandi dan melepaskan tangisnya di sana. Tak ada sedikit pun keinginan Raka untuk menyusul istrinya, dia malah merungut dan mengumpat Arumi berkali-kali sampai Arumi kian sesak mendengar umpatan suaminya itu.
“Dasar anak yang tidak pernah dapat didikan dari orang tua, dikit-dikit menangis, dikit-dikit bersedih,” gerutunya lalu kembali fokus menatap layar ponsel.
Raka menghubungi Nadira untuk bicara santai malam ini, rasanya perdebatan tadi membuat Raka terbebani dan butuh teman ngobrol.
Arumi menangis sesegukan di dalam kamar mandi, dia melihat pantulan dirinya di cermin dan betapa hina dia di mata suami sendiri.
“Lalu apa gunanya aku? Aku hanya dianggap sebagai seorang pelayan saja kah? Atau aku ini hanya istri pajangan olehnya? Bahkan rahimku tidak dianggap berharga untuk menampung darahnya, segitu hina aku buat dia?” lirihnya lalu menunduk dan kembali menangis sesegukan.
Sakit sekali rasanya ketika tak dianggap ada, selama ini memang Arumi sudah biasa dengan sikap Raka yang dingin dan perkataannya yang kasar. Karena Arumi beranggapan bahwa Raka adalah pria dengan sikap seperti demikian tapi setelah melihat kelembutan serta kasih sayangnya pada Nadira, Arumi semakin sakit dengan sikap buruk itu. Raka menunjukkan secara terang-terangan bahwa Arumi memang bukan yang dia inginkan.
Arumi mengangkat pandangannya lalu tersenyum, ia usap air mata itu perlahan dan mengatur nafas dengan baik. Ia juga membasuhkan air ke wajahnya agar terasa lebih baik lagi dari sebelumnya.
“Lupakan, Arum. Kamu bisa bahagia kok, nikmati saja semua yang ada sampai titik di mana kamu tidak kuat lagi. Kamu kuat, Arum.” Ia menyemangati dirinya sendiri lalu keluar dari kamar mandi dengan mata sembab, hidung memerah, tapi tetap dengan wajah tenang.
Ia tidak peduli dengan obrolan manis serta mesra dari Raka yang sedang menelfon Nadira. Arumi merebahkan dirinya di samping Raka lalu meraih guling untuk dia peluk. Arumi mengambil posisi memunggungi Raka dan menari selimut hingga ke dada.
Raka semakin menggila obrolannya dengan Nadira saat membahas urusan ranjang dan memuji Nadira berkali-kali. Sengaja ia lakukan itu agar Arumi sakit hati, karena Raka masih merasa kesal dengan istrinya itu saat menghabiskan uangnya dan juga bertindak semena-mena dalam beberapa hari ini. Pembalasan Raka terhadap Arumi cukup dengan membuat Arumi merasa sakit hati saja.
Malam kian larut, Arumi juga sudah tidur dengan lelap, berbeda dengan Raka yang tidur dengan gelisah. Kepalanya berdenyut hebat, tengkuknya terasa berat dan seluruh tulang di tubuhnya terasa amat ngilu.
Raka bangun dari tempat tidurnya dan membangunkan Arumi juga. Perempuan itu langsung membuka mata saat Raka menggoyangkan tubuhnya dengan tangan.
Arumi mengucek matanya lalu duduk, ia menatap Raka yang terlihat tak nyaman sendiri. “Kamu kenapa?” tanya Arumi pelan.
“Tidak tau, badanku sakit semua,” keluh Raka pada istrinya.
Dengan sigap Arumi meraba kening serta leher Raka dan ternyata sangat panas. “Kamu demam, kita ke rumah sakit atau aku belikan obat demam saja ke apotik?” Raka menggeleng lalu tiduran kembali.
“Kamu carikan saja obat ke apotik, aku tidak kuat keluar malam begini,” balas Raka yang membuat Arumi menoleh melirik jam di dinding.
Arumi tak banyak membantah lalu segera meraih jaket miliknya, pukul 1 dini hari ini dia akan pergi ke apotik mencarikan Raka obat demam.
Ia mengendarai mobil cukup jauh karena apotik yang buka 24 jam berada di pusat kota dekat rumah sakit. Arumi sesekali menguap karena masih sangat mengantuk, sedikit pusing dia dibangunkan oleh Raka tadi.
Setelah sampai di apotik, Arumi mendapatkan obat yang dia butuhkan, ia bergegas pulang agar Raka tidak menunggu terlalu lama. Arumi memacu kendaraannya dengan cepat, saat mobilnya memasuki pekarangan rumah, dengan cepat satpam membantu Arumi memarkirkan mobil tersebut sedangkan Arumi bergegas menuju dapur mengambilkan air minum.
Dia siapkan semua obat untuk Raka lalu diantarnya ke kamar. Raka masih belum bisa tidur karena masih tak nyaman dengan tubuhnya sendiri. Arumi memberikan obat yang dia beli tadi pada Raka sambil membantu Raka untuk duduk.
“Minum obat ini dulu, kalau besok demam kamu masih tinggi, kita ke rumah sakit.” Arumi berkata sambil menyodorkan obat pada Raka.
Raka menelan semua obat itu lalu membiarkan tubuhnya kembali direbahkan oleh Arumi.
“Badanku rasanya sakit semua, Rum.” Raka mengeluh sambil menahan sakit yang membuat Arumi merasa iba.
“Tidurlah, aku akan pijat dan usah tubuh kamu biar rasanya mendingan ya.” Raka mengangguk.
Arumi menyelimuti Raka lalu mengusap pelan tangan, kaki, hingga punggung pria itu. Arumi memastikan kalau suaminya tidur dengan nyenyak tanpa keluhan lagi. Arumi sendiri menahan rasa kantuknya, tangan halus itu terus memberikan usapan di punggung Raka.
Sesekali Arumi berhenti karena tak tahan dengan rasa kantuknya namun dengan cepat dia bangun lagi agar Raka tidak terusik. Arumi memejamkan mata sambil menunduk tapi tangannya terus mengusap punggung Raka tanpa henti.
Begitu sayang dia pada suaminya itu, suami yang bahkan tak pernah menganggap perhatiannya ada, suami yang selalu mengeluh tak pernah diurus oleh istrinya.
Arumi mengambil posisi tiduran, ia memejamkan mata karena sangat mengantuk tapi tangannya tanpa henti mengusap-usap punggung Raka hingga tangan itu terhenti dan Arumi terlelap.
Raka membuka mata lalu membangunkan Arumi kembali. “Rum, jangan berhenti mengusap punggungku, enak rasanya diusap begitu, sakitku sedikit berkurang,” tuturnya yang membuat Arumi kembali bangun lalu bersandar di kepala ranjang.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
sama-sama kagak gunaaa/Hammer//Joyful/
istri sah : Ngabisin duit suami
pelakor : ngabisin duit buat ngabisin nyawa istri sah/Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/
pelakor sakit hati : cari pembunuh bayaran 🤣🤣 gak ada harga dirinya lu Dir