NovelToon NovelToon
Buddha Asura: Sang Pelindung Dharma

Buddha Asura: Sang Pelindung Dharma

Status: sedang berlangsung
Genre:Mengubah Takdir / Epik Petualangan / Fantasi Timur / Balas Dendam
Popularitas:11.2k
Nilai: 5
Nama Author: Kokop Gann

Di puncak Gunung Awan Putih, Liang Wu hanya mengenal dua hal: suara lonceng pagi dan senyum gurunya. Ia percaya bahwa setiap nyawa berharga, bahkan iblis sekalipun pantas diberi kesempatan kedua.

Namun, kenaifan itu dibayar mahal. Ketika gurunya memberikan tempat berlindung kepada seorang pembunuh demi 'welas asih', neraka datang mengetuk pintu. Dalam satu malam, Liang Wu kehilangan segalanya: saudara seperguruan dan gurunya yang dipenggal oleh mereka yang menyebut diri 'Aliansi Ortodoks'.

Terkubur hidup-hidup di bawah reruntuhan kuil yang terbakar, Liang Wu menyadari satu kebenaran pahit: Doa tidak menghentikan pedang, dan welas asih tanpa kekuatan adalah bunuh diri.

Ia bangkit dari abu, bukan sebagai iblis, melainkan sebagai mimpi buruk yang jauh lebih mengerikan. Ia tidak membunuh karena benci. Ia membunuh untuk 'menyelamatkan'.

"Amitabha. Biarkan aku mengantar kalian ke neraka, agar dunia ini menjadi sedikit lebih bersih."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kokop Gann, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hyena di Gunung Suci

Hutan Gunung Awan Putih tidak pernah sesunyi ini. Biasanya, suara serangga malam dan burung hantu akan mengisi udara. Namun malam ini, hutan itu diam, seolah menahan napas karena takut pada aura kematian yang merembes dari puncak gunung.

Liang Wu berjalan tanpa suara. Kakinya yang telanjang, meski penuh luka gores, bergerak di atas dedaunan kering dengan kelembutan yang mematikan.

Qi Emas di dalam tubuhnya—yang kini berada di Tingkat 7—memberinya pendengaran yang tajam.

Kring. Kring.

Suara logam beradu.

Liang Wu berhenti. Dia menempelkan punggungnya ke batang pohon pinus tua, menyatu dengan bayangan. Napasnya melambat hingga nyaris berhenti, teknik dasar meditasi Pikiran Kosong yang dulu dia gunakan untuk menenangkan diri saat berdoa, kini dia gunakan untuk menyembunyikan hawa keberadaannya.

Di depan sana, di sebuah tanah lapang kecil sekitar lima puluh langkah dari posisinya, ada cahaya obor.

Tiga orang pria.

Mereka bukan murid Aliansi Ortodoks. Pakaian mereka kusam, campuran dari berbagai potongan baju zirah kulit bekas dan kain kasar. Mereka membawa sekop, linggis, dan karung goni besar.

Penjarah makam. Atau lebih tepatnya, pemulung medan perang.

"Cepat gali!" desak salah satu pria yang bertubuh pendek namun kekar. Dia sedang menggali tanah di bawah sebuah pohon besar. "Pasukan Sekte Pedang Azure sudah pergi. Kalau kita lambat, penduduk desa di bawah akan naik dan mengambil sisanya!"

"Sabar, Bos," sahut pria kedua yang kurus tinggi. Dia sedang memeriksa sebuah pedang patah yang dia temukan. "Sial, pedang ini cuma besi biasa. Kupikir senjata biksu terbuat dari emas."

"Biksu miskin," ludah pria ketiga. "Kuil sebesar itu tapi isinya cuma kitab-kitab tidak berguna. Hei, Bos! Apa kau yakin murid-murid yang mati itu dikubur dengan harta?"

"Biksu senior biasanya punya Relik di tubuh mereka setelah dikremasi," jawab si Bos sambil terus menggali. "Kalau kita bisa menemukan mayat tetua, tulang mereka saja bisa dijual mahal ke kultivator aliran hitam untuk bahan obat."

Di balik pohon, mata Liang Wu menyipit.

Mata kirinya yang tanpa kelopak berkedut.

Mereka tidak hanya menjarah harta. Mereka berniat menggali mayat saudara-saudaranya. Mereka ingin menjual tulang teman-temannya sebagai bahan obat.

Rasa panas menjalar di dada Liang Wu. Bukan panas amarah yang meledak-ledak seperti saat kematian Mei, melainkan panas yang dingin. Beku.

Dia meraba saku jubahnya, memastikan tulang jari Han aman. Lalu, tangan kanannya turun ke pinggang, menggenggam gagang pedang kayu latihan.

Dia tidak punya senjata tajam. Tapi dia punya kegelapan.

Liang Wu mengambil sebuah batu kerikil.

Tuk.

Dia melempar batu itu ke arah semak-semak di sisi kanan para penjarah.

"Siapa itu?!" Pria kurus langsung mengangkat obornya, menghunus belati karatan.

Hening.

"Cuma musang, mungkin," gerutu si Bos. "Jangan penakut."

"Aku dengar... aku dengar rumor, Bos," kata pria ketiga dengan suara gemetar. "Katanya arwah para biksu yang mati penasaran masih gentayangan di sini."

"Hah! Kalau ada hantu, akan kutangkap dan kujual juga jiwanya!"

Saat mereka tertawa, Liang Wu bergerak.

Dia tidak berlari. Dia meluncur. Qi emas mengalir ke kakinya, membuatnya melayang sesaat di udara.

Target pertama: Pria kurus pemegang obor.

Liang Wu mendarat tepat di belakangnya. Sebelum pria itu sadar, tangan kanan Liang Wu—yang jari-jarinya bengkak dan kuku-kukunya hilang—sudah melingkar di mulut pria itu, membungkam teriakannya.

Tangan kiri Liang Wu, yang memegang pedang kayu, menusuk.

Bukan tebasan. Tusukan.

Ujung pedang kayu tumpul itu, didorong oleh Qi Tingkat 7, menghantam titik lunak di bawah ketiak pria itu.

Bukk!

Terdengar suara tulang rusuk patah yang menusuk paru-paru.

Pria kurus itu mengejang. Matanya membelalak, menatap wajah Liang Wu yang terbalut perban kotor di bawah cahaya bulan. Dia melihat satu mata yang melotot mengerikan dari balik perban itu.

Liang Wu membaringkan tubuh lumpuh itu perlahan ke tanah. Tanpa suara.

Obor terjatuh ke tanah basah dan padam.

"Oy, Kurus! Kenapa gelap?!" teriak si Bos. "Nyalakan lagi apinya!"

Tidak ada jawaban.

"Kurus?"

Dua penjarah yang tersisa saling pandang. Mereka mencabut senjata mereka—sebuah kapak dan sebuah parang.

"Keluar kau!" teriak si Bos, mengayunkan obornya sendiri ke segala arah. Cahaya api menari-nari liar, menciptakan bayangan panjang yang bergerak di pepohonan.

"Amitabha..."

Suara itu datang dari segala arah. Bergema. Rendah. Serak.

Kedua penjarah itu memucat.

"Si-siapa itu?!"

Dari kegelapan di atas dahan pohon, Liang Wu menjatuhkan diri. Dia mendarat tepat di depan pria ketiga.

"Hantu!" jerit pria itu, mengayunkan parangnya membabi buta.

Liang Wu tidak menghindar. Dia melangkah maju, masuk ke dalam jangkauan ayunan parang.

Teknik: Lonceng Emas.

Liang Wu melapisi lengan kirinya dengan Qi padat.

Trang!

Parang besi itu menghantam lengan Liang Wu. Bukan memotong daging, parang itu memantul seolah menghantam ban kayu keras. Lengan Liang Wu memar, tulangnya retak sedikit, tapi Qi-nya menahan bilah itu.

Pria itu ternganga.

"Giliranku," bisik Liang Wu.

Tapak Vajra.

Tangan kanan Liang Wu menghantam dada pria itu.

KRAK!

Dada pria itu amblas ke dalam. Jantungnya hancur seketika oleh getaran Qi yang merusak organ dalam. Dia terlempar ke belakang, menabrak pohon, dan merosot mati dengan darah menyembur dari mulut.

Si Bos, melihat dua anak buahnya tewas dalam sekejap, menjatuhkan sekopnya. Kakinya gemetar. Dia adalah kultivator liar Pengumpulan Qi Tingkat 3, dia bisa merasakan bahwa sosok di depannya jauh lebih kuat.

"Ampun..." Si Bos jatuh berlutut, bersujud berkali-kali. "Ampun, Tuan Hantu! Ampun, Tuan Pendekar! Saya cuma cari makan! Saya tidak tahu ini wilayah Tuan!"

Liang Wu berjalan mendekat. Pedang kayunya meneteskan darah—bukan darah pedang itu, tapi darah dari tangan Liang Wu sendiri yang luka-lukanya terbuka kembali karena hantaman.

Dia berdiri di depan penjarah yang bersujud itu.

"Kau mau tulang biksu?" tanya Liang Wu datar.

"T-tidak! Saya tidak mau! Saya salah! Saya akan pergi!"

"Kau bilang tulang mereka bisa dijual mahal," Liang Wu memiringkan kepalanya, perban di wajahnya bergerak mengikuti gerakan otot rahangnya yang rusak. "Kalau begitu, berapa harga tulangmu?"

"Tuan, tolong! Saya punya uang! Saya punya perak!" Si Bos merogoh sakunya, mengeluarkan kantong koin gemerincing. "Ambil semua! Biarkan saya hidup!"

Liang Wu menatap kantong uang itu. Lalu dia menatap sekop yang digunakan pria itu untuk menggali tanah suci kuilnya.

Dia berjongkok, mensejajarkan wajahnya dengan si penjarah.

"Aku tidak butuh uangmu," bisik Liang Wu. "Aku butuh rasa takutmu."

Si Bos mendongak, menatap mata tunggal Liang Wu.

"Sampaikan pesan ini ke semua tikus, anjing, dan hyena di kaki gunung," kata Liang Wu. "Gunung Awan Putih bukan lagi tempat suci. Ini adalah kuburan. Dan siapa pun yang datang mengganggu tidur saudaraku... akan tidur bersama mereka selamanya."

"Ba-baik! Saya sampaikan! Saya janji!"

"Bagus."

Liang Wu berdiri.

"Sekarang, tinggalkan tanganmu di sini."

"Apa—"

Sebelum si Bos bisa memproses kata-kata itu, Liang Wu mengayunkan pedang kayunya yang dialiri Qi penuh ke pergelangan tangan pria itu.

CRACK!

Bukan terpotong bersih, tapi remuk dan putus paksa.

"ARGHHHHHHH!"

Teriakan kesakitan memecah keheningan hutan.

"Lari," perintah Liang Wu dingin. "Lari sebelum aku berubah pikiran dan mengambil kepalamu juga."

Pria itu, sambil memegangi ujung tangannya yang buntung dan menyemburkan darah, bangkit dan lari terbirit-birit menembus semak duri. Dia menjerit sepanjang jalan, meninggalkan jejak darah yang jelas.

Liang Wu berdiri diam di tengah dua mayat penjarah lainnya.

Dia memungut parang besi milik penjarah yang mati. Dia membuang pedang kayunya yang sudah retak parah.

Dia mengambil kantong uang yang tertinggal.

Lalu, dia berlutut di tanah bekas galian si penjarah, merapikan kembali tanah itu dengan tangannya.

"Tidur yang nyenyak," bisiknya pada tanah.

Malam itu, legenda tentang Hantu Gunung Awan Putih lahir. Bukan dari cerita bohong, tapi dari kesaksian seorang penjarah bertangan satu yang gemetar ketakutan di kedai arak kaki gunung.

1
azizan zizan
jadi kuat kalau boleh kekuatan yang ia perolehi biar sampai tahap yang melampaui batas dunia yang ia berada baru keluar untuk balas semuanya ..
azizan zizan
murid yang naif apa gurunya yang naif Nih... kok kayak tolol gitu si gurunya... harap2 si murid bakal keluar dari tempat bodoh itu,, baik yaa itu bagus tapi jika tolol apa gunanya... keluar dari tempat itu...
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Yeaaah 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Waooow 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Misi dimulai 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Cerita bagus...
Alurnya stabil...
Variatif
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Sukses 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Sapu bersih 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Hancurken 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Yup yup yup 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Jlebz 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Rencana brilian 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Dicor langsung 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Bertambah kuat🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Semangat 🦀🍄
Wiji Lestari
busyet🤭
pembaca budiman
saking welas asihnya ampe bodoh wkwkwm ciri kas aliran putih di novel yuik liang ambil alih kuil jadiin aliran abu² di dunia🤭
syarif ibrahim
sudah mengenal jam kah, kenapa nggak pake... 🤔😁
Wiji Lestari
mhantap
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Keadilan yg tidak adil🦀🍄
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!